Mubadalah.id – Masih banyak yang mengira bahwa praktik trafficking atau perdagangan manusia hanyalah masalah kriminal biasa. Padahal, ini adalah wajah baru dari perbudakan, yang terus menyisakan luka panjang dalam sejarah kemanusiaan kita.
Islam sejak awal sudah menegaskan betapa tidak beradabnya praktik trafficking ini. Dalam Al-Qur’an surat an-Nur ayat 33, Allah memerintahkan agar para hamba sahaya yang ingin merdeka diberikan perjanjian kebebasan, hak-hak ekonominya ditunaikan, dan yang paling penting: dilarang keras memaksa mereka terjun ke praktik pelacuran hanya demi keuntungan duniawi.
KH. Husein Muhammad dalam bukunya Spiritualitas Kemanusiaan Perspektif Islam Pesantren menegaskan bahwa ada beberapa poin kunci dari ayat tersebut.
Pertama, kita memiliki kewajiban mutlak melindungi kaum perempuan. Kedua, Islam mendorong pembebasan siapa saja yang terperangkap dalam belenggu perbudakan.
Ketiga, majikan wajib menyerahkan hak-hak ekonomi para pekerja. Dan keempat, eksploitasi tubuh perempuan demi harta, jabatan, atau popularitas adalah tindakan yang haram.
Menariknya, Al-Qur’an juga sangat manusiawi dalam memandang korban. Mereka yang terpaksa melakukan praktik pelacuran atau tindakan zina karena tekanan dan ancaman, dimaafkan dan diampuni dosa-dosanya oleh Tuhan.
Nabi Membebaskan
Nabi Muhammad Saw. sendiri pernah membebaskan hukuman terhadap seorang perempuan yang dipaksa berzina. Bahkan pada masa Khalifah Umar bin Khathab, ada kasus terkenal tentang seorang perempuan yang sangat kehausan lalu meminta air pada seorang lelaki. Sayangnya, lelaki itu bersedia memberi minum hanya jika perempuan itu mau memenuhi syahwatnya.
Peristiwa ini dilaporkan kepada Umar, yang lalu berkonsultasi dengan Ali bin Abi Thalib. Ali berfatwa bahwa perempuan itu dalam keadaan terpaksa, sehingga tidak boleh dijatuhi hukuman, sesuai firman Allah dalam QS. al-Baqarah (2):173:
“Barang siapa dalam keadaan terpaksa sedang ia tidak menginginkannya dan tidak pula melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya, Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Atas dasar ini, para ulama fikih pun bersepakat bahwa perempuan yang dipaksa berzina dibebaskan dari hukuman. Betapa adil dan rahmatnya Tuhan, yang melihat situasi dengan penuh empati, bukan sekadar menghukumnya.
Sayangnya, nilai-nilai luhur ini belum sepenuhnya tercermin dalam praktik sosial kita hari ini. Di berbagai tempat, perempuan masih menjadi objek eksploitasi, dijerat oleh sindikat perdagangan manusia yang mengatasnamakan pekerjaan atau kesempatan hidup lebih baik.
Sementara banyak dari kita hanya diam, menutup mata, atau malah terlibat sebagai penikmat hasil kejahatan ini. []