• Login
  • Register
Kamis, 10 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Aktual

Dr. Nur Rofiah Tegaskan Pentingnya Mengubah Cara Pandang untuk Hentikan Kekerasan Seksual pada Anak

Menurutnya, selama masyarakat masih memandang perempuan hanya sebagai objek, terutama objek seksual atau mesin reproduksi. Maka sampai kapanpun kekerasan akan terus mengakar.

Redaksi Redaksi
18/06/2025
in Aktual
0
kekerasan seksual terhadap anak

kekerasan seksual terhadap anak

955
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Kasus kekerasan seksual terhadap anak yang terjadi di lingkungan domestik, termasuk di dalam keluarga maupun lembaga berbasis agama, kembali memicu keprihatinan publik. Apalagi dengan munculnya Grup Facebook “Fantasi Sedarah”, semakin menegaskan bahwa rumah yang seharusnya menjadi ruang paling aman bagi anak justru kerap menjadi tempat terjadinya kekerasan seksual.

Hal tersebut disampaikan oleh salah satu narasumber Dr. Nur Rofiah, Bil. Uzm dalam webinar bertajuk “Ketika Rumah Tak Lagi Aman: Stop Kekerasan Seksual Anak di Lingkup Keluarga” yang diselenggarakan oleh Rumah KitaB, pada Kamis, 12 Juni 2025.

Ulama perempuan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) itu menekankan bahwa kekerasan seksual terhadap anak tidak hanya persoalan individu pelaku atau kelemahan sistem hukum. Melainkan juga terkait erat dengan cara pandang kolektif masyarakat terhadap manusia, terutama terhadap perempuan dan anak-anak.

“Agama seharusnya menjadi pelindung, bukan pembenaran atas kekerasan. Tapi yang terjadi justru sebaliknya, ketika tafsir agama mereka salahgunakan untuk melegitimasi relasi kuasa yang timpang,” ujar Dr. Nur Rofiah dalam paparan daringnya.

Ia menyampaikan bahwa kekerasan seksual yang terjadi di ruang domestik, seperti oleh ayah terhadap anak kandung, atau oleh tokoh agama terhadap santri, harus kita pahami sebagai hasil dari pola pikir warisan yang masih hidup dalam alam bawah sadar masyarakat.

Baca Juga:

Pengrusakan Retret Pelajar Kristen di Sukabumi, Sisakan Trauma Mendalam bagi Anak-anak

Pentingnya Relasi Saling Kasih Sayang Hubungan Orang Tua dan Anak

Jangan Hanya Menuntut Hak, Tunaikan Juga Kewajiban antara Orang Tua dan Anak

Merencanakan Anak, Merawat Kemanusiaan: KB sebagai Tanggung Jawab Bersama

“Dalam sejarah peradaban, perempuan kerap dianggap sebagai harta milik laki-laki. Baik sebagai anak, istri, atau saudara. Cara pandang ini bukan sekadar sejarah, tapi masih terus memengaruhi tindakan kita hari ini, bahkan dilakukan oleh orang-orang berpendidikan tinggi, bergelar doktor, atau tokoh agama,” lanjutnya.

Akar Kekerasan

Nyai Nur Rofiah menjelaskan bahwa alam bawah sadar manusia, yang dibentuk oleh pengalaman, nilai, dan warisan budaya serta agama, memiliki pengaruh besar dalam tindakan sadar. “Sebanyak 88-95% perilaku manusia terpengaruhi oleh alam bawah sadar. Itu sebabnya kita perlu menyentuh akar persoalan yaitu cara pandang terhadap kemanusiaan,” tegasnya.

Menurutnya, selama masyarakat masih memandang perempuan hanya sebagai objek, terutama objek seksual atau mesin reproduksi. Maka sampai kapanpun kekerasan akan terus mengakar. Pandangan ini, kata dia, akan melahirkan generasi baru yang menganggap relasi tidak setara sebagai hal lumrah.

“Bahkan dalam inses atau hubungan seksual dengan anak kandung itu dianggap biasa oleh sebagian masyarakat. Maka dari itu, al-Qur’an turun dengan tegas mengharamkan praktik-praktik itu. Tapi mengapa sampai hari ini inses masih terjadi? Karena cara pandang itu belum betul-betul bergeser,” ungkapnya.

Ia mengajak peserta webinar untuk merenungkan kembali bagaimana seharusnya agama berperan. Nyai Nur Rofiah menekankan bahwa dalam Islam, setiap manusia, termasuk anak-anak, memiliki status dan mandat yang sama yaitu sebagai khalifah di bumi dan hamba Allah.

“Itu berarti semua manusia adalah subjek penuh, bukan objek, apalagi milik orang lain,” katanya.

Pendidikan dan Tafsir Agama Perlu Direformulasi

Dosen Pasca Sarjana PTIQ itu menyoroti bagaimana tafsir agama kerap dipakai untuk membenarkan kekerasan, padahal semestinya digunakan untuk membela korban dan mencegah terjadinya kezaliman.

