• Login
  • Register
Minggu, 1 Juni 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Personal

3 Alasan Patriarkhi Tetap Bertahta

Kita membutuhkan effort yang tinggi dan bersama-sama. Yakni dengan memberikan edukasi pada orang-orang yang bisa kita jangkau, doakan sesama agar hatinya lekas terarah pada keadilan

Nur Kholilah Mannan Nur Kholilah Mannan
06/06/2023
in Personal, Rekomendasi
0
Alasan Patriarkhi Tetap Bertahta

Alasan Patriarkhi Tetap Bertahta

803
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Sebelum mengulas alasan patriarkhi tetap bertahta, ada satu refleksi saya terkait hal itu. Makin ke sini saya semakin paham alasan fatherless yang akhir-akhir ini tengah marak di Indonesia. Dan konon, menurut hasil penelitian yang melansir di feed instagram @narasi.tv banyak anak kehilangan sosok ayah dalam hidupnya, Indonesia masuk peringkat 3 negara fatherless di dunia.

Fenomena ini membuat semakin yakin bahwa alasan patriarkhi tetap bertahta, sudah menjadi sistem yang mengakar kuat. Bertahta tanpa masa periode. Penelitian di atas disampaikan dalam program sosialisasi “Peran Ayah dalam Proses Menurunkan Tingkat FatherlessIl Country Nomor 3 Terbanyak di Dunia” oleh mahasiswa universitas Sebelas Maret pada Oktober sampai Desember 2021.

Fatherless dalam istilah ini bukan hanya anak yatim melainkan anak yang tidak merasakan kehadiran sosok ayah, baik dari ayah kandungnya atau dari pengganti ayahnya (paman, kakak atau kakek). Seorang anak tidak merasakan eksistensi seorang bapak meski ada ayah kandungnya atau lelaki yang menjadi walinya (baca: kakek, paman dan kakak laki-laki).

Fenomena Fatherless, dan Alasan Patriarkhi Tetap Bertahan

Dalam penelitian itu, penyebab fenomena ini bisa jadi dari 3 faktor, ekonomi, sosial dan budaya. Masyarakat Indonesia telah –hampir- meyakini bahwa tanggung jawab nafkah dalam rumah tangga kita bebankan pada lelaki. Dalam wujud suami atau anak lelaki.

Meskipun seorang perempuan mampu menghasilkan income, itu masih dianggap pelengkap saja. Ke-aku-an seorang lelaki, katanya, amat gengsi jika menjadi tangan di bawah. Maka ia harus menjadi pemberi. Dengan kata lain, secara ekonomi, sosial dan budaya Indonesia, seorang lelaki harusnya berada di luar rumah untuk mencari nafkah.

Baca Juga:

Dekonstruksi Pandangan Subordinatif terhadap Istri dalam Rumah Tangga

Najwa Shihab dan Ibrahim: Teladan Kesetaraan dalam Pernikahan

Membangun Keluarga Sakinah: Telaah Buku Saku Keluarga Berkah

KB: Ikhtiar Manusia, Tawakal kepada Allah

Selain 3 penyebab di atas, menurut hemat saya ada 3 alasan patriarkhi tetap bertahta di masyarakat kita. Pertama, kebiasaan (habit). Tidak bisa dipungkiri, banyak masyarakat kita terbiasa dengan pemandangan; lelaki tidak mencuci pakaian, menyapu, menyiapkan sarapan, dan segenap pekerjaan rumah lainnya.

Kebiasaan ini bermula sejak dini, sejak usia lelaki masih kecil dan berlanjut menjadi kebiasaan hingga dewasa dan membina keluarga baru. Para lelaki itu terbiasa tidak akan menyentuh pekerjaan rumah.

Domestikasi Peran Perempuan

Pada gilirannya, tertanam konsep di alam bawah sadarnya bahwa “pekerjaan rumah bukan pekerjaanku.” Melainkan perempuan, entah ibu, adik atau kakak perempuannya. Konsep ini seakan sudah menjadi sistem paten, sehingga perempuan yang tidak bisa atau tidak terbiasa mencuci-memasak akan dianggap upnormal. Ada domestikasi peran perempuan di sini.

Padahal polarisasi semacam ini sudah didobrak oleh Nabi dengan melakukan pekerjaan rumah sebagaimana yang diceritakan sayyidah Aisyah, bahwa Nabi juga melayani keluarganya di rumah, melakukan pekerjaan rumah sebagaimana perempuan.

Dalam hal ini, seseorang yang telah sadar (laki-laki atau perempuan) selayaknya berpangku tangan membangunkan yang lain, yang masih terlelap di alam patriarkhinya. Ya, harus berpangku tangan, karena mengubah sistem tidaklah mudah.

