• Login
  • Register
Jumat, 11 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Personal

Kebangkitan Kawan Difabel di Abad Kedua Puluh Satu

Saya meyakini, bahwa berkat demokratisasi abad kedua puluh satu ini, masa depan cerah 'yang kelak' itu tidak lama lagi.

M. Khoirul Imamil M M. Khoirul Imamil M
26/03/2025
in Personal, Rekomendasi
0
Kawan Difabel

Kawan Difabel

1k
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Menyeru kebangkitan kawan difabel merupakan suara lanjutan dari tulisan pertama saya di Mubadalah yang berjudul Jangan Memanjakan Penyandang Disabilitas!. Bagi saya, bangkit adalah pilihan paling wajar sekaligus logis. Mengapa demikian?

Sejarah panjang perjalanan umat manusia senantiasa lekat dengan momentum kebangkitan. Tariklah sedikit ke belakang, maka kita akan menemukan momen-momen krusial dalam tarikh perubahan zaman. Di dalam peradaban Islam, misalnya, Baginda Rasul Muhammad shalla Allahu ‘alaih wa sallama menancapkan titik balik dakwah Islam selepas bermigrasi ke Yatsrib (Madinah saat ini).

Padahal, saat periode Mekkah, dalam durasi lebih dari satu dekade umat Islam mengalami penindasan dan keterpojokan. Dakwah Islam melaju dengan velositas angin-anginan sebab dahsyatnya resistensi dari kalangan Kafir Quraisy. Akhir yang manis, Madinah membuat senyum sang Nabi merekah!

Sementara, mengutip catatan Fritjof Capra dalam The Turning Point (1994), kita bisa memadankan terma ‘kebangkitan’ dengan apa yang Capra sebut sebagai ‘transformasi’. Capra memulai catatan tentang transformasi dengan mengutip I Ching (atau I Tsing) yang mengujar, “Gerak itu alami, mengalir spontan.”

Sebuah transformasi, gerak, alias kebangkitan bagi kalangan difabel memang tidak bisa berjalan secepat “kudeta merangkak” sebagaimana tragedi Gestapu 1965. Namun, sepanjang apapun proses yang mesti berjalan, abad kedua puluh satu semestinya cukup untuk menstimulasi lahirnya kebangkitan tersebut.

Baca Juga:

Berjalan Bersama, Menafsir Bersama: Epistemic Partnership dalam Tubuh Gerakan KUPI

Kursi Lipat dan Martabat Disabilitas

Menggali Fikih Ramah Difabel: Warisan Ulama Klasik yang Terlupakan

Korban KS Difabel dan Hak Akses Kesehatan: Perspektif KUPI

Demokratisasi Abad Kedua Puluh Satu

Pembaca barangkali menyoal mengapa abad dua puluh satu merupakan momentum yang pas bagi kebangkitan kawan difabel. Tentu saja, sebab abad dua puluh satu menawarkan demokratisasi. Terutama sekali berkenaan dengan ruang publik.

Bagi Maria Beltran dan Mayka Garcia-Hipola (2014), demokratisasi ruang publik menuntut keselarasan resiprokal atas ambivalensi produk kebijakan dan kebutuhan bertindak. Dengan menjadikan Kota Madrid sebagai sampel penelitian, Maria dan Mayka berkesimpulan bahwa ruang publik yang demokratis menuntun pada keterwujudan relasi inklusif serta fleksibilitas dalam proses pengambilan kebijakan.

Tinjauan Maria dan Mayka merupakan bekal yang cukup untuk kawan difabel menunjukkan taji kebangkitan. Mereka berhak, berotoritas, berkewajiban, sekaligus bertanggung jawab terhadap apa yang melekat pada diri mereka sendiri.

Subjektivitas penuh yang mereka miliki, sebagaimana ajaran KUPI, mesti berdaya guna. Demokratisasi ruang publik membuka peluang bagi jebolnya kebijakan rigid dan tembok-tembok eksklusivisme yang memenjara. Tentu, semuanya berakarkan hasrat kebangkitan dari dalam sanubari kawan difabel.

Saya sangat percaya bahwa kawan difabel merupakan subjek paripurna atau insan kamil dalam penyebutan Ibnu ‘Arabi (1165-1240). Menyitir tulisan Faricha Cahya (Maret, 2025), kekhasan abilitas yang melekat pada diri kawan difabel bukanlah sebuah hukuman apalagi azab. Ia justru suatu anugerah, setidaknya energi untuk menyalakan kebangkitan peradaban.

Toh, Allah sebagaimana dalam firman-Nya pada Q.S. Ali  Imran ayat 191 menegaskan bahwa setiap sesuatu tercipta sebagai bukti kesempurnaan kuasa-Nya. Lagipula, bukankah kesempurnaan terbukti dengan kesempurnaan itu sendiri?

