• Login
  • Register
Jumat, 9 Mei 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Personal

Syawal dan Musim Akad: Antara Sunah, Stigma, dan Pilihan Hidup

Syawal memang bisa menjadi waktu yang baik untuk menikah, tetapi tidak menjadikannya sebuah keharusan.

Firda Imah Suryani Firda Imah Suryani
09/04/2025
in Personal
0
Musim Akad

Musim Akad

1.4k
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Bulan Syawal sering kali hadir dengan dua hal: undangan pernikahan yang bertubi-tubi, dan pertanyaan basa-basi yang kerap menyentil: “Kapan nyusul?” Fenomena ini bukan hanya terjadi di dunia nyata, tapi juga terasa nyata di lini masa media sosial. Unggahan akad, resepsi, dan foto prewedding berseliweran, seolah Syawal adalah bulan khusus untuk menikah.

Secara historis, memang ada akar kuat dalam Islam terkait pernikahan di bulan Syawal. Diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW menikahi Aisyah RA di bulan ini. Dalam konteks sejarah Arab, hal ini menjadi simbol penting: membantah kepercayaan jahiliah yang menganggap Syawal sebagai bulan sial untuk menikah.

Dengan demikian, musim akad di bulan Syawal menjadi bentuk pembebasan dari stigma budaya yang tidak berdasar. Maka, menikah di bulan ini sering dipandang sebagai sunah yang baik untuk kita ikuti.

Namun, meningkatnya jumlah pernikahan di bulan Syawal juga membuka ruang refleksi. Di banyak daerah di Indonesia, kantor urusan agama mencatat lonjakan permohonan nikah setelah lebaran. Momen lebaran memang dianggap strategis: keluarga besar berkumpul, biaya bisa lebih efisien, dan suasana batin dianggap lebih tenang.

Di sisi lain, di bulan yang kita sebut penuh berkah ini, tekanan sosial terhadap mereka yang belum menikah juga meningkat. Pertanyaan-pertanyaan seperti “kapan nyusul?” atau “calonnya mana?” menjadi rutinitas tahunan yang seolah-olah wajib hadir di meja makan keluarga.

Baca Juga:

Menikah sebagai Kontrak Kesepakatan

Jangan Nekat! Pentingnya Memilih Pasangan Hidup yang Tepat bagi Perempuan

Luna Maya Menikah, Berbahagialah!

Kontroversi Nikah Batin Ala Film Bidaah dalam Kitab-kitab Turats

Pernikahan Bukan Sekadar Status

Dalam perspektif Islam, pernikahan memang bernilai ibadah. Namun, Islam juga sangat menghargai kesiapan individu. Pernikahan bukan sekadar status, melainkan perjanjian besar (mîtsâqan ghalîzhan) yang membutuhkan kesalingan, keadilan, dan kematangan emosional.

Oleh karena itu, pertanyaan-pertanyaan yang menekan seseorang untuk segera menikah, tanpa mempertimbangkan kesiapan psikologis dan sosialnya, bisa berseberangan dengan nilai-nilai keadilan dalam Islam.

Cendekiawan seperti  Dr. Nur Rofiah menegaskan bahwa perempuan bukan sekadar objek dalam struktur sosial pernikahan. Dalam banyak kesempatan, beliau menyampaikan bahwa perempuan adalah subjek utuh yang memiliki hak menentukan kapan dan dengan siapa ia menikah—jika memang ingin menikah.

Ia juga menyoroti bagaimana norma-norma sosial seringkali membungkus tekanan sebagai kebaikan. Padahal justru mengabaikan nilai utama dari pernikahan itu sendiri: kebahagiaan dan keadilan.

Ironisnya, dorongan untuk menikah cepat di bulan Syawal tidak selalu sejalan dengan kesiapannya. Data dari sejumlah lembaga perlindungan anak menunjukkan bahwa banyak permohonan dispensasi pernikahan dini meningkat pasca-Ramadan.

Kenyataan ini menunjukkan bahwa dorongan sosial dan kultural kerap mengalahkan pertimbangan rasional dan psikologis yang matang. Hal ini bisa berdampak pada kualitas kehidupan rumah tangga di kemudian hari.

Pentingnya Kesiapan dalam Pernikahan

Pandangan serupa juga disampaikan oleh ulama kontemporer seperti KH. Bahauddin Nursalim (Gus Baha), yang menekankan pentingnya kesiapan dalam pernikahan. “Lebih baik menjadi pribadi yang siap dulu, daripada hanya sekadar sah secara hukum tapi tidak kuat secara batin,” ungkapnya dalam sebuah pengajian.

Maka, Syawal memang bisa menjadi waktu yang baik untuk menikah, tetapi tidak menjadikannya sebuah keharusan. Menikah di Syawal bisa jadi pilihan yang bermakna, tapi tidak semua orang harus menikah hanya karena “musimnya sedang ramai.”

Kita bisa mulai mengubah kebiasaan bertanya “kapan nyusul?” menjadi pertanyaan yang lebih empatik seperti, “bagaimana kabarmu?” atau “apa yang sedang kamu perjuangkan saat ini?” Sebab, keberhasilan seseorang tidak bisa diukur dari status pernikahannya, melainkan dari seberapa utuh ia mengenal dan merawat dirinya sendiri.

Syawal adalah bulan kemenangan—dan kemenangan yang sejati bukan hanya milik mereka yang bersanding di pelaminan, tapi juga milik mereka yang setia pada jalan hidupnya, apapun bentuknya. Mari rayakan Syawal dengan lebih bijak: menghormati yang memilih menikah, dan memuliakan yang memilih menunda—atau tidak menikah sama sekali. []

Tags: akad nikahmenikahMusim Akadpernikahansyawal
Firda Imah Suryani

Firda Imah Suryani

Saya perempuan bukan aib masyarakat, bukan juga orang kriminal.  Pengemar musik indie dan pemakan sayuran.

Terkait Posts

Memilih Pasangan

Jangan Nekat! Pentingnya Memilih Pasangan Hidup yang Tepat bagi Perempuan

8 Mei 2025
Keheningan

Keheningan Melalui Noble Silence dan Khusyuk sebagai Jembatan Menuju Ketenangan Hati

8 Mei 2025
Separuh Mahar

Separuh Mahar untuk Istri? Ini Bukan Soal Diskon, Tapi Fikih

7 Mei 2025
Aktivitas Digital

Menelaah Konsep Makruf dalam Aktivitas Digital

7 Mei 2025
Hak Penyandang Disabilitas

Menilik Kiprah Ulama Perempuan dalam Menguatkan Hak Penyandang Disabilitas

6 Mei 2025
Noble Silence

Noble Silence: Seni Menghormati Waktu Hening untuk Refleksi Keimanan

5 Mei 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Vasektomi

    Tafsir Sosial Kemanusiaan: Vasektomi, Kemiskinan, dan Hak Tubuh

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kritik Syaikh Al-Ghazali atas Diskriminasi Kesaksian Perempuan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Jangan Nekat! Pentingnya Memilih Pasangan Hidup yang Tepat bagi Perempuan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kopi Kamu: Ruang Kerja Inklusif yang Mempekerjakan Teman Disabilitas

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Menikah sebagai Kontrak Kesepakatan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Kopi Kamu: Ruang Kerja Inklusif yang Mempekerjakan Teman Disabilitas
  • Menikah sebagai Kontrak Kesepakatan
  • Jangan Nekat! Pentingnya Memilih Pasangan Hidup yang Tepat bagi Perempuan
  • Cara Membaca Ayat Kesaksian Perempuan Menurut Ibnu Rusyd dan Ibnu Al-Qayyim
  • Keheningan Melalui Noble Silence dan Khusyuk sebagai Jembatan Menuju Ketenangan Hati

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Go to mobile version