Mubadalah.id – Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2024 yang mengatur tentang kebolehan organisasi masyarakat (ormas) keagamaan untuk mengelola tambang telah menimbulkan berbagai kontroversi dan perdebatan di kalangan publik, ulama perempuan KUPI (Kongres Ulama Perempuan Indonesia), akademisi, dan praktisi industri.
Banyak pihak yang mempertanyakan kelayakan dan potensi dari pelibatan ormas keagamaan dalam sektor pertambangan yang memiliki kompleksitas tinggi dan memerlukan keahlian teknis khusus.
Pada kesempatan kali ini, Mubadalah.id berbincang dengan Siti Maemunah. Beliau adalah aktivis dan pakar lingkungan dari jaringan ulama perempuan Indonesia yang belasan tahun berkecimpung dengan isu pertambangan.
Dalam wawawanca, salah satu board di JATAM (Jaringan Advokasi Tambang) dan peneliti di Sajogyo Institute itu menjelaskan terkait penerbitan PP No 25 Tahun 2024 dan bahayanya ormas keagamaan dalam mengelola Tambang. Hingga apa saja langkah-langkah bagi para ormas agar tidak terlibat dalam pertambangan.
Tanggapan Ulama Perempuan
Mubadalah.id (M): Bagaimana tanggapan ibu sebagai ulama perempuan terkait Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2024 tentang kebolehan ormas keagamaan mengelola tambang?
Siti Maemunah (SM): Oke jadi penting menurut saya untuk melihat PP ini bukan sesuatu yang tiba-tiba. Karena dia dimulai dari atau momennya itu pada saat ada momen politik electoral gitu ya. Di mana PP ini sebenarnya ada PP dasarnya yaitu nomor 70 Tahun 2023 yang bicara ormas. Tapi kemudian di tahun 2024, ditegaskan lagi ormas keagamaan. Dan kalau kita taruh lebih jauh lagi, PP ini itu lahir karena ada perubahan undang-undang juga yaitu amandemen undang-undang tentang pertambangan tahun 2020. Terus juga ada rentetannya lagi yang disebut Omnibus Law.
Dengan adanya rentetan tersebut artinya apa? Ya kebijakan ini itu keluar setidaknya sebagai bagian dari proses perubahan kebijakan yang terjadi dalam periode kedua pemerintahan Jokowi.
Kemudian kalau kita meletakkan misalnya saya rujuk pakai apa yang disebut oleh JATAM sebagai Ijon politik. Jadi segala sesuatu, dia (Jokowi) tentu saja tidak akan bilang terang-terangan ini bukan transaksi enggak ada hubungannya sama ini. Tapi jika kita melihat pola-pola yang selama ini sudah terjadi sangat berkaitan dengan perizinan. Apalagi mendekati Pilkada. Pasti pemerintah mengeluarkan perizinan tambang mendekati Pilkada atau sesudah Pilkada atau Pemilu begitu ya.
Balas Jasa Politik
Dari hal tersebut kelihatan bahwa ini sepertinya masuk kategori itu. Kemudian apalagi kalau kita lihat Bagaimana posisi para pejabat PBNU juga di dalam pemerintahan. Bahkan percakapan-percakapan yang kita ikuti di media bahwa ini bisa dikategorikan dalam proses Ijon politik gitu. Jadi semacam ada balas jasa atau janji politik.
Kayaknya hal ini berkaitan dengan bagaimana pemerintahan kemudian memberikan keleluasaan kepada ormas keagamaan. Namun jika melihat pada PP, sebenarnya (ormas keagamaan) secara kapasitas itu tidak memilikinya.
Jika kita membaca pada undang-undang yang awal itu memang kategori untuk tambang ini adalah untuk badan usaha, BUMN dan BUMD. Tetapi tidak dengan konteks prioritas kepada ormas-ormas itu.
Ini ormas ada memang disebutkan di PP 70 itu, kemudian secara khusus bicara ormas keagamaan. Jadi apa penting melihat ini? Bukan seolah-olah sesuatu yang datang tiba-tiba tetapi dari serangkaian proses perubahan kebijakan dan di antara ruang politik elektroal 2023 – 2024 jadi penting meletakkan itu.
M: Apa dampak atau konsekuensi dari Ijon politik ini?
SM: Ijon politik ini punya konsekuensi karena pemerintah memberikan kemudahan. Dari kemudahan ini ada yang bisa berpotensi dilanggar dan seterusnya. Contohnya adalah kalau di undang-undang itu kan jelas bahwa izin itu harus diberikan dengan skema lelang. Jadi enggak ada basisnya kalau kita punya peraturan itu, kita punya basis dong. Sehingga keluar sebuah sesuatu yang disebut prioritas.
