Mubadalah.id – Konflik agraria yang terjadi di Indonesia sebagian besar disebabkan oleh perampasan tanah (Land Grabbing) dalam skala besar yang dilakukan oleh perusahaan, baik domestik maupun korporasi asing. Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) mencatat bahwa di Indonesia terdapat 252 kasus konflik agraria yang terjadi pada tahun 2015 dalam berbagai sektor, yaitu sebanyak 127 kasus di sektor perkebunan, 70 kasus di sektor infrastruktur, 24 kasus di sektor kehutanan, 14 kasus di sektor pertambangan, 4 kasus di sektor pesisir dan pertanian, serta 9 kasus yang terjadi di sektor lainnya.
Dalam sektor pertanian dan perkebunan, konflik agraria yang terjadi di Indonesia kini menjadi masalah serius yang belum menemukan penyelesaian maksimal. Dampaknya ialah perlawanan yang terus digencarkan masyarakat semakin membesar, khususnya para petani yang lahan atau ladangnya dirampas secara paksa oleh korporasi. Hal itu merupakan kulminasi terhadap penindasan yang mereka alami, yang hingga saat ini belum mendapatkan keadilan.
Perempuan dan Pertanian
Secara historis, peranan perempuan dalam pertanian sangatlah penting. Hal itu bisa dilihat dengan adanya cerita-cerita atau mitologi masyarakat yang menghubungkan perempuan dengan aktivitas pertanian: Pertama, mitos dewi kesuburan atau dewi pertanian di beberapa tempat di Indonesia. Seperti cerita tentang Dewi Sri di masyarakat Jawa, atau kisah Nyai Pohaci Sanghyang Asri yang melekat di masyarakat Jawa Barat. Keduanya merupakan simbol dari dewi pertanian: kesuburan, sawah dan padi. Kedua, terdapat konsep ‘Ibu Bumi’ dan ‘ibu pertiwi’, yang menganalogikan ‘Ibu’ sebagai suatu simbolisasi dari alam dan kehidupan.
Sebetulnya, peranan historis perempuan dalam pertanian bukanlah sesuatu yang baru. Menurut Friedrich Nietzsche (1844-1900), dalam Magnum Opus-nya The Origin of Family, Private Property The State, menjelaskan bahwa yang menemukan teknik bercocok tanam adalah perempuan.
Menurut Simone de Beauvoir, dalam The Second Sex (1949), keterampilan perempuan dalam membudidayakan tanaman dan mengolah tanah, yang kemudian menghasilkan padi-padian dan buah-buahan, memunculkan suatu mitos atau kepercayaan bahwa sosok perempuan memberikan suatu kesuburan yang kesuciannya harus dijaga. Kepercayaan seperti itu masih terus berkembang sampai saat ini di berbagai suku bangsa di dunia, seperti di Australia, India, dan Polinesia.
Vandana Shiva, seorang feminis asal India, memasukan peran perempuan ke dalam lingkaran rantai pangan yang turut serta dalam menjaga keseimbangan alam antara hutan, ternak serta tanaman. Hingga saat ini, keberadaan perempuan sangat vital dalam produksi pangan dan pertanian. Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa sepanjang tahun 2001-2006, jumlah petani perempuan di Indonesia mencapai 55,2 persen, yang artinya peran perempuan sangatlah vital dalam hal produksi pangan.
Hal ini juga dapat dilihat dari laporan Food and Agriculture (FAO) yang merupakan organisasi pangan dan pertanian di bawah naungan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB). Menurut FAO, lebih dari 50 persen pangan dunia diproduksi oleh perempuan. Bahkan, kontribusi perempuan di Asia rata-rata 50 persen. Di Indonesia sendiri, peranan perempuan terhadap produksi pangan mencapai angka 56 persen.
Perempuan dan Konflik Agraria
Dampak konflik agraria terhadap perempuan meliputi beberapa hal, seperti psikologis, sosial, dan ekonomis. Pertama, hilangnya akses perempuan (termasuk laki-laki) terhadap tanah serta produksi pangan. Hal ini sangat berpengaruh besar dalam pemiskinan kaum perempuan. Dalam beberapa kasus, petani perempuan banyak yang berpindah profesi menjadi Pembantu Rumah Tangga (PRT) di kota-kota atau bahkan di luar negeri.
Kedua, konflik agraria sering menimbulkan kekerasan dalam ‘derajat’ yang berbeda bagi perempuan. Dalam beberapa kasus, perempuan acapkali menjadi sasaran teror dan intimidasi karena dianggap lemah secara fisik maupun psikologis. Ketiga, perempuan jarang diikutsertakan sebagai negosiator dalam beberapa kasus mengenai konflik agraria. Kecuali dalam kasus-kasus yang memunculkan gerakan ekofeminisme, seperti perjuangan petani Kendeng (yang kemudian memunculkan istilah Kartini Kendeng), penolakan reklamasi teluk benoa, dan beberapa gerakan ekofeminis lainnya. Namun, di beberapa konflik agraria di berbagai daerah lainnya, perempuan tidak terlalu memiliki peran penting.
Keempat, perempuan tidak memiliki ‘kuasa’ terhadap dokumen kepemilikan tanah. Hal itu mengakibatkan perempuan tidak berperan sebagai pengambil keputusan ketika terjadi negosiasi antara korporasi dengan petani. Pengambil keputusan biasanya diperankan oleh laki-laki selaku pemegang kuasa atas dokumen-dokumen kepemilikan tanah tersebut.
Kelima, pertanian agrobisnis serta mekanisasi pertanian cenderung lebih mengarah terhadap maskulinisasi pertanian yang kemudian menyingkirkan peranan perempuan. Hal ini disebabkan pekerjaan yang menggunakan mesin, seperti traktor dan sejenisnya, selalu diasosiasikan dengan keahlian atau keterampilan laki-laki. Sedangkan peran perempuan kini semakin terdesak ke ranah domestik.
Keenam, perampasan lahan yang disertai pengusiran atau penggusuran akan berdampak terhadap kehidupan perempuan. Bisa dibayangkan, perempuan kini hidup terlunta-lunta dan bahkan dipaksa berpikir lebih keras untuk keberlanjutan hidup keluarganya. Karena hal itu, perempuanlah yang dituntut mengurus anak dan keluarga di tempat pengungsian.
Dari penjelasan singkat tersebut di atas, dapat ditarik beberapa kesimpulan: Pertama, perempuan memiliki kepentingan dalam hal menyuarakan penghentian setiap konflik agraria. Selain persoalan kekerasan, akses perempuan terhadap produksi pangan dan tanah juga menjadi kepentingan bagi perempuan.
Kedua, Reforma agraria yang merupakan salah satu upaya dalam menyelesaikan ketimpangan penguasaan, pemilikan serta penggunaan sumber daya agraria haruslah bertumpu terhadap keadilan sosial serta keadilan gender. Dengan kata lain, reforma agraria harus memberikan akses bagi perempuan terhadap sumber daya agraria. Ketiga, dalam hal mewujudkan kedaulatan pangan tidak boleh mengesampingkan peranan perempuan. Sebab, selain ikut berperan dalam produksi pangan, perempuan juga terpengaruh oleh harga pangan yang berlaku. []