Barangkali semua orang sudah tahu, Gus Dur bukan hanya kiai tapi juga budayawan. Tak hanya gandrung menonton film, membaca novel ataupun menyaksikan pagelaran wayang, Gus Dur dikenal mempunyai pamikiran mendalam tentang budaya. Hal itu terlihat dengan Gus Dur suka musik Tarling khas Cirebon-Indramayu
Bagi Gus Dur, budaya bukan hanya produk tapi lebih luas dari itu. Dalam bahasa Bisri Effendy, menurut Gus Dur, budaya adalah seni hidup (the art of living) atau kehidupan sosial manusiawi (human social life).
Sekitar tahun 80-an, mendiang Gus Dur pernah menjadi ketua IKJ (Institut Kesenian Jakarta) dan menjadi ketua dewan juri Festival Film Nasional. Orang-orang NU dan pesantren pada waktu itu menyindir Gus Dur sebagai ‘Kiai Ludruk’ atau ‘Kiai Ketoprak’.
Mungkin di mata mereka seorang kiai tidak seharusnya menjadi pelaku seni, karena dua hal itu sangat berlawanan, mungkin seperti hitam dan putih.
Inayah Wahid, anak Gus Dur yang berkecimpung di dunia seni, menceritakan hal yang mengejutkan ketika berdiskusi dengan bapaknya tentang kebudayaan. Waktu itu Gus Dur berpesan agar anaknya mendengarkan lagu-lagu dangdut.
Kenapa lagu dangdut? “Karena sungguh lagu-lagu itulah yang menjelaskan mengenai apa terjadi di tengah masyarakat kita,” kata Inayah menirukan pesan dari Gus Dur.
Musik sebagai seni adalah produk dari kebudayaan. Seni yang tumbuh di tengah masyarakat akan menampilkan gambaran-gambaran kehidupan masyarakatnya. Dengan mendengarkan musik dangdut, kita akan mengetahui kehidupan, interaksi dan masalah-masalah masyarakat tempat dangdut tumbuh. Kurang lebih begitu.
Saya begitu yakin nasihat Gus Dur kepada anaknya itu sepenuhnya benar. Bukan karena Gus Dur kiai atau wali melainkan karena saya pernah membaca sebuah tulisan bahwa Gus Dur ternyata sangat menggemari musik tarling.
Ya tarling, musik dangdut yang tumbuh di daerah pantura Cirebon-Indramayu. Meskipun berirama dangdut, tarling tidak menghilangkan irama lokal daerahnya yang begitu khas.
Salah satu lagu tarling kesukaan Gus Dur berjudul ‘Remang-remang’ yang dinyanyikan Diana Sastra. Bahkan begitu cintanya Gus Dur dengan lagu ini, dia pernah meminta Diana menyanyikan lagu tersebut secara langsung di hadapannya.
Dua kali Diana bertemu dan menyanyikan lagu itu untuk Gus Dur. Gak nyangka, tarling dangdut modern yang dikenal seronok dan vulgar itu ternyata disukai seorang kiai besar seperti Gus Dur.
Saya sebut Seronok karena inilah kesan dominan saat menonton pagelaran musik tarling di pelosok desa di Cirebon, Indramayu dan sekitarnya. Kesan seronok itu pula yang muncul dalam laporan yang ditulis Heru Triyono dalam majalah Tempo edisi 9-15 Juli 2012, Goyang Maut Pantai Utara.
Bahwa seni ini mengumbar kegenitan dan memanfaatkan tubuh penyanyi perempuannya. Persis dangdut koplo yang bertebaran di Jawa.
Kesan orang terhadap tarling boleh saja begitu rupa, tapi nyatanya pelaku kesenian ini tak menampilkan wajah homogen. Banyak di antara mereka benar-benar berkualitas bahkan sebagian lagu-lagu tarling mempunyai pesan dan makna mendalam tentang kehidupan.
Ambil satu saja contoh, lagu-lagu Dariyah ternyata banyak mengandung nilai-nilai kemanusiaan seperti Gambaran Urip, Manuk Dara Sejodo, Gawat, dan masih banyak lagi. Lagu Gawat bahkan mengandung ajaran moral untuk tetap menjaga nilai-nilai lokal di tengah gempuran globalisasi yang menawarkan kebebasan.
Demikian penjelasan Gus Dur suka musik Tarling khas Cirebon-Indramayu. Ia merupakan ulama yang mencintai kesenian dan kebudayaan. []