Mubadalah.Id- Demikian penjelasan terkait peran gerakan perempuan NU. Nahdlatul Ulama (NU) adalah salah satu organisasi keagamaan terbesar di Indonesia. Organisasi ini pada mulanya hanya beranggotakan kaum laki-laki.
Namun dalam Kongres NU ke-13 tahun 1938 di Menes, Banten, Ny. Djunaisih sebagai perintis organisasi Muslimat NU menyampaikan gagasan bahwa, “dalam Islam tidak hanya laki-laki saja yang harus dididik berkenaan dengan ilmu agama melainkan perempuan juga wajib dan harus selaras mendapat didikan dengan tuntutan dan kehendak agama Islam”.
Gagasan tersebut merupakan cikal bakal lahirnya Muslimat NU. Gerakan yang dirintis ini pun memang mendapat pengaruh budaya dan tradisi patriarki.
Namun pada masa itu kaum perempuan berhasil menyuarakan pentingnya perempuan berperan aktif dalam organisasi tidak semata hanya dalam wilayah domestik saja.
Dalam dua dasawarsa, NU sebagai organisasi masyarakat yang berakar dari pesantren, kerap disebut sebagai subkultur feodal di Indonesia. Ini menjadi dalih untuk meminggirkan peran NU dari peta politik Orde Baru dan sejarah. NU juga digambarkan sebagai kaum kusam yang ditinggalkan modernisme Indonesia.
Anggapan penihilan peran NU juga terjadi dalam wacana gerakan kesetaraan gender dan feminisme di Indonesia. Anggapan ini diperkuat karena telambatnya pembentukan organisaasi perempuan, seperti Muslimat NU, Fatayat NU, Ikatan Pelajar Puteri Nahdlatul Ulama (IPPNU), dan Korps Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Puteri (Kopri).
NU sebagai basis organisasi yang berakar pesantren dianggap sebagai subkultur yang sangat kuat dalam mempertahankan tradisi patriarki.
Meskipun pembentukan sayap perempuan dalam badan otonom dan organisasi di NU tergolong lambat, namun jika dilihat dari sejarah, justru secara kultural, pesantren telah mulai membantu sejak lama dalam menyelaraskan gerakan kesetaraan gender. Terbukti dengan salah satu sumbangsih ulama terhadap akselerasi gerakan feminisme di pesantren adalah berdirinya pondok pesantren khusus puteri pada tahun 1917.
Dikutip dari NU Online, Nyai Aisyah Hamid Baidowi pernah mengungkapkan, “kalangan pesantren turut mendorong kemapanan feminisme di Indonesia, baik melalui gerakan afirmatif yang melahirkan sejumlah regulasi pro perempuan, maupun secara kultural, mengubah peran nyai dari sekadar pendamping kiai menjadi sosok pemimpin”.
Muslimat NU adalah wadah manifestasi pergerakan perempuan dalam tubuh organisasi NU. Latar belakang sosial, pendidikan, ekonomi, dan politik telah memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap perubahan arah perjuangan kaum perempuan.
Dalam prosesnya, kelahiran badan otonom Muslimat NU dalam tubuh organisasi NU tidak semata hanya campur tangan kaum perempuan. Para kiai juga ikut berperan dalam mewujudkan badan otonom Muslimat NU, yang menunjukkan bahwa keadilan dan kesetaraan gender antara perempuan dan laki-laki akan terwujud dengan kerjasama di antara kedua pihak baik perempuan dan laki-laki.
Gerakan perempuan seperti Muslimat dan Fatayat NU memiliki posisi yang sangat strategis sebagai pelaku perubahan. Perempuan juga harus mampu mengelola potensi yang dimilkinya sehingga posisi tawar perempuan akan mampu memengaruhi kebijakan negara atas ketidakadilan pada perempuan.
Gerakan perempuan sangat dibutuhkan untuk melakukan perombakan perspektif politik yang berwajah laki-laki menjadi politik adil gender. Sehingga tidak lagi male perspective dan male design dalam perpolitikan Indonesia, sebab hal itu akan melumpuhkan gerakan perempuan.[]