Mubadalah.id – Judul ini adalah pertanyaan khas santri. Yang bukan santri mungkin kurang familiar dengan istilah “khalwat”, yang secara bahasa berarti “menyepi” atau “menyendiri”. Seseorang yang menyendiri untuk berdzikir, merenung dan berefleksi, dalam tradisi Islam, adalah disebut “khalwat”, karena ia menyendiri di tempat yang sepi. Nabi Muhammad Saw, sebelum menerima wahyu, biasa menyepi ke gua Hira. Perilaku ini biasa disebut dengan “khalwat”, “khalwah” atau menyendiri untuk berdzikir, merenung, dan merefleksikan kehidupan.
Tetapi, dalam pergaulan sosial, istilah “khalwat” memiliki pemaknaan sendiri. Dalam kamus santri, ia sangat khusus tentang pergaulan laki-laki dan perempuan. Yaitu, ketika seorang laki-laki hanya berduaan dengan seorang perempuan, terutama di tempat-tempat yang sepi, yang memungkinkan mereka asyik-masyuk melakukan hal-hal yang diharamkan Islam, terutama yang mengarah pada perbuatan zina. Khalwat dalam arti inilah yang datang masuk dalam hapeku, beberapa saat yang lalu. Di Aceh, kalau tidak salah ada Perda atau Qanun tentang hal ini.
“Kang, sebagai santri, terus terang aku kagum dengan gerakan KUPI, yang bisa menghadirkan kiprah perempuan begitu kentara, dalam berbagai bidang. Tidak hanya sosial, tetapi juga spiritual dan intelektual. Tetapi jujur kang, ada pertanyaan bergelayut di dalam hati: apakah gerakan ini bisa terjerumus membolehkan khalwat yang diharamkan itu kang?
Ini adalah kalimat apresiasi sekaligus pertanyaan yang mendarat ke hape-ku, dari seseorang yang mengaku santri. Aku tentu paham yang dimaksud “khalwat” dalam pertanyaannya itu. Tetapi, dalam pembelajaran, akan lebih baik jika diklarifikasi terlebih dahulu, sehingga jelas kemana arah pertanyaan itu.
“Makasih apresiasinya tentang KUPI, yang kamu maksud khalwat apa ya di sini, biar aku lebih paham”, jawabku.
“Itu loh kang, laki-laki kan dilarang berkhalwat dengan perempuan, bahkan disebut dalam hadits, yang ketiganya adalah setan. Gerakan-gerakan seperti KUPI, karena mendorong perempuan berkiprah secara aktif di publik, pasti akan memunculkan suasana-suasana dimana seorang perempuan berada hanya berduaan dengan seorang laki-laki, dan ini kan haram toh kang? Jawabnya.
“Justru ketika berada di ruang publik, perempuan berada pada ruang bersama dengan yang lain, banyak orang, atau lebih banyak yang mengawasi secara bersama, daripada berada di ruang domestik, yang justru lebih mungkin terjadi khalwat toh. Aku tidak paham, bagaimana hubungan gerakan KUPI dengan kekhawatiranmu bahwa ia bisa memunculkan perilaku khalwat seorang perempuan dengan seorang laki-laki”, kataku.
“Gini loh kang, ketika perempuan itu berkiprah di publik. Dia akan melayani publik atau masyarakat, sebagai birokrat, parlemen, guru, perawat, dokter, atau peneliti. Suatu saat, dia akan melayani satu orang laki-laki, berduaan saja denganya. Misalnya akademisi atau peneliti, mewawancarai, atau berdiskusi, hanya berduaan saja. Laki-laki dan perempuan. Bukankah ini khalwat yang diharamkan itu kang? Tanyanya.
“Oh, itu. Menurutmu, apa begitu adalah hal yang diharamkan Islam? Apakah ketika seorang perempuan memiliki kebutuhan atau keperluan tertentu yang sah secara Islam, dari seorang laki-laki, mereka berduaan untuk keperluan tersebut, lalu dianggap khalwat yang diharamkan Islam? Begitukah menurutmu? Tanyaku.
“Justru aku bertanya ke sampean: apakah KUPI membolehkan khalwat semacam itu. Kan ada teks hadits, bahwa seorang laki-laki yang berkhalwat, atau berduaan, dengan seorang perempuan, maka ketiganya adalah setan. Lalu, para ulama memutuskan bahwa hal itu hukummya haram”, jawabnya. “Bagaimana dengan pandangan KUPI dalam hal ini? Ia balik bertanya lagi.
“Ya betul ada teks hadits itu. Riwayat Imam Turmudzi kalau tidak salah. Tetapi maknanya harus kita dudukkan dulu, karena ada teks-teks hadits lain yang menunjukkan bagaimana Nabi Saw juga berduaan dengan seorang perempuan untuk keperluan tertentu. Artinya, jika digabungkan kedua hadits ini, maka yang diharamkan itu bukan berduaannya, atau khalwat-nya, tetapi niat yang ada di benak masing-masing dan perilaku yang dilakukan pada saat berduaan tersebut. Jika niat dan perilakunya adalah hal-hal haram, maka khalwat ini diharamkan, tetapi jika untuk hal-hal yang diperlukan, maka hukumnya adalah boleh”, jawabku.
“Emang, ada hadits tentang Nabi Saw berduaan dengan perempuan ya kang? Tanyanya.
“Ya ada, bahkan Bukhari Muslim lebih tinggi statusnya dari hadits tentang khalwat yang dirujuk sebagai larangan itu. Ada di bukuku Qira’ah Mubadalah loh. Nanti aku kirimkan teks-teksnya ke kamu ya”, jawabku.
“Tetapi, kang, bukankah ada kaidah “sadd adz-dzariah” (menutup jalan), dimana hal-hal yang mubah bisa diharamkan, jika dikhawatirkan akan mengarah yang haram. Artinya, khalwat itu awalnya mubah, tetapi karena dikhawatirkan akan mengarah pada yang haram, maka hukumnya jadi haram? Ia kembali bertanya.
“Ya, kita jangan terlalu paranoid lah, kaidah ini akan mengaramkan banyak hal, yang sesungguhnya justru baik bagi perempuan. Ya memang, ada beberapa ulama yang menggunakan kaidah ini. Tetapi, dengan penggunaan kaidah ini secara eksesif, kita akan kembali lagi pada masa dimana semua kiprah perempuan dilarang semua hanya karena kekhawatiran akan menimbulkan sesuatu yang diharamkan.
Padahal potensi perempuan banyak sekali, baik karena akal, budi, keahlian sosial, maupun spritualitasnya, yang diperlukan masyarakat. Kita akan terhalang banyak dari potensi tersebut di satu sisi, para perempuan juga akan terhalang dari banyak manfaat dan kebaikan yang ada di ruang-ruang publik, hanya karena satu kekhawatiran itu”, jawabku.
“Untuk mengimbangi kaidah ini, beberapa ulama seperti Syekh Muhammad al-Ghazali dan Syekh Abu Syuqqah menawarkan kaidah “fath adz-dzariah” (membuka jalan). Bahwa untuk sampai pada kebaikan-kebaikan yang dianjurkan Islam, seperti berilmu, beramal, melayani, memberikan manfaat sebanyak mungkin kepada masyarakat, membangun kemandirian ekonomi, menguasai pengetahuan, dan lain sebagainya, kita justru harus memberikan fasilitas dan membuka jalan bagi segenap orang, terutama perempuan”
“Kaidah ini antitesis dari “sadd adz-dzari’ah” yang selalu memandang perempuan dengan kecurigaan dan ketakutan. Sebaliknya, dengan “fath adz-dzari’ah” kita memberi kepercayaan kepada kedua belah pihak, laki-laki dan perempuan, untuk bisa memaksimalkan potensi baik dalam diri mereka, agar bisa memberikan manfaat dan kebaikan di satu sisi. Kemudian di sisi lain, mereka tetap bisa sama-sama menjaga diri dari kemungkinan potensi buruk, yang juga ada pada masing-masing. Tidak hanya pada perempuan semata”.
“Dengan demikian, laki-laki dan perempuan, sama-sama dipercaya dan diberi kesempatan, untuk bermitra dan bekerjasama. Persis seperti harapan al-Qur’an dalam Surat at-Taubah (QS. 9: 71), bahwa mereka harus bekerjasama dalam semua aspek kehidupan, terkait ibadah ritual, kiprah sosial, amar ma’ruf nahi munkar, pengetahuan, bahkan politik”.
“Oh, oke kang, makasih ya, eh, jangan lupa kirim teks-teks hadits itu ya”, tutupnya.
“Okey, siap, makasih juga ya”, jawabku.
Lalu teks-teks itu aku kirimkan, yang sesungguhnya ada di bukuku “Qira’ah Mubadalah (2019), halaman 473-482. Atau, jika ingin memahami analisisnya bisa dibaca beberapa halaman sebelumnya. Silahkan yang ingin mendalami bisa merujuk ke buku tersebut. []