Ekstensifikasi Payung Fikih

Diskursus mengenai kebangkitan kawan difabel secara praksis tentu membutuhkan ekstensifikasi atau perluasan payung fikih. Sebagai basis yurisprudensi hukum di dalam Islam, keberpihakan fikih terhadap isu-isu disabilitas dapat menjadi pondasi awal bagi kebangkitan kawan difabel.

Sejauh ini, KUPI telah menginisiasi terma ‘fikih disabilitas’ dengan maksud mendudukkan masalah dan bahasan fikih secara lebih inklusif dan mengandung keberpihakan. KUPI menolak interpretasi dan perumusan produk fikih yang monopolistik oleh kalangan tertentu. Pastinya, standing point KUPI tidaklah berangkat dari kengawuran, melainkan senantiasa ber-istidlal dari sumber-sumber primer sekaligus mu’tabar.

Al-Quran menekankan pentingnya tinjauan pengetahuan epistemologis (lahu ‘ilm) serta pengalaman empiris (lahu tajribah) dalam menjawab setiap masalah. Karenanya, fikih disabilitas memiliki kacamata paradigma akomodatif yang khas. Yakni, praktik fikih oleh kawan difabel tidak boleh dinilai sebagai dispensasi (rukhsah). Namun, praktik tersebut justru merupakan pilihan paling ideal yang sesuai dengan kondisi mereka.

Faqihuddin Abdul Kodir selaku penggagas Metode Mubadalah sekaligus Majelis Musyawarah KUPI menegaskan hal tersebut dengan bertitik tolak pada fakta faariqul ahliyah yang dialami kawan difabel. Dalam kesempatan Ngaji RAIN Ramadan Inklusi pada Rabu (19/3) lalu, sosok yang akrab disapa Kang Faqih itu menolak pandangan rukhsah yang murni hasil telaah ulama nondifabel.

Ekstensifikasi pemahaman fikih ala KUPI dan tawaran paradigma Kang Faqih tentu membuka jalan baru bagi kebangkitan kawan difabel. Berbekal ‘ilm serta tajribah yang melekat, kita berharap di masa depan akan terlahir cendekiawan dan intelektual fikih dari kalangan kawan difabel sendiri. Kelak, mereka berotoritas memutuskan secara independen. Mereka tidak lagi bertaklid di bawah bayang-bayang intelektual arus utama.

Saya meyakini, bahwa berkat demokratisasi abad kedua puluh satu ini, masa depan cerah ‘yang kelak’ itu tidak lama lagi. Percayalah! []

Tags: Fatwa KUPIFikih DisabilitasKawan DifabelNgaji RAINNgaji Ramadlan Inklusi (RAIN)
M. Khoirul Imamil M

M. Khoirul Imamil M

Pernah nekat menggelandang sepanjang Olomouc-Bratislava-Wina-Trier-Luksemburg.

Terkait Posts

Berhaji

Menakar Kualitas Cinta Pasangan Saat Berhaji

11 Juli 2025
Ikrar KUPI

Ikrar KUPI, Sejarah Ulama Perempuan dan Kesadaran Kolektif Gerakan

11 Juli 2025
Kopi yang Terlambat

Jalanan Jogja, Kopi yang Terlambat, dan Kisah Perempuan yang Tersisih

10 Juli 2025
Life After Graduated

Life After Graduated: Perempuan dalam Pilihan Berpendidikan, Berkarir, dan Menikah

10 Juli 2025
Perempuan Lebih Religius

Mengapa Perempuan Lebih Religius Daripada Laki-laki?

9 Juli 2025
Pelecehan Seksual

Stop Menormalisasi Pelecehan Seksual: Terkenal Bukan Berarti Milik Semua Orang

9 Juli 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Berhaji

    Menakar Kualitas Cinta Pasangan Saat Berhaji

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ikrar KUPI, Sejarah Ulama Perempuan dan Kesadaran Kolektif Gerakan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Jalanan Jogja, Kopi yang Terlambat, dan Kisah Perempuan yang Tersisih

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Film Horor, Hantu Perempuan dan Mitos-mitos yang Mengikutinya

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Life After Graduated: Perempuan dalam Pilihan Berpendidikan, Berkarir, dan Menikah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Islam dan Persoalan Gender
  • Negara Inklusi Bukan Cuma Wacana: Kementerian Agama Buktikan Lewat Tindakan Nyata
  • Tauhid: Kunci Membongkar Ketimpangan Gender dalam Islam
  • Peran Perempuan dan Perjuangannya dalam Film Sultan Agung
  • Tauhid: Fondasi Pembebasan dan Keadilan dalam Islam

Komentar Terbaru

  • M. Khoirul Imamil M pada Amalan Muharram: Melampaui “Revenue” Individual
  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID