• Login
  • Register
Minggu, 25 Mei 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Publik

Syarah Ikrar Joglo Bangsri Jepara KUPI Muda

Jaringan ulama KUPI Muda memiliki tanggung jawab untuk terus membangun peradaban sesuai perkembangan zaman

Thoah Jafar Thoah Jafar
03/12/2022
in Publik, Rekomendasi
0
KUPI Muda

KUPI Muda

449
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) II kian menguatkan otoritas keulamaan berbasis kesetaraan gender dan keadilan. Forum yang menghasilkan banyak gagasan kemaslahatan itu terlaksana pada 23-26 November 2022 di Pondok Pesantren Hasyim Asy’ari Bangsri, Jepara, Jawa Tengah.

Serangkaian agenda dan diskusi selama empat hari itu lantas kita saripatikan menjadi sebuah ikrar. Maklumat yang mereka beri tajuk “Ikrar Joglo Bangsri Jepara tentang Jaringan Muda KUPI” itu tertuang dalam teks berikut;

Kami jaringan muda KUPI adalah bagian dari ulama perempuan Indonesia yang memiliki potensi keulamaan, berkomitmen untuk menjalankan misi tauhid.

Kami jaringan muda KUPI berkomitmen untuk menjalankan risalah Nabi Muhammad SAW secara konsisten dalam membangun peradaban sesuai perkembangan zaman. Tanpa melupakan warisan pandangan dan tradisi baik dari para ulama terdahulu.

Kami jaringan muda KUPI berkomitmen untuk memperkuat jejaring dan mengawal advokasi bagi mereka yang terpinggirkan sebagai bagian dari solusi bagi bangsa dan semesta.

Baca Juga:

Korban KS Difabel dan Hak Akses Kesehatan: Perspektif KUPI

Mubadalah sebagai Pendekatan dalam Perumusan Fatwa KUPI

Kebangkitan Kawan Difabel di Abad Kedua Puluh Satu

Tradisi Baratan: Menyambut Keberkahan Ramadan dengan Kearifan Lokal Jepara

Untuk itu, otoritas keulamaan perempuan wajib terus kami rawat dan kembangkan agar menjadi kekuatan transformatif di ruang khidmahnya masing-masing.

Kami jaringan muda KUPI siap untuk bergerak, berkarya, dan berkolaborasi demi mewujudkan cita-cita universal Islam dengan memanfaatkan berbagai ruang, termasuk ruang-ruang digital.

Jaringan muda KUPI berkomitmen untuk mendorong dan mempercepat kebijakan terkait isu-isu krusial kemanusian dan kesemestaan dalam mempromosikan perlawanan terhadap ketidakadilan.

Sebagai bagian dari bangsa Indonesia, kami jaringan muda KUPI menolak segala cara pandang beragama dan berbangsa yang ekstrem dalam memaksa kelompok yang berbeda sehingga mengakibatkan tergoncangnya harmoni kehidupan berbangsa dan bernegara.

Tradisi Syarah

Dunia pesantren lekat dengan kekayaan khazanah kutub al turats alias kitab kuning. Buku-buku tersebut memuat penjelasan berbagai

disiplin ilmu keislaman dari mulai tafsir, hadis, tauhid, tata bahasa dan sastra Arab, akhlak, tasawuf, pedoman doa dan kisah para nabi, ushul fikih, hingga fikih.

Dari kepadatan redaksi dan runtutan sumber penulisan, kitab kuning pun lantas dibedakan dalam bentuk matan, syarah, dan hasyiyah. Secara literer, syarah berarti penjelasan. Lafaz ini memiliki sinonim dengan tafsir dalam keilmuan islam yang berkenaan dengan penerjemahan Al-Qur’an.

Secara lebih gamblang, syarah adalah kitab yang ditulis sebagai komentar atau penjelasan dari kitab yang ditulis ulama lain atau sebelumnya. Dalam kitab syarah, semua kata atau frasa yang terdapat pada kitab matan diberi penjabaran, baik menyangkut aspek bahasa maupun makna.

Kitab syarah ditulis dengan beragam gaya. Ada yang sederhana, semisal  Sulam al-Munajah, syarah dari Safinah al-Shalah. Tetapi ada juga yang kompleks, luas, dan tebal, sebut saja seperti kitab al-Majmu’, syarah dari kitab al-Muhazzab.

Ciri paling tampak, kitab syarah yang ulama lain tulis. Contohnya kitab al-Ghayah wa at-Taqrîb karya Abu Syuja’ yang disyarahi bnu Qasim al-Ghuzzi menjadi Fath al-Qarib.

Dengan niat tabarukan atau mengharap keberkahan dari tradisi intelektual ulama para terdahulu inilah. Maka penulis bermaksud untuk memakai kebiasaan luhur yang sama untuk mengurai kembali kepadatan dalam Ikrar Joglo Bangsri Jepara tentang Jaringan KUPI Muda.

Kalimat Kunci

Syarah ini sudah pasti tidak akan selengkap metode penerapan tradisi sebenarnya. Di dalam syarah ini, hanya akan saya angkat sejumlah kata kunci-kata kunci yang saya nilai penting dalam redaksi ikrar tersebut. Di antaranya:

Potensi keulamaan dan risalah kenabian

Jaringan KUPI  muda menahbiskan diri sebagai orang-orang yang memiliki potensi keulamaan. Mereka bergerak atas pengetahuannya, bukan terarus ketidaktahuannya atas isu-isu yang sedang mereka perjuangkan.

Ulama merupakan bentuk jamak dari kata tunggal “alim”. Secara bahasa, ulama berarti orang-orang yang berilmu. Kata tersebut tercantum QS. Fatir ayat 27-28;

“Tidakkah kamu melihat bahwasanya Allah menurunkan hujan dari langit, lalu Kami hasilkan dengan hujan itu buah-buahan yang beraneka macam jenisnya. Dan, di antara gunung-gunung itu ada garis-garis putih dan merah yang beraneka macam warnanya da nada (pula) yang hitam pekat. Dan, demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya, yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya, Allah Mahaperkasa lagi Mahapengampun.”

Sedangkan dalam hadis, Rasulullah SAW menyebut ulama sebagai pewaris para nabi. Ada banyak predikat yang ulama sandang, di antaranya siraj al-ummah (lampu masyarakat), manar al-bilad (mercusuar negara), qiwan al-ummah (pilar umat), dan manabi’al-hikam (sumber-sumber kebijaksanaan).

Membangun peradaban sesuai perkembangan zaman

Jaringan ulama KUPI Muda memiliki tanggung jawab untuk terus membangun peradaban sesuai perkembangan zaman. Ia tidak kolot dan saklek, kemajuan umat mesti berlandaskan pada fleksibilitas pada kebudayaan, perubahan tuntutan hidup, maupun perkembangan teknologi.

Masyarakat pesantren dan Nahdlatul Ulama (NU) menetapkan kerja-kerja peradaban ini melalui prinsip al-muhafadhah ‘alal qadim al-shalih wal akhdzu bil jadidil ashlah (memelihara yang lama yang masih baik dan mengambil yang baru yang lebih baik). Selain bisa menyesuaikan dengan perkembangan zaman, idiom tersebut juga mengantarkan para pelakunya untuk bisa bersikap tawasuth (moderat) dalam menghadapi segenap persoalan yang terjadi di masyarakat.

Advokasi bagi mereka yang terpinggirkan

Islam bukanlah sebuah tradisi monolitik yang mewajibkankan kepatuhan buta terhadap satu versi interpretasi. Terlebih pada pemahaman keagamaan yang mempromosikan kekerasan dan mereduksi praktiknya menjadi sekadar formalitas belaka.

Berlawanan dengan asumsi itu, ajaran Islam sebenarnya terdiri dari ragam paradigma yang tak terpisahkan dari konteks pembentukannya. Namun, secara pemahaman lebih utuh dan menyeluruh, ajaran Islam justru mendorong pada perjuangan pembebasan, terutama bagi masyarakat marjinal dan terpinggirkan.

Abu Hamid al-Ghazali dalam Ihya Ulum al-Din mengelaborasi pandangannya tentang keadilan yang bersifat sosial. Imam al-Ghazali memprioritaskan diskursusnya untuk menelaah tindakan-tindakan yang berdampak sosial tinggi atau muta’addi. Dalam hal ini, tindakan-tindakan yang berdampak positif secara luas kita katakan jauh lebih utama ketimbang tindakan-tindakan yang berdampak positif bagi individu.

Konsepsi keadilan al-Ghazali menitikberatkan pada perwujudan kesejahteraan sosial sebagai bentuk tertinggi dari keadilan dalam Islam. Dengan demikian, ekspresi keimanan dan keislaman terkait erat dengan tercapainya pembebasan bagi semua orang.

Bergerak, berkarya, berkolaborasi

Ajaran Islam mengenalkan prinsip taawun alias semangat saling tolong-menolong untuk mencapai sebuah kebaikan.

Allah SWT memerintahkan orang-orang yang beriman untuk saling bekerja sama dalam kebaikan. Hal itu tertuang dalam QS. Al-Maidah: 2, yang artinya;

“Tolong-menolonglah kalian dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.”

Kemanusiaan, kesemestaan, dan menolak ekstremisme

Islam juga mengajarkan tentang sistem persaudaraan yang kuat berdasarkan rasa kemanusiaan. Islam tidak menyarankan jalinan persaudaraan itu hanya terhenti pada kesamaan suku, agama, maupun negara.

Ajaran tentang humanisme ini tergambar dengan jelas melalui pesan-pesan Nabi SAW. Di antaranya; “Wahai manusia, ingatlah, sesungguhnya Tuhanmu adalah satu, dan nenek moyangmu juga satu. Tidak ada kelebihan bangsa Arab terhadap bangsa lain. Tidak ada kelebihan bangsa lain terhadap bangsa Arab. Tidak ada kelebihan orang yang berkulit merah terhadap orang yang berkulit hitam, tidak ada kelebihan orang yang berkulit hitam terhadap yang berkulit merah, kecuali dengan taqwanya..” (HR. Ahmad, al-Baihaqi, dan al-Haitsami).

Konsep kemanusiaan dalam Islam begitu luhur. Semua manusia memiliki hak dan kewajiban yang sama. Tidak ada perbedaan antara yang satu dengan lainnya, kecuali dalam iman dan talwanya.

“Wahai manusia sesungguhnya Kami menciptakan kamu sekalian dari seorang pria dan seorang wanita dan kami menjadikan kamu berbagai bangsa dan suku, agar kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantaramu di sisi Allah ialah orang yang saling bertaqwa”. (QS. Al-Hujarat:13).

Dalam ayat lainnya, Allah SWT berfirman; “Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara. Oleh karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah agar kamu mendapat rahmat”. (QS. Al-Hujarat:10).

Al-Qur’an Menentang Kekerasan

Di sisi lain, Al-Qur’an sangat tegas menentang kekerasan. Untuk tujuan apapun dan atas nama apa dan siapa pun. Termasuk untuk kepentingan Islam itu sendiri. Allah berfirman dalam QS. Al-Baqarah:256, “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam).”

Ajaran Islam bertujuan untuk menghidupkan orang dan mengangkat martabat kemanusiaan. Dengan jelas dan tegas, Allah juga melarang melakukan tindakan pembunuhan kepada orang yang tak berdosa.

“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar. Dan barang siapa dibunuh secara lalim, maka sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan. (QS. Al-Isra:13).

Islam melarang umatnya untuk berlaku ekstrem, terlebih berbasis kekerasan. Atas dasar-dasar itulah, KUPI Muda merasa perlu untuk terus menerus mendakwahkan Islam sebagai ajaran yang menuntut peran keulamaan, memajukan peradaban, membela yang lemah dan terpinggirkan, bekerja sama dalam menuju kebaikan, serta beriorientasi pada kemanusiaan. Wallahu a’lam. []

Tags: Fatwa KUPIHasil KUPI IIIkrar Joglo BangsriJeparaKUPI Muda
Thoah Jafar

Thoah Jafar

Pengasuh Ponpes KHAS Kempek Cirebon

Terkait Posts

Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan

Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia: Tegaskan Eksistensi Keulamaan Perempuan

24 Mei 2025
Ulama perempuan Indonesia

Bulan Kebangkitan: Menegaskan Realitas Sejarah Ulama Perempuan Indonesia

24 Mei 2025
Kekerasan

Kasus Pelecehan Guru terhadap Siswi di Cirebon: Ketika Ruang Belajar Menjadi Ruang Kekerasan

24 Mei 2025
Memahami Disabilitas

Belajar Memahami Disabilitas dan Inklusivitas “Hanya” Dengan Naik Transjatim

23 Mei 2025
Buku Disabilitas

“Normal” Itu Mitos: Refleksi atas Buku Disabilitas dan Narasi Ketidaksetaraan

22 Mei 2025
Puser Bumi

Ulama Perempuan sebagai Puser Bumi

21 Mei 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Laku Tasawuf

    Hidup Minimalis juga Bagian dari Laku Tasawuf Lho!

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Menjembatani Agama dan Budaya: Refleksi dari Novel Entrok Karya Oky Madasari

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kasus Pelecehan Guru terhadap Siswi di Cirebon: Ketika Ruang Belajar Menjadi Ruang Kekerasan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Self Awareness Ala Oh Yi Young di Resident Playbook

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Bulan Kebangkitan: Menegaskan Realitas Sejarah Ulama Perempuan Indonesia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia: Tegaskan Eksistensi Keulamaan Perempuan
  • Meneladani Noble Silence dalam Kisah Bunda Maria dan Sayyida Maryam menurut Al-Kitab dan Al-Qur’an
  • Ihdâd: Pengertian dan Dasar Hukum
  • Hidup Minimalis juga Bagian dari Laku Tasawuf Lho!
  • Menjembatani Agama dan Budaya: Refleksi dari Novel Entrok Karya Oky Madasari

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Go to mobile version