Ia mengutip salah satu hadis yang sering digunakan dalam perspektif KUPI, yakni perintah Nabi Muhammad Saw. untuk menolong saudara, baik yang menjadi korban maupun pelaku kezaliman.

“Cara menolong pelaku adalah dengan mencegah dan menghentikan tindakannya. Ini sejalan dengan prinsip mencegah kemudaratan dalam Islam,” terang Nyai Nur Rofiah.

Karena itu, menurutnya, pendidikan agama pun harus kita perbarui, karena tidak cukup hanya menghafal hukum atau dalil. Tapi juga perlu membangun cara berpikir yang adil dan manusiawi.

Dengan begitu, ia pun menegaskan pentingnya kehadiran ulama perempuan, seperti dalam gerakan KUPI, yang menawarkan perspektif keberpihakan terhadap korban dengan basis kemanusiaan.

“Ulama perempuan bukan berarti hanya perempuan secara biologis. Siapa pun, laki-laki atau perempuan, yang memiliki perspektif keadilan bagi perempuan dan anak, bisa menjadi bagian dari ulama perempuan. Kita butuh gerakan kolektif,” jelasnya, menyebut nama-nama seperti Kiai Husein Muhammad dan Kiai Faqih yang juga tergabung dalam gerakan KUPI.

Ubah Pola Asuh

Lebih jauh, Nyai Nur Rofiah juga mengajak peserta untuk memulai perubahan dari lingkungan terkecil seperti keluarga. Ia mengkritisi cara masyarakat memuji anak perempuan yang terlalu berfokus pada penampilan fisik.

“Anak perempuan sering kali dipuji karena cantik. Ini bisa membentuk pemahaman bahwa nilai dirinya hanya terletak pada wajah. Padahal seharusnya anak dipuji karena perilaku baiknya, semangat belajarnya, atau tanggung jawabnya. Itu yang akan membentuk kepercayaan diri yang sehat,” sarannya.

Ia juga menekankan pentingnya membangun pemahaman bahwa manusia bukan hanya makhluk fisik. Tetapi juga makhluk intelektual dan spiritual. “Islam memuliakan manusia karena akalnya dan hatinya. Karena itu, puncak dari keislaman adalah akhlak yang mulia,” tambahnya.

Mengakhiri paparannya, Nyai Nur Rofiah menegaskan bahwa upaya perlindungan terhadap anak dari kekerasan seksual tidak bisa dilakukan secara terpisah-pisah. Menurutnya, hukum, budaya, dan pendidikan memang penting, tetapi semuanya harus terintegrasi dengan perubahan cara pandang masyarakat terhadap kemanusiaan.

“Kita harus membangun peradaban yang menempatkan laki-laki dan perempuan sebagai manusia seutuhnya. Yaitu subjek yang memiliki tanggung jawab bersama untuk menciptakan kemaslahatan dan mencegah keburukan. Inilah spirit Islam sebagai rahmat bagi semesta,” tukasnya. []

Tags: anakcara pandangDr. Nur RofiahhentikanKekerasan seksualMengubahpentingnya
Redaksi

Redaksi

Terkait Posts

Marzuki Wahid

Membongkar Narasi Sejarah Maskulin: Marzuki Wahid Angkat Dekolonisasi Ulama Perempuan

6 Juli 2025
Sejarah Ulama Perempuan

Menulis Ulang Sejarah Ulama Perempuan: Samia Kotele Usung Penelitian Relasional, Bukan Ekstraktif

6 Juli 2025
Samia

Samia Kotele: Bongkar Warisan Kolonial dalam Sejarah Ulama Perempuan Indonesia

6 Juli 2025
Ulama Perempuan

Menelusuri Jejak Ulama Perempuan Lewat Pendekatan Dekolonial

6 Juli 2025
Sejarah Ulama Perempuan ISIF

ISIF akan Gelar Halaqoh Nasional, Bongkar Ulang Sejarah Ulama Perempuan Indonesia

5 Juli 2025
Kekerasan Seksual Anak di Lingkup Keluarga

Ketika Rumah Tak Lagi Aman, Rumah KitaB Gelar Webinar Serukan Stop Kekerasan Seksual Anak di Lingkup Keluarga

14 Juni 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Pelecehan Seksual

    Stop Menormalisasi Pelecehan Seksual: Terkenal Bukan Berarti Milik Semua Orang

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mengapa Perempuan Lebih Religius Daripada Laki-laki?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Relasi Imam-Makmum Keluarga dalam Mubadalah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Melawan Perundungan dengan Asik dan Menyenangkan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mengapa Pengalaman Biologis Perempuan Membatasi Ruang Geraknya?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Melawan Perundungan dengan Asik dan Menyenangkan
  • Ketika Perempuan Tak Punya Hak atas Seksualitas
  • Relasi Imam-Makmum Keluarga dalam Mubadalah
  • Mengebiri Tubuh Perempuan
  • Mengapa Perempuan Lebih Religius Daripada Laki-laki?

Komentar Terbaru

  • M. Khoirul Imamil M pada Amalan Muharram: Melampaui “Revenue” Individual
  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID