Mubadalah.id – Akhir-akhir ini banyak pemberitaan media yang menyebutkan tentang menurunnya angka pernikahan. Sebagaimana yang dirilis oleh Kompas pada tanggal 8 Maret 2024, menyebutkan bahwa anak muda masa kini semakin berani memilih untuk tidak menikah dengan berbagai alasan dan pertimbangan bahwa pernikahan bukan lagi sebagai prioritas dalam hidup.
Rilis data dari Badan Pusat Statistik, angka pernikahan di Indonesia menurun signifikan sejak tahun 2018 sampai tahun 2023. Tahun 2018, angka pernikahan tercatat 2,01 juta pernikahan dan turun menjadi 1,96 juta pernikahan pada tahun 2019. Pada tahun 2022 angka pernikahan juga turun menjadi 1,58 juta, dan kembali turun sekitar 128.000 pernikahan di tahun 2023. Namun benar kah fenomena ini terjadi di sekeliling kita?
Dalam pengamatan saya ketika mengunggah konten-konten yang berkaitan dengan relasi pernikahan. Beberapa kali saya menemukan pola komentar yang disampaikan oleh follower Instagram Mubadalah.id, terkait dengan kekhawatiran untuk menikah.
Ada yang khawatir karena persoalan ekonomi, ada juga yang mengkhawatirkan dirinya terjebak pada relasi timpang, yang menjadi penyebab adanya kekerasan dalam rumah tangga, sebagaimana yang marak diberitakan di media.
Apa yang menggelisahkan dalam fenomena ini? Jika melihat konteks menikah itu berkaitan dengan angka kelahiran sebagaimana yang disampaikan oleh Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), terdata bahwa angka TFR (Total Fertility Rate) kelahiran di Indonesia juga cukup ideal, maka itu bukan menjadi sebuah permasalahan besar.
Apalagi jika fenomena ini dilihat dari pengalaman, pilihan, dan hak privat seseorang, ini merupakan hak masing-masing dari setiap individu yang akan menanggung resikonya. Sebagaimana tanggapan yang masuk dalam kolom komentar akun mubadalah.id terkait dengan pilihan menikah, mereka menyampaikan ‘Pikir-pikir dulu deh kalau menikah.’
Di sisi lain, fenomena ini juga menjadi sesuatu yang perlu kita lihat hal positifnya, salah satunya adalah semakin banyak orang yang mulai sadar, berhati-hati, dan penuh pertimbangan dalam memutuskan kehidupan pernikahan yang berkepanjangan, bukan hanya sekedar untuk menghindari zina sebagaimana narasi yang pernah marak sebelumnya.
Memahami Relasi Pernikahan dalam Kitab Manba’ Al-Sa’adah
Kitab Manba Al-Saadah sebagaimana judul lengkapnya Manba’ Al-Sa’ādah fi Usus Husn al-Mu’āsyarah wa Ahammiyat ash-Shihhah al-Injabiyyah fi al-Hayāh az-Zawjiyyah, merupakan kajian yang dimaknai sebagai telaga kebahagiaan mengenai prinsip-prinsip relasi dan pentingnya kesehatan reproduksi dalam kehidupan pasangan suami istri.
Berawal dari kajian ulang atas kitab ‘Uqud Al-Lujjayn yang dilakukan oleh forum FK3 yang digagas oleh Shinta Nuriyah, istri Gus Dur. Faqihuddin akhirnya merangkum usulan dan kritikan atas interpretasi baru tersebut dalam penulisan kitab baru dengan metodologi yang baru.
Sebagai kitab yang membahas tentang relasi pasangan, gagasan besar yang dituliskannya adalah tentang bagaimana Islam itu harus menjadi rahmat bagi seluruh alam. Dengan nilai inilah lalu berbagai referensi seperti ayat, hadist, dan pendapat ulama dari berbagai kitab dikumpulkan untuk menyusun pembahasan dalam Kitab Manba Al-Saadah.
Dari kitab ini dengan berbagai sumber referensi, baik dari ulama klasik, kontemporer, maupun berbagai madzhab, hal yang ingin ditekankan terkait dengan relasi pernikahan adalah prinsip rahmatan lil ‘alamain dan akhlak karimah, dan mengajak orang untuk berbuat baik serta mengelola kebaikan, baik itu antar pasangan secara khusus, maupun dengan lainnya.