Kalau kita cermati tidak ada satu kajian pun yang dikeluarkan oleh pemerintah (terkait PP 25 Tahun 2024) yang kemudian bicara oke nih ormas ini urgen gitu. Tapi juga jangan lupa bagaimana kemudian ormas, terutama yang paling terlihat adalah PBNU itu menyatakan bahwa “kami memang butuh untuk membiayai organisasi” kira-kira begitu.
Puzzle
Jadi menurut saya, kalau di puzzle-puzzle itu nyambung. Jadi meletakkannya bukan dalam konteks politik ekonomi. Karena semakin terang benderang sebenarnya konteksnya saya rasa perlu kita letakkan di situ.
Bahkan di dalam situasi ini, kita tahu bahwa setidaknya pada periode kedua Jokowi itu pelemahan-pelemahan kebijakan banyak dilakukan dan kita tahu protes banyak juga dilakukan oleh masyarakat sipil.
Lalu, di ujung ini, di antara Pilkada itu tiba-tiba ada ruang itu. Tentu saja konteksnya bukan semata-mata misalnya karena oh ini dia terbukti mampu melakukan sesuatu. Tetapi lebih kepada interest ekonomi aja kan. Saya rasa itu sih, jadi memberikan konteksnya.
Yang kedua, di sini perlu melihatnya, jadi kalau dalam pengalaman saya sebagai peneliti isu ektravimisme dan gender, sebenarnya memang ada kegagalan pemerintah dalam mengurus sektor pertambangan.
Dan kita tahu prosesnya sudah banyak kritik dan seterusnya. Apalagi belakangankan ada korupsi luar biasa. Nah ini kemudian membuat pemintah seolah-olah merasa harus menambah barisan-barisan untuk menjadi tidak kritis. Dan tentu saja hal ini bisa diperankan dengan baik oleh ormas. Apalagi oleh ormas yang mengklaim bahwa separuh warga negara Indonesia itu adalah umatnya dia.
Tidak Terlibat
M: Langkah apa saja agar ormas keagamaan tidak terlibat dalam pengelolaan tambang?
SM: Yang pertama kita lihat kan sebenarnya ormas-ormas keagamaan banyak. Sedangkan yang baru menerimakan baru NU aja. Karena kalau mau kita lihat dari peta media kita enggak tahu sebenarnya si pemerintah nawarinnya kepada siapa aja. Karena kalau keagamaan ya berarti ada ada enam agama yang resmi dan kita tahu sebagian besar menolak. Meskipun Muhammadiyah juga misalnya tidak langsung menolaknya, tapi ada kajian hukumnya yang menyarankan untuk enggak lah.
Penolakan ini sebenarnya kalau misalnya saya lihat banyak juga pimpinan-pimpinan atau organisasi yang Nasrani yang melakukan penolakan. Contohnya ya yang di kawasan NTT Flores. Saya tahu sekali bagaimana gereja itu bersama rakyat gitu loh. Mereka bahu membahu untuk melawan tambang emas dan tambang mangan, bahkan terakhir mereka menolak geothermal.
Mereka melakukan penolakan tersebut karena dengan adanya tambang ini tidak hanya memecah belah rakyat. Tetapi memang ada sejarah pemiskinan yang dihasilkan akibat dari exploitasi di sana misalnya di Manggarai di Flores.
Sehingga para warga di sana bersepakat untuk menghentikan dan menolak adanya tambang emas dan tambang mangan di sana. Jadi ada sejarah nyata gitu, nah ini menariknya kalau NU ini di beberapa tempat masih ada blunder. Adapaun langkah yang dapat kita lakukan:
Langkah
Pertama, menurut saya kalau caranya bagaimana? Kita sudah banyak sekali informasi dan bukti bahwa banyak wilayah yang berkonflik akibat tambang. Bahkan dengan adanya tambang sangat menyebabkan pencemaran lingkungan dan sepaket dengan konteks korupsi dan seterusnya.
Kedua, belajar lah dari mereka yang bergumul penderitaan dan apa saja krisis lingkungan termasuk krisis sosial di wilayah-wilayah di mana tempat umat-umat beragama berada.
Ketiga, saya rasa yang menarik sebenarnya kalau berkaca dari proses yang sudah berjalan, apakah NU punya proses mengkonsultasikan atau memusyawarahkan. Karena kalau dari diskusi-diskusi yang saya tangkap ini kepada maksud saya kepada konstituennya gitu kan enggak juga.
Sehingga menurut saya menjadi penting justru proses ini bisa ormas-ormas agama pakai untuk melakukan refleksi bersama anggotanya. Bahkan lebih jauh tidak hanya urusan ini setuju apa enggak, kita teruskan apa enggak. Tetapi model ekonomi seperti apa yang lebih adil terhadap lingkungan dan manusia. []