• Login
  • Register
Rabu, 2 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Personal

Syawal dan Musim Akad: Antara Sunah, Stigma, dan Pilihan Hidup

Syawal memang bisa menjadi waktu yang baik untuk menikah, tetapi tidak menjadikannya sebuah keharusan.

Firda Imah Suryani Firda Imah Suryani
09/04/2025
in Personal
0
Musim Akad

Musim Akad

1.4k
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Bulan Syawal sering kali hadir dengan dua hal: undangan pernikahan yang bertubi-tubi, dan pertanyaan basa-basi yang kerap menyentil: “Kapan nyusul?” Fenomena ini bukan hanya terjadi di dunia nyata, tapi juga terasa nyata di lini masa media sosial. Unggahan akad, resepsi, dan foto prewedding berseliweran, seolah Syawal adalah bulan khusus untuk menikah.

Secara historis, memang ada akar kuat dalam Islam terkait pernikahan di bulan Syawal. Diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW menikahi Aisyah RA di bulan ini. Dalam konteks sejarah Arab, hal ini menjadi simbol penting: membantah kepercayaan jahiliah yang menganggap Syawal sebagai bulan sial untuk menikah.

Dengan demikian, musim akad di bulan Syawal menjadi bentuk pembebasan dari stigma budaya yang tidak berdasar. Maka, menikah di bulan ini sering dipandang sebagai sunah yang baik untuk kita ikuti.

Namun, meningkatnya jumlah pernikahan di bulan Syawal juga membuka ruang refleksi. Di banyak daerah di Indonesia, kantor urusan agama mencatat lonjakan permohonan nikah setelah lebaran. Momen lebaran memang dianggap strategis: keluarga besar berkumpul, biaya bisa lebih efisien, dan suasana batin dianggap lebih tenang.

Di sisi lain, di bulan yang kita sebut penuh berkah ini, tekanan sosial terhadap mereka yang belum menikah juga meningkat. Pertanyaan-pertanyaan seperti “kapan nyusul?” atau “calonnya mana?” menjadi rutinitas tahunan yang seolah-olah wajib hadir di meja makan keluarga.

Baca Juga:

Pergeseran Narasi Pernikahan di Kalangan Perempuan

Tradisi Ngamplop dalam Pernikahan: Jangan Sampai Menjadi Beban Sosial

Bias Kultural dalam Duka: Laki-laki Tak Boleh Sepi, Perempuan Harus Mengisi

Bukan Tak Mau Menikah, Tapi Realitas yang Tak Ramah

Pernikahan Bukan Sekadar Status

Dalam perspektif Islam, pernikahan memang bernilai ibadah. Namun, Islam juga sangat menghargai kesiapan individu. Pernikahan bukan sekadar status, melainkan perjanjian besar (mîtsâqan ghalîzhan) yang membutuhkan kesalingan, keadilan, dan kematangan emosional.

Oleh karena itu, pertanyaan-pertanyaan yang menekan seseorang untuk segera menikah, tanpa mempertimbangkan kesiapan psikologis dan sosialnya, bisa berseberangan dengan nilai-nilai keadilan dalam Islam.

Cendekiawan seperti  Dr. Nur Rofiah menegaskan bahwa perempuan bukan sekadar objek dalam struktur sosial pernikahan. Dalam banyak kesempatan, beliau menyampaikan bahwa perempuan adalah subjek utuh yang memiliki hak menentukan kapan dan dengan siapa ia menikah—jika memang ingin menikah.

Ia juga menyoroti bagaimana norma-norma sosial seringkali membungkus tekanan sebagai kebaikan. Padahal justru mengabaikan nilai utama dari pernikahan itu sendiri: kebahagiaan dan keadilan.

Ironisnya, dorongan untuk menikah cepat di bulan Syawal tidak selalu sejalan dengan kesiapannya. Data dari sejumlah lembaga perlindungan anak menunjukkan bahwa banyak permohonan dispensasi pernikahan dini meningkat pasca-Ramadan.

