Mubadalah.id – Pada malam 26 Ramadan 1446 H atau 25 Maret 2025, Anggota Majelis Musyawarah Keagamaan (MM) Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) Nyai Dr Hj Nur Rofiah, Bil. Uzm menyampaikan ceramah di Masjid Istiqlal, Jakarta.
Dalam ceramahnya, di hadapan ribuan jamaah salat tarawih di Masjid Istiqlal, Manager Akademik Pendidikan Kader Ulama Masjid Istiqlal (PKUMI) Jakarta itu mengatakan bahwa Islam adalah agama yang menegaskan bahwa laki-laki dan perempuan adalah manusia seutuhnya yang memiliki akal budi serta mandat sebagai Khalifah fil Ardl.
Keduanya, kata Nyai Nur Rofiah, memiliki tanggung jawab yang sama dalam mewujudkan kemaslahatan di mana pun mereka berada, baik di ruang domestik maupun ruang publik.
“Sejarah Islam dan Indonesia menunjukkan bahwa perempuan telah berkontribusi dalam berbagai bidang, termasuk kepemimpinan, pendidikan, dan perjuangan sosial,” katanya.
Ketakwaan
Menurut Nyai Nur Rofiah, al-Qur’an juga mengajarkan bahwa kemuliaan seseorang tidak ditentukan oleh jenis kelamin, tetapi oleh ketakwaannya, yang salah satu wujudnya adalah keadilan.
“Sehingga pemahaman terhadap QS. An-Nisa ayat 34 yang lebih kontekstual menegaskan bahwa kepemimpinan bukanlah hak eksklusif laki-laki, melainkan berbasis pada kapasitas dan kapabilitas. Oleh karena itu, segala bentuk pembatasan peran perempuan di ruang publik bukanlah ajaran Islam, melainkan konstruksi budaya yang berkembang di berbagai wilayah,” jelasnya.
Pada akhirnya, lanjut Nyai Nur Rofiah, ruang terbaik bagi laki-laki maupun perempuan bukan hanya di rumah, tetapi di mana pun mereka dapat berkontribusi untuk kebaikan bersama, dengan prinsip kesetaraan, keadilan, dan kemaslahatan.
Untuk membaca isi ceramah Nyai Nur Rofiah, berikut teks lengkap ceramah Nyai Nur Rofiah di Masjid Istiqlal Jakarta:
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Yang saya muliakan, Imam Besar Masjid Istiqlal beserta segenap Pimpinan Badan Pengelola Masjid Istiqlal, dan Jamaah Shalat Tarawih Masjid Istiqlal rahimakumullah,
Alhamdulillah, pada malam ini kita diberi kesempatan untuk merefleksikan tafsir Al-Qur’an tentang peran publik perempuan, atau peran perempuan di luar rumah.
Peran publik perempuan sesungguhnya mempunyai akar yang sangat kuat dalam sejarah Islam maupun sejarah Indonesia. Dalam sejarah Islam, kita menemukan banyak sekali tokoh perempuan yang berperan aktif di ruang publik, seperti Sayyidah Khadijah yang menjadi pebisnis andal, Sayyidah Aisyah yang menjadi guru para sahabat, bahkan Sayyidah Nusaibah yang menjadi panglima perang.
Di Indonesia, kita juga memiliki banyak figur perempuan yang aktif di ruang publik. Di Aceh, terdapat empat sultanah atau sultan perempuan yang secara berturut-turut memimpin selama 58 tahun. Mereka adalah Safiyatuddin, Nakiyatuddin, Zakiyatuddin, dan Kamalat Syah.
Di belahan lain, kita memiliki tokoh bernama Rahmah El-Yunusiyah, pendiri Diniyah Puteri Padang Panjang, yang mendapatkan gelar Syaikhah (Guru Besar) langsung dari Rektor Universitas Al-Azhar Kairo karena telah menginspirasi universitas tersebut untuk membuka Kulliyyatul Banat (Fakultas Perempuan).
Di Jawa Timur, kita memiliki Nyai Khoiriyah yang pernah mukim di Mekah dan mendirikan Madrasah Lil-Banat. Beliau kemudian diminta oleh Presiden Soekarno untuk kembali ke tanah air dan menjadi pengurus Syuriyah Nahdlatul Ulama. Keilmuan agamanya sangat dihormati, bahkan oleh para ulama laki-laki.
Sampai hari ini, Indonesia masih memberikan ruang yang luas bagi perempuan untuk berperan di ruang publik. Ada perempuan yang menjadi rektor perguruan tinggi Islam, hakim, bahkan ketua pengadilan agama. Ada pula yang menjadi anggota DPR RI, bahkan presiden!
Namun, hingga hari ini masih banyak yang mempertanyakan, apakah peran publik perempuan ini sejalan dengan Islam? Bukankah tempat terbaik bagi perempuan adalah di rumah? Mari kita refleksikan bersama!
Al-Qur’an Merespon Peradaban Global
Al-Qur’an sesungguhnya hadir tidak hanya untuk merespons kondisi masyarakat Arab di Jazirah Arabia. Tetapi juga untuk merespons peradaban global yang ternyata memiliki sisi gelap. Apa itu?
Selama berabad-abad, suku dan bangsa besar kerap berperang, menjajah, serta memperbudak suku dan bangsa yang lebih lemah (dlu’afa dan mustadl’afin). Mereka memperlakukan pihak yang lemah bukan sebagai manusia. Karena berlangsung begitu lama, muncul norma yang menganggap bahwa menzalimi pihak lemah adalah hal yang wajar. Inilah yang harus kita waspadai bersama.
Sementara itu, perempuan sejak dahulu hingga kini memiliki siklus kehidupan yang berbeda dengan laki-laki. Ada masa di mana perempuan mengalami menstruasi, hamil, melahirkan, nifas, dan menyusui. Semua ini sering kali disertai dengan pendarahan dan meniscayakan perempuan berbagi energi dengan janin atau bayi, sehingga secara alamiah perempuan mengalami kondisi fisik yang melemah.
Sayangnya, karena adanya norma yang membenarkan kezaliman terhadap pihak yang lemah, perempuan di berbagai belahan dunia mengalami ketidakadilan yang sistemik. Di Jazirah Arabia, misalnya, terdapat praktik penguburan bayi perempuan hidup-hidup. Bayangkan, bayi yang masih hidup dikubur! Sementara di Afrika, ada tradisi infibulasi, yaitu pemotongan seluruh bagian luar organ kelamin perempuan, sehingga disebut mutilasi. Di India dan Tiongkok, ada tradisi Sati, di mana seorang istri yang dianggap baik harus membakar diri hidup-hidup bersama jenazah suaminya.
Perempuan secara umum dipandang sebagai harta laki-laki yang difungsikan sebagai alat pemuas seksual dan mesin reproduksi untuk melahirkan anak laki-laki. Karena dianggap sebagai harta, maka perempuan di mana pun lazim dikoleksi sebagai istri, dihadiahkan, dijadikan jaminan utang, bahkan dijual.
Cara pandang terhadap perempuan sebagai harta inilah yang kemudian melahirkan mindset bahwa tempat terbaik bagi perempuan adalah di dalam rumah, karena rumah mereka anggap sebagai tempat yang paling aman untuk menyimpan harta!
Kezaliman sistemik ini berakar dari kesadaran bahwa manusia hanya dipandang sebagai makhluk fisik, sehingga menilai manusia lainnya berdasarkan organ kelamin, warna kulit, postur tubuh, serta atribut fisik kesukuan dan kebangsaan lainnya.
Deklarasi Kemanusiaan
Al-Qur’an mengkritik keras cara pandang yang menilai manusia hanya sebagai makhluk fisik melalui ayat yang kini kita pahami sebagai Deklarasi Kemanusiaan, yaitu QS. Al-Hujurat ayat 13:
يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْاۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْۗ اِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ
Wahai manusia! Kami ciptakan kalian terdiri dari laki-laki dan perempuan dan Kami jadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku untuk saling kenal, tapi yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Mahatahu lagi Mahateliti.
Ayat ini menegaskan bahwa perempuan serta suku atau bangsa, khususnya dlu’afa’ dan mustadl’afin, adalah manusia. Oleh karena itu, mereka tidak boleh kita perlakukan secara tidak manusiawi dan wajib diperlakukan dengan adil dan bermartabat. Ayat ini juga mengubah mindset bahwa nilai manusia tidak tergantung pada atribut fisiknya, melainkan pada sesuatu yang bersifat spiritual, yaitu takwa. Salah satu ciri dari takwa adalah adil. Tetapi, apa itu takwa?
Setelah menegaskan kemanusiaan suku atau bangsa yang lemah dan dilemahkan, serta perempuan, Al-Qur’an kemudian membangun kesadaran bahwa setiap manusia memiliki status melekat sebagai hamba Allah. Ini adalah inti tauhid. Selain itu, manusia juga memiliki mandat melekat sebagai Khalifah fil Ardl, yang tugasnya adalah mewujudkan kemaslahatan seluas-luasnya di muka bumi.
Maka, nilai manusia hanya bergantung pada satu hal, yaitu kemampuannya untuk taat mutlak hanya kepada Allah dalam rangka mewujudkan kemaslahatan bagi sesama makhluk-Nya. Jadi, iman kepada Allah sebagai satu-satunya Tuhan, yang dibuktikan dengan perilaku baik (amal shalih) terhadap sesama makhluk Allah, inilah yang disebut takwa. Seperti yang saya katakan tadi, ciri dari takwa adalah bersikap adil, khususnya kepada pihak yang dibenci:
وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَاٰنُ قَوْمٍ عَلٰٓى اَلَّا تَعْدِلُوْاۗ اِعْدِلُوْاۗ هُوَ اَقْرَبُ لِلتَّقْوٰىۖ
Janganlah kebencian kalian pada satu kaum, (termasuk apartheid, rasisme, misoginisme) membuat kalian tidak adil. Bersikaplah adil karena itu lebih dekat dengan taqwa, (khususnya adil pada dlu’afa’ dan mustadl’afin!).
Makhluk Intelektual dan Spiritual
Dengan kesadaran seperti ini, manusia bukan hanya makhluk fisik. Tetapi juga memiliki akal sehingga menjadi makhluk intelektual, serta memiliki hati nurani sehingga menjadi makhluk spiritual. Manusia adalah makhluk yang berakal budi, yang mampu memastikan setiap tindakannya berdampak pada kemaslahatan bagi diri sendiri sekaligus bagi pihak lain. Puncak dari berislam adalah proses menjadi manusia seutuhnya, dengan makarimal akhlaq atau kemuliaan akhlak, sehingga menjadi bagian dari anugerah Islam bagi semesta.
Mandat sebagai Khalifah fil Ardl, yang melekat pada laki-laki dan perempuan sebagai manusia, kemudian menggeser mindset tentang ruang. Keduanya sama-sama bertanggung jawab untuk mewujudkan kemaslahatan sekaligus menikmatinya, serta mencegah kemungkaran sekaligus melindungi darinya, di mana pun berada—baik di dalam maupun di luar rumah, baik di ruang domestik maupun di ruang publik.
Jadi, perempuan juga adalah Khalifah fil Ardl. Karena itu, perempuan bukan tamu di ruang publik yang bisa sewaktu-waktu diusir untuk kembali ke rumah, sebagaimana yang sekarang sedang terjadi pada saudari-saudari Muslimah kita di Afghanistan.
Lalu, bagaimana dengan QS. An-Nisa ayat 34 yang mengatakan bahwa laki-laki adalah penanggung jawab atas perempuan? Ayat ini kerap menjadi landasan untuk melarang perempuan berkiprah di ruang publik, apalagi menjadi pemimpin.
Seperti biasa, satu ayat Al-Qur’an sering kali melahirkan banyak tafsir. Begitu juga dengan QS. An-Nisa ayat 34 ini:
اَلرِّجَالُ قَوَّامُوْنَ عَلَى النِّسَاۤءِ بِمَا فَضَّلَ اللّٰهُ بَعْضَهُمْ عَلٰى بَعْضٍ وَّبِمَآ اَنْفَقُوْا مِنْ اَمْوَالِهِمْۗ
2 Jenis Tafsir
Setidaknya ada dua jenis tafsir atas ayat ini. Pertama, laki-laki menjadi penanggung jawab atas perempuan, sehingga perempuan tidak boleh menjadi pemimpin.
Kedua, saya izin mengutip pendapat dari Imam Besar Masjid Istiqlal, Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar, M.A., yang telah melakukan penelitian mendalam hingga menjadi disertasi. Dalam penelitiannya, beliau menemukan bahwa Al-Qur’an menggunakan istilah yang berbeda untuk makna laki-laki dan perempuan.
Pertama adalah adz-dzakaru wal untsa. Ini merujuk pada laki-laki dan perempuan secara biologis, yang ditandai oleh organ kelamin. Kedua adalah ar-rajulu wal mar’ah, yang bentuk jamaknya adalah ar-rijalu wan-nisa’. Ini merujuk pada laki-laki dan perempuan secara sosial, yang ditandai oleh adanya kekuatan.
Karena itu, ar-rijalu qawwamuna ‘ala an-nisa’ memiliki pengertian bahwa siapa pun yang kuat, apa pun jenis kelaminnya, dia menjadi penanggung jawab atas yang lemah, apa pun jenis kelaminnya.
Karena ayat ini menggunakan bentuk jamak, maka kita bisa menjadikan ayat ini sebagai dasar untuk mengembangkan kepemimpinan yang bersifat kolektif-kolegial, yang berdasarkan pada kapasitas dan kapabilitas, bukan kepemimpinan personal pada jenis kelaminnya.
Pengertian kedua, yang menekankan pada kapabilitas dan kapasitas, bukan pada jenis kelamin sebagai pemimpin, rupanya sangat sejalan dengan QS. At-Taubah ayat 71:
وَالْمُؤْمِنُوْنَ وَالْمُؤْمِنٰتُ بَعْضُهُمْ اَوْلِيَاۤءُ بَعْضٍۘ يَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُقِيْمُوْنَ الصَّلٰوةَ وَيُؤْتُوْنَ الزَّكٰوةَ وَيُطِيْعُوْنَ اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗۗ اُولٰۤىِٕكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللّٰهُۗ اِنَّ اللّٰهَ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ
Laki-laki dan perempuan yang beriman saling menjadi wali/ penjaga/ mitra/ teman setia satu sama lain. Mereka bekerjasama memerintahkan kebaikan dan mencegah kemunkaran, menunaikan shalat dan membayar zakat, juga taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah orang-orang yang akan Allah rahmati. Sesungguhnya Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.
Jadi, Bapak/Ibu Jamaah Salat Tarawih Masjid Istiqlal.
Kalau cara pandang kita terhadap perempuan adalah sebagai harta, maka tempat terbaiknya adalah di rumah. Tapi kalau kita melihat perempuan sebagai manusia seutuhnya—makhluk yang berakal budi dan mengemban mandat sebagai Khalifah fil Ardl. Maka tempat terbaik bagi perempuan, juga laki-laki, adalah di mana saja, asalkan tempat itu keduanya gunakan untuk mewujudkan kemaslahatan bersama.
Bapak/Ibu Jamaah Shalat Tarawih Masjid Istiqlal yang saya hormati.
Jika di negara-negara berpenduduk Muslim lainnya peran publik perempuan dilarang dan mereka memandang apa yang terjadi di Indonesia ini bertentangan dengan Islam, maka pertanyaannya adalah: apakah bertentangan dengan Islam atau bertentangan dengan budaya mereka?
Dan jika peran publik perempuan dipandang bertentangan dengan kehidupan pada masa Nabi. Maka pertanyaannya adalah: bertentangan, atau justru melanjutkan apa yang sudah Nabi teladankan?
Demikian, terimakasih, dan semoga bermanfaat. Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh. []