Cara Pandang Kitab ‘Manba’ Al-Sa’adah’ Sebagai Pedoman Berelasi dalam Keluarga
Ada premis menarik yang saya temukan dalam Kitab Manba Al-Saadah ini, yakni ‘Kebaikan umat berawal dari kebaikan keluarga, kebaikan keluarga berawal dari prinsip memperhatikan kesehatan baik secara medis maupun psikis, hubungan pernikahan yang baik, penunaian hak bagi masing-masing suami istri dalam batasan kesetaraan, gotong royong, dan pergaulan yang mulia (mu’asharah bil ma’ruf).’
Dari premis tersebut ada beberapa poin penting yang bisa dijadikan sebagai pedoman dalam mempertimbangkan, memilih, dan memutuskan berkeluarga.
Pertama, prasayarat membangun relasi masyarakat, termasuk dalam kehidupan rumah tangga berlandaskan teologi humanis adalah monoteisme, keadilan, ketulusan dalam mengabdi (ikhlas), memulyakan (ikram), penghargaan (ihtiram), persamaan dan kesetaraan (musawah), cinta (mahabbah), tolong menolong, dan saling menanggung.
Pedoman pertimbangan tersebut menjadi panduan dan pedoman bagi siapa pun yang hendak memutuskan dan menjalani pernikahan agar menekankan pada aspek keadilan, persamaan, dan kesetaraan bagi pasangan baik suami maupun istri, serta pemenuhan hak perempuan.
Kedua, memiliki cara pandang bahwa kedudukan laki-laki dan perempuan adalah manusia yang setara, dan interaksi sosial yang dibangun antar keduanya harus didasari pada prinsip kerjasama, saling menopang, dan gotong royong.
Pandangan ini sesuai dengan apa yang telah tertulis dalam ayat-ayat al-Qur’an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW pada surat At-Taubah ayat 71,“Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain….”
Selain itu surat An-Nahl Ayat 97 dan Al-Hujurat Ayat 13 juga menekan kan pada pentingnya kita saling mengenal, saling memahami, dan mengerjakan kebajikan agar diberikan kehidupan yang lebih baik.
Dipertegas dalam surat Ar-Rum ayat 21, “Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang…..” Ayat ini memberi pedoman dan pengingat bahwa pada hakikatnya tujuan pernikahan adalah untuk mencapai kehidupan yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.
Ketiga, prinsip pergaulan mulia (husn al-mu’asyarah). Ini menjadi landasan dasar bagaimana kita harus berinteraksi dan bergaul, bukan hanya dengan pasangan, tetapi juga dengan semua makhluk Tuhan.
Sebagaimana pepatah mengatakan bahwa, ‘Lakukan sesuatu sebagaimana kamu ingin diperlakukan, dan jangan melakukan sesuatu yang kamu tidak ingin diperlakukan hal yang sama.”
Keempat, pemahaman resiprokal (tabaduli), baik dalam memahami teks-teks nash yang berkaitan dengan hubungan suami-istri dalam rumah tangga, maupun dalam praktek kehidupannya.
Menilik Pembahasan Relasi dalam Berbagai Rujukan
Pembahasan tentang relasi itu banyak kita temukan di berbagai rujukan, baik Al-Qur’an, Hadist, Kitab Akhlak, Fikih, dan lainnya. Berdasarkan prinsip ini, kita diberi penyadaran bahwa hal-hal yang baik harus berlaku untuk keduanya, begitupun sebaliknya.
Jika teks nash memerintahkan suami untuk berinteraksi secara baik pada istrinya, maka perintah itu juga berlaku pada istri berdasarkan prinsip resiprokal. Jika teks nash memerintahkan istri berterima kasih atas usaha yang dilakukan suami untuknya, maka suami juga diperintahkan agar berterima kasih kepada istrinya atas usaha yang dilakukannya.
Ini adalah pemahaman yang baik dan penting dalam mendiskusikan teks nash yang berkaitan dengan perihal pernikahan, khususnya tentang hak dan kewajiban perempuan. Juga dalam praktek kesehariannya.
Dengan keempat nilai di atas, kita diajak untuk memahami bahwa ajaran Islam mengajarkan untuk menjaga orang lain seperti memelihara dirinya sendiri. Di mana prinsipnya adalah untuk mengajak manusia agar memandang manusia lain dengan pandangan yang mulia dan terhormat, karena Allah telah memuliakan dan memberi kelebihan pada manusia.
Meski memutuskan menikah atau tidak merupakan pilihan masing-masing individu. Barangkali dengan menghayati kembali keempat nilai di atas, menjadi salah satu solusi agar diri kita atau orang-orang terdekat kita tidak lagi khawatir dan takut untuk menikah, jika memang masih memiliki keinginan tersebut. []