Kenyataan ini menunjukkan bahwa dorongan sosial dan kultural kerap mengalahkan pertimbangan rasional dan psikologis yang matang. Hal ini bisa berdampak pada kualitas kehidupan rumah tangga di kemudian hari.

Pentingnya Kesiapan dalam Pernikahan

Pandangan serupa juga disampaikan oleh ulama kontemporer seperti KH. Bahauddin Nursalim (Gus Baha), yang menekankan pentingnya kesiapan dalam pernikahan. “Lebih baik menjadi pribadi yang siap dulu, daripada hanya sekadar sah secara hukum tapi tidak kuat secara batin,” ungkapnya dalam sebuah pengajian.

Maka, Syawal memang bisa menjadi waktu yang baik untuk menikah, tetapi tidak menjadikannya sebuah keharusan. Menikah di Syawal bisa jadi pilihan yang bermakna, tapi tidak semua orang harus menikah hanya karena “musimnya sedang ramai.”

Kita bisa mulai mengubah kebiasaan bertanya “kapan nyusul?” menjadi pertanyaan yang lebih empatik seperti, “bagaimana kabarmu?” atau “apa yang sedang kamu perjuangkan saat ini?” Sebab, keberhasilan seseorang tidak bisa diukur dari status pernikahannya, melainkan dari seberapa utuh ia mengenal dan merawat dirinya sendiri.

Syawal adalah bulan kemenangan—dan kemenangan yang sejati bukan hanya milik mereka yang bersanding di pelaminan, tapi juga milik mereka yang setia pada jalan hidupnya, apapun bentuknya. Mari rayakan Syawal dengan lebih bijak: menghormati yang memilih menikah, dan memuliakan yang memilih menunda—atau tidak menikah sama sekali. []

Tags: akad nikahmenikahMusim Akadpernikahansyawal
Firda Imah Suryani

Firda Imah Suryani

Saya perempuan bukan aib masyarakat, bukan juga orang kriminal.  Pengemar musik indie dan pemakan sayuran.

Terkait Posts

Vasektomi

Vasektomi, Gender, dan Otonomi Tubuh: Siapa yang Bertanggung Jawab atas Kelahiran?

2 Juli 2025
Narasi Pernikahan

Pergeseran Narasi Pernikahan di Kalangan Perempuan

1 Juli 2025
Toxic Positivity

Melampaui Toxic Positivity, Merawat Diri dengan Realistis Ala Judith Herman

30 Juni 2025
Second Choice

Women as The Second Choice: Perempuan Sebagai Subyek Utuh, Mengapa Hanya Menjadi Opsi?

30 Juni 2025
Tradisi Ngamplop

Tradisi Ngamplop dalam Pernikahan: Jangan Sampai Menjadi Beban Sosial

29 Juni 2025
Humor Seksis

Tawa yang Menyakiti; Diskriminasi Gender Di Balik Humor Seksis

26 Juni 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Anak Difabel

    Di Balik Senyuman Orang Tua Anak Difabel: Melawan Stigma yang Tak Tampak

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Meninjau Ulang Amar Ma’ruf, Nahi Munkar: Agar Tidak Jadi Alat Kekerasan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Gaji Pejabat vs Kesejahteraan Kaum Alit, Mana yang Lebih Penting?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Pergeseran Narasi Pernikahan di Kalangan Perempuan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mewujudkan Fikih yang Memanusiakan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Demianus si ‘Manusia Pembalut’ dan Perlawanan terhadap Tabu Menstruasi
  • Vasektomi, Gender, dan Otonomi Tubuh: Siapa yang Bertanggung Jawab atas Kelahiran?
  • Perceraian dalam Fikih: Sah untuk Laki-Laki, Berat untuk Perempuan
  • Gaji Pejabat vs Kesejahteraan Kaum Alit, Mana yang Lebih Penting?
  • Fikih yang Kerap Merugikan Perempuan

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID