Mubadalah.id – Dalam lembaran sejarah bangsa Indonesia tokoh perempuan, seperti Teungku Fakinah, jarang ditampilkan atau tertulis dalam buku ajar selama ini. Sejarah Indonesia yang termaktub dalam buku ajar sekolah konvensional dipenuhi oleh tokoh laki-laki.
Hal ini menunjukkan bahwa pemarjinalan tokoh perempuan masih terjadi di Indonesia. Padahal, jika menelisik sejarah lebih jauh terdapat banyak nama perempuan yang tercatat memiliki sumbangsih terhadap negeri ini.
Berbagai nama telah tercatat sebagai perempuan hebat yang memiliki sumbangsih yang besar terhadap kejayaan negeri ini. Dari Sabang hingga Merauke banyak terlahir perempuan-perempuan hebat yang jasanya begitu besar. Tidak kalah dengan kaum laki-laki.
Salah satu nama perempuan yang masyhur terkenal sebagai pejuang kemerdekaan adalah Cut Nyak Dien dari Aceh. Dia adalah seorang panglima perempuan yang gagah berani. Akan tetapi, hingga kini nama-nama perempuan lain seakan hilang tidak berbekas hingga namanya tak lagi kita kenali.
Salah satu pejuang perempuan yang kini namanya hampir tidak lagi kita kenali ialah Teungku Fakinah. Dia adalah seorang ulama perempuan kharismatik dan juga seorang panglima perang.
Mengenal Teungku Fakinah
Teungku Fakinah lahir pada tahun 1856 M di sebuah desa bernama Lam Diran yang terletak di kampung Lam Beunot. Ia adalah putri dari pasangan Teungku Asahan atau terkenal sebagai Datu Mahmud dan Teungku Fatimah yang masyhur kita kenal sebagai Cut Mah.
Kedua orang tuanya bukanlah orang sembarangan. Ayahnya adalah seorang bangsawan dan ibunya adalah putri dari ulama besar yakni Teungku Muhammad Saad atau yang terkenal sebagai Teungku Chik Lam Pucok. Srikandi bernama Fakinah ini sejak kecil sudah mereka asuh dengan pola pengasuhan yang agamis. Hal ini membentuk Fakinah kecil menjadi pribadi yang alim kelak di masa mendatang.
Pada remaja, Fakinah muda menikah dengan seorang perwira yang juga ulama bernama Teungku Ahmad. Setelah pernikahannya terjadi dia dan suaminya diberi Amanah oleh orang tuanya untuk memimpin sebuah Dayah[1] di Lam Pucok. Sejak saat itu Dayah tersebut membuka ruang bagi perempuan untuk belajar.
Pada tahun 1873 M, Hindia Belanda melancarkan operasi militer ke daerah Aceh. Kedatangan mereka disambut dengan serangan oleh para pejuang Aceh pimpinan Teungku Ahmad. Pertempuran terjadi sangat sengit, banyak jatuh korban di kedua belah pihak. Dari pihak Aceh, nama Teungku Ahmad suami Teungku Fakinah tercatat dalam pejuang yang syahid di medan pertempuran.
Menjadi Pemimpin Dayah dan Panglima Perang
Sepeninggal suaminya, Teungku Fakinah menggantikan posisinya baik sebagai pemimpin dayah maupun sebagai seorang panglima perang. Pada 9 Juni 1896 M, pasukan Hindia Belanda di bawah pimpinan Kolonel J. W. Stempoort menyerang ke jantung pertahanan benteng yang kini di bawah pimpinan Teungku Fakinah tepatnya berada di daerah Lam Krak.
Peperangan ini berlangsung panjang, perlawanan yang prajurit pimpinan Teungku Fakinah berikan begitu kuat. Meski pada akhirnya menderita kekalahan, namun perlawanan tersebut berhasil mempersulit Belanda dalam menguasai Lam Krak; hingga Lam Krak jatuh pada Agustus 1896.
Pasca peperangan tersebut, Teungku Fakinah terus melakukan perlawanan terhadap Hindia Belanda. Meski berkali-kali harus mundur karena perbandingan kekuatan pasukan yang tidak seimbang. Teungku Fakinah Bersama pasukannya terus bergerilya. Mulai dari Lam Krak, Gleyeueng, Indrapuri, Pidie, hingga Tangse.
Dalam perjalanan gerilyanya, dia tak pernah lupa untuk memberikan ilmunya kepada siapa saja, khususnya kepada kaum perempuan. Di mana pada saat itu masih masyhur mereka pandang sebagai makhluk kelas dua. Sehingga, meski selalu terlibat aktif dalam berbagai konflik bersenjata Teungku Fakinah tidak pernah lupa tentang diri dia yang merupakan seorang ulama perempuan kharismatik di daerahnya.
Pada akhirnya, setelah melewati medan jihad yang panjang Teungku Fakinah mendirikan dayah pada tahun 1911 M yang ia beri nama dengan Dayah Lam Diran. Di tempat ini lah beliau menyebarkan ilmunya. Selain itu juga menyebarkan semangat juang kepada rakyat Aceh khususnya kaum perempuan. Yakni untuk meneruskan perlawanan terhadap penjajah. []
[1] Dayah, tempat menuntut ilmu agama atau yang kini terkenal sebagai Langgar yang biasa kami gunakan untuk salat dan mengaji.