Mubadalah.id – Sejak beberapa waktu lalu, media sosial telah ramai dengan tagar #ChooseToChallenge yang dibuat dalam rangka memeringati Hari Perempuan Internasional. Kampanye ini tidak sekadar selebrasi, tapi semacam dorongan yang mengajak seluruh perempuan untuk menunjukkan diri mereka sebagai individu yang berdaya, memiliki hak dalam menyuarakan pendapat, pilihan dan punya ruang untuk menyerukan adanya ketidakadilan yang membelenggu perempuan.
Seruan aksi, beberapa kegiatan dan agenda diskusi, baik online maupun offline pun mulai diselenggarakan oleh berbagai komunitas dan kolektif. Dilansir dari laman internationalwomensday.com, tema peringatan International Women’s Day (IWD) 2021 ini mengajak perempuan untuk bersama-sama menciptakan ruang yang inklusif, bebas dari bias dan ketidaksetaraan gender. Langkahnya, tentu dimulai dari keberanian tiap-tiap perempuan untuk menantang diri sembari merayakan capaiannya selama ini.
Berbicara mengenai IWD tentu tidak bisa dipisahkan dari akar sejarah dan perjuangan perempuan. Di mana sejak awal 90-an, para tenaga kerja perempuan di Amerika telah melakukan berbagai aksi, menuntut persamaan hak dalam bekerja, penyetaraan dan kelayakan gaji, keadilan dan mendesak adanya perubahan yang nyata. Tuntutan demi tuntutan tersebut dilayangkan secara berkesinambungan dan massif dilakukan, menyusul kesadaran perempuan untuk bisa berpartisipasi dalam bidang politik, ekonomi dan sosial.
International Women’s Day sendiri memiliki latar belakang peringatan yang panjang. Sebelumnya, pada 1910 lewat Konferensi Internasional Pekerja Perempuan, Clara Zetkin mengusulkan 28 Februari sebagai Hari Perempuan Internasional. Di tahun berikutnya perempuan-perempuan di Austria, Jerman dan beberapa negara lain memeringati hari perempuan pada 19 Maret. Setelah melalui perjalanan yang panjang, baru pada 1975 International Women’s Day ditetapkan secara resmi oleh PBB dan diperingati secara global tiap 8 Maret.
Di Indonesia, perjuangan pekerja perempuan dalam mendapatkan hak dan keadilan juga masih perlu menempuh jalan panjang. Selain pilihan pekerjaan yang kurang, sisi kelayakan upah yang jauh dari standar, minimnya fasilitas yang mendukung kerja-kerja perempuan di beberapa sektor kerja juga menjadi tantangan tersendiri bagi perempuan. Belum lagi jika harus menghadapi kekerasan atau diskriminasi berlapis di ruang publik.
Jika menengok data dari Catatan Tahunan Komnas Perempuan yang dikeluarkan 5 Maret 2021, tingkat kekerasan yang dialami oleh perempuan di ranah publik atau komunitas masih menunjukkan angka yang tinggi. Dari data tersebut menyebutkan ada 590 laporan (56%) mengenai kekerasan seksual yang dialami oleh perempuan pada 2020. Diikuti dengan kekerasan psikis, ekonomi dan fisik. Tentu ini menjadi persoalan utama yang mendesak untuk ditindaklanjuti.
Terlebih di masa pandemi Covid-19 saat ini, pekerja perempuan masih harus mendapatkan beban tambahan selama work from home (karena harus mengurus rumah atau mengawal pembelajaran anak di rumah), mengalami pengurangan pendapatan bahkan banyak yang mengalami PHK. Kompleksitas persoalan yang dihadapi oleh pekerja perempuan tersebut, semestinya bisa mendorong pemerintah untuk membuat kebijakan atau payung hukum, yang bisa melindungi hak-hak mereka secara utuh.
Selalu Berani Mengambil Langkah
Meski dililit ketidakadilan, dalam banyak kasus beban kerja dan upah juga belum bisa dikatakan layak, akan tetapi ada hal penting yang patut diapresiasi, yakni keberanian perempuan untuk selalu mengambil kesempatan terjun di dunia kerja.
Perjuangan perempuan di masa lalu telah membuka kesempatan bagi perempuan untuk memilih pekerjaan yang mereka minati dan kuasai. Tidak terbatas menjadi pekerja di sektor formal, tapi juga informal, bahkan memiliki dorongan untuk mengembangkan usaha mikro kecil dan menengah.
Menurut data International Finance Corporation (katadata, 11/08) total UMKM yang dikelola oleh perempuan tembus hingga 30,6 juta unit pada 2020. Terlepas dari alasan atau latar belakang pembentukan usaha tersebut, setidaknya hal ini membuktikan bahwa perempuan bisa survive di tengah himpitan persoalan pandemi, minimnya peluang dan kerentanan perempuan di segala bidang.
Daya perempuan dalam menghadapi krisis tersebut diperoleh dari banyak faktor, terutama kapasitas atau potensi dan pengalamannya. Selain itu, kurangnya perhatian pemerintah terhadap perempuan pelaku usaha juga membuat mereka tidak menggantungkan diri pada uluran modal dari pemerintah.
Pada akhirnya kampanye #ChooseToChallenge ini bisa menjadi semacam support system bagi perempuan di Indonesia untuk terus melawan ketimpangan, menyuarakan kemandirian sekaligus menjadi kritik keras bagi pemerintah yang acuh tak acuh terhadap tanggung jawabnya dalam melindungi segenap hak pekerja perempuan. []