Kita membutuhkan effort yang tinggi dan bersama-sama. Yakni dengan memberikan edukasi pada orang-orang yang bisa kita jangkau, doakan sesama agar hatinya lekas terarah pada keadilan.

Kedua, penghakiman (judgment) pada lelaki bahwa ia tidak mampu melakukan pekerjaan rumah. Kepada suami, saya sering melakukan lobi menjaga anak dan serentetan tugas di dalam rumah. Pertama kali memintanya untuk mengganti baju dan popok anak, ia sangat kaku, terlihat dari tangannya yang gugup dan amat berhati-hati menggerakkan anak. Namun dua-tiga kali bisa sat set juga.

Lakukan Perubahan Bersama-sama

Butuh kepercayaan dan kesabaran. Percaya bahwa setiap manusia dibekali akal yang sama-sama kosong pengalaman. Pada awalnya kita sama-sama tidak tahu, berangkat dari kebodohan, dan akan berubah jika berani mencoba. Butuh kesabaran belajar dan mengajari hal baru.

Sejak anak pertama lahir saya banyak mendapatkan pelajaran. Jujur, sebelum menikah hampir tidak pernah saya menggendong bayi di bawah 6 bulan. Takut dan kaku. Tapi tuntutan melakukannya pada bayi sendiri membuat saya lihai menggendongnya.

Suami pun begitu. Awalnya gemetar saat menggendong, sesekali dihakimi dengan perkataan oleh tetangga “duh lakean tak usa ngemben baji’, kako, begi ka binian bhai” (duh lelaki gak usah nyoba gendong bayi, kaku juga, berikan saja pada perempuan). Untungnya dia punya rasa ingin mencoba dan keluar dari justifikasi itu. Kini, tidak jarang bayi kami tidur di pangkuannya.

Ketiga, narasi agama yang tidak seimbang. Sudah lama sekali kita mendengar teks-teks agama yang mengatakan; istri wajib patuh pada suami, jika istri menolak ajakan ranjang suami maka malaikat melaknatnya sampai fajar terbit, istri yang ingin berkarir tidak boleh abai pada anak dan rumahnya, dan semacamnya.

Sementara narasi yang membandinginya, yang juga datang dari teks-teks agama, tidak semasif narasi di atas. Bahwa Nabi mengatakan “Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik sikapnya pada keluarga”, bahwa Nabi juga melakukan pekerjaan domestik, melayani keluarga, tidak semena-mena minta dilayani sebagaimana yang kerap dipahami dari teks “istri wajib patuh pada suami.”

Akhirnya mari kita lakukan perubahan bersama. Pelan. Kata pribahasa, sedikit demi sedikit lama-lama menjadi bukit. []

 

 

Tags: Fenomena FatherlesskeluargaPatriarkhipengasuhanPeran Ayah
Nur Kholilah Mannan

Nur Kholilah Mannan

Terkait Posts

Ketuhanan

Ketuhanan yang Membebaskan: Membangun Perdamaian dengan Dasar Pancasila

1 Juni 2025
Pandangan Subordinatif

Dekonstruksi Pandangan Subordinatif terhadap Istri dalam Rumah Tangga

31 Mei 2025
Joglo Baca SUPI

Joglo Baca SUPI: Oase di Tengah Krisis Literasi

31 Mei 2025
Disabilitas dan Seni

Kreativitas tanpa Batas: Disabilitas dan Seni

31 Mei 2025
Difabel di Dunia Kerja

Menjemput Rezeki Tanpa Diskriminasi: Cara Islam Memandang Difabel di Dunia Kerja

30 Mei 2025
Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

Menilik Peran KUPI Muda dalam Momen Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

30 Mei 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Pandangan Subordinatif

    Dekonstruksi Pandangan Subordinatif terhadap Istri dalam Rumah Tangga

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ketika Jilbab Menjadi Alat Politik dan Ukuran Kesalehan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Bagaimana Hukum Dokter Laki-laki Memasangkan Kontrasepsi IUD?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tren Mode Rambut Sukainah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ketuhanan yang Membebaskan: Membangun Perdamaian dengan Dasar Pancasila

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Ketika Jilbab Menjadi Alat Politik dan Ukuran Kesalehan
  • Ketuhanan yang Membebaskan: Membangun Perdamaian dengan Dasar Pancasila
  • Luka Ibu Sebelum Suapan Terakhir (Bagian 1)
  • Tren Mode Rambut Sukainah
  • Dekonstruksi Pandangan Subordinatif terhadap Istri dalam Rumah Tangga

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID