Judul Buku: Perempuan yang Mendahului Zaman: Sebuah Novel Biografi Syekhah Rahmah El Yunusiyyah
Penulis: Khairul Jasmi
Penerbit: Republika
Cet.: I, 2020
Tebal: xii + 229 halaman
Ukuran: 13.5 cm x 20.5 cm
ISBN: 9786232790896
Mubadalah.id – Bagi Rahmah El Yunusiyyah memajukan nasib kaum perempuan adalah perjuangan utama dalam hidupnya. Perempuan yang lahir di Padang Panjang pada 29 Desember 1900 ini, mencurahkan hidupnya untuk perjuangan mengangkat derajat kaum perempuan. Untuk tujuan ini, dia berani mendobrak zaman.
Tak berlebihan jika Khairul Jasmi memberi judul Perempuan yang Mendahului Zaman atas novel biografi tentang Rahmah El Yunusiyyah yang ditulisnya. Meski termasuk kategori novel, namun sebagaimana dijelaskan penulisnya: “Novel biografi ini adalah fakta. Untuk keperluan penulisan saya melakukan riset, membaca banyak buku dan tulisan, serta mewawancarai pihak Perguruan Diniyyah Putri Padang Panjang, meminta saran kepada sejumlah ahli sejarah, juga pada ulama.” Sehingga, buku tersebut termasuk bacaan yang bagus bagi pembaca untuk mengenal sosok Rahmah El Yunusiyyah.
Perempuan Itu Lemah? Bisa Apa?
Berulang kali saya menggelengkan kepala saat membaca kiprah Rahmah El Yunusiyyah. Dia perempuan yang luar biasa. Melihat sosoknya jadi berpikir dua kali jika hendak mengatakan perempuan itu makhluk yang lemah. Beberapa episode perjuangan Rahmah membuat kaum lelaki harus mengakui kalau tekad Rahmah melebihi ekspektasi yang dapat dibayangkan terhadap sosok perempuan.
Di masa pendudukan Jepang, saat perempuan Minangkabau dibawa paksa oleh penjajah ke Medan untuk dijadikan pemuas nafsu, Rahmah dengan berani masuk ke markas Jepang di Medan. Mendesak komandan mereka agar membebaskan perempuan Minangkabau yang disekap. Sikap yang oleh Khairul Jasmi: “membuat pria-pria Minangkabau sebenarnya malu muka,” sebab harusnya kaum lelaki yang menantang penjajah yang hendak melecehkan perempuan, “namun apa hendak dikata, yang ada kemudian orang mengadu padanya (pada Rahmah).”
Tidak ada ketakutan sama sekali berhadapan dengan penjajah Jepang yang tak manusiawi. Bagi Rahmah yang terpenting adalah melindungi perempuan dari praktek jugun ianfu–dijadikan budak nafsu bejat serdadu Jepang.
Pasca proklamasi kemerdekaan dibentuklah Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Saat itu, kaum lelaki ragu untuk menjadi komandan TKR Padang Panjang. Dengan penuh keberanian Rahmah mengambil peran itu. “Jika Engku-engku menolak jadi komandan, maka biarkan saya maju. Saya ambil komando,” ucap Rahmah.
Dan banyak lagi momen yang disajikan Khairul Jasmi dalam Perempuan yang Mendahului Zaman, di mana kaum lelaki harus menunduk dan mengakui kalau perempuan bukan sosok lemah, sebab melihat kebesaran tekad dan gerakan Rahmah El Yunusiyyah.
Perjuangan Rahmah El Yunusiyyah
Sejak awal Rahmah El Yunusiyyah bergerak dalam dunia pendidikan. Tapi, bukan berarti dia tidak memiliki kiprah di bidang lainnya. Perempuan ulama yang satu ini punya banyak keahlian. Dia seorang ulama dan mubaligah yang handal. Keilmuannya tidak hanya diakui di Padang Panjang, namun hingga ke negeri sebrang Malaysia. Ah, bahkan dunia mengakui keulamaannya, terbukti Universitas Al-Azhar memberi gelar syekhah kepadanya.
Rahmah juga menguasai ilmu kedokteran dan kebidanan. Beberapa kali Diniyyah Putri, di masa perjuangan kemerdekaan, menjadi rumah sakit darurat untuk perempuan. Tentu kepala kesehatan waktu itu adalah Rahmah. Dia juga menguasai ilmu kebidanan, membantu persalinan mereka yang kurang mampu menanggung biaya bersalin.
Kiprah Rahmah dalam dunia politik juga luar biasa. Dia menjadi peninjau Sumatera Chu Sangi In, semacam dewan pertimbangan pusat, yang dibentuk untuk menuntut janji kemerdekaan dari Jepang.
Ketika dibentuk Komite Nasional Indonesia dalam sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 22 Agustus 1945, Bung Karno memasukkan nama Rahmah El Yunusiyyah sebagai salah satu anggota. Namun, pada sidang PPKI di Malang, Rahmah tidak bisa hadir, sebab sedang merawat ibunya yang sakit.
Dan, di zaman Indonesia merdeka pada pemilu 1955, Rahmah terpilih menjadi anggota DPR. Satu kedudukan yang diidamkan banyak orang. Namun, bukan Rahmah namanya kalau sampai terbuai dengan kursi/pangkat.
Khairul Jasmi menjelaskan, “Siapa yang tak bangga jadi anggota DPR hasil pemilu yang hebat dan hangat? Rahmah tidak. Ia melihat tokoh sentral Indonesia, Soekarno, telah termakan umbuk-rayu PKI. Dalam sidang-sidang, kalau membaca assalamualaikum, pasti ada celetukan anggota PKI di belakang, ‘Seperti di pondok saja.’ Rahmah juga disindir karena memakai jilbab. Rahmah kembali saja ke Padang Panjang, lebih baik, katanya, ia mencurahkan energinya untuk perguruan, ketimbang terombang-ambing dalam dunia politik Soekarno.”
Rahmah bukan lari dari perjuangan. Tak ada kata undur dalam kamus hidupnya. Dia justru menyadari bahwa akan lebih produktif kalau melanjutkan perjuangan pendidikan untuk perempuan yang telah dibangunnya sejak lama. Selain itu, sebagai seorang perempuan ulama, komitmen Rahmah El Yunusiyyah terhadap ajaran Islam, terlebih jilbab, memang sangat kuat. Jilbab merupakan simbol muslimah yang amat dibanggakannya. Pada 20-24 Juli 1935, ketika Rahmah El Yunusiyyah menjadi salah satu perwakilan Permi (Persatuan Muslim Indonesia) dalam Kongres Perempuan di Jakarta, dirinya dengan penuh semangat turut mengkampanyekan jilbab.
Model jilbab Rahmah El Yunusiyyah disebut lilik. Ukurannya termasuk kategori jilbab besar. Khairul Jasmi menggambarkan bagaimana jilbab Rahmah: “…selendang warna putih, setinggi tegaknya kira-kira. Lalu ia melilitkan di kepalanya, diberi peniti. Sebentar saja sudah terpasang dengan rancak. Semua rambutnya tertutup.
Kain yang dililitkan di kepala itu disebut lilik. Kelak, berbilang tahun kemudian, dikenal sebagai lilik Diniyyah. Penutup kepala perempuan itu menjulur sampai ke dada dan terjuntai di bagian belakang sampai di bawah bahu. Rahmah sudah akrab dengan hal demikian (lilik) sejak remaja. Di sekolahnya semua keluarga besar Diniyyah, memakai hal serupa.”
Jilbab model lilik menjadi identitas Diniyyah Putri. Rahmah menanamkan kebanggaan jilbab sebagai pakaian muslimah dalam diri murid-muridnya. Jika ada muridnya yang memakai baju terbuka (tidak berjilbab), maka Rahmah akan menegurnya.
Mendirikan Diniyyah Putri
Diniyyah Putri adalah perjuangan Rahmah El Yunusiyyah yang paling luar biasa. Keinginan kuatnya untuk memperbaiki nasib kaum perempuan mendorong Rahmah bergerak dalam jalur pendidikan.
Perguruan Islam khusus perempuan pertama di Nusantara bahkan dunia, yang dinamai Rahmah dengan Diniyyah Putri, itu didirikannya pada 1 November 1923. Pada masa itu, sedikit sekali perempuan Minangkabau yang sekolah. Institusi pendidikan Islam juga cenderung terbuka untuk lelaki, namun masih sulit bagi perempuan. Padahal Islam memberi ruang yang sama kepada lelaki dan perempuan dalam hal pendidikan. Maka, upaya memperbaiki nasib kaum perempuan dimulai Rahmah dengan pendidikan.
Sikap Rahmah El Yunusiyyah, di masa itu, adalah terlampau sangat berani. Seorang perempuan mendirikan sekolah Islam, dan belum lagi dikhususkan untuk perempuan. Apa yang dia lakukan termasuk hal baru di zamannya. Tidak heran kalau kemudian banyak kalangan yang menentangnya.
Khairul Jasmi menjelaskan: “Kisah Rahmah membuka sekolah itulah yang kemudian menjadi perbincangan. Ia disebut ‘yang ketidak-tidak saja’. Rahmah ditantang dengan diam-diam dan dengan frontal. Ia dicibir, digunjingkan. Ia digugat kalangan adat. Karena sudah lancang membangun sekolah, untuk perempuan pula. Penolakan pada sekolah Rahmah itu bukan sekadar cerita. Cerita, pasti. Di kedai kopi, di sawah, di ladang, di tepian tempat mandi, apalagi di pasar. Pemuka adat menolak secara tegas, sebab sekolah perempuan itu benar-benar tak ada gunanya.”
Upaya untuk memajukan pendidikan perempuan harus dimulai. Rahmah dengan berani mengambil peran tersebut. Tujuannya: “…Diniyyah School Putri akan selalu mengikhtiarkan penerangan agama dan meluaskan kemajuannya kepada perempuan-perempuan..” Dan, meski banyak tantangan, namun dia tak goyah.
Di sisi lain, banyak yang mendukung langkahnya. Kakaknya, Zainuddin Labay El Yunusy, yang juga seorang ulama, sangat support atas langkah yang diambil Rahmah. Kaum perempuan Minangkabau bahkan hingga negeri sebrang, Malaysia, juga banyak yang antusias menyambut Diniyyah Putri.
Tercatat jumlah murid pertama Diniyyah Putri Padang Panjang sejak didirikan hingga 1924 berjumlah 71 orang. Murid-muridnya terdiri dari kelompok ibu muda, janda, dan remaja putri. Mereka masuk ke sekolah baru, di sebelah rumah gadang Rahmah kawasan Pasa Usang. Ada yang datang dibawa oleh orang tua atau nenek mereka, dan ada juga yang datang sendiri ingin belajar.
Berapa usia Rahmah El Yunusiyyah waktu itu? 23 tahun. Usia yang terbilang sangat muda, namun sudah mengawali langkah yang mampu mengguncang zaman.
Pada 1924, Rahmah juga mengupayakan pemberantasan buta huruf untuk perempuan. Program itu dinamai Menyesal School. “Ini untuk perempuan buta huruf. Huruf apa saja, Arab, Latin, dan Arab-Melayu. Juga angka dari 0 sampai 9.. Rahmah membuat sejarah, tapi tak dicatat. Kelak 1948, setelah merdeka baru diluncurkan program Pemberantasan Buta Huruf. Ketika Rahmah membuat kursus ‘Sekolah Menyesal’ tahun 1924, ia telah mengambil peran yang oleh orang lain tak terpikirkan. Ia pakai emperan masjid, duduk bersimpuh di sana, membimbing kaumnya. Memegang jemari kasar mereka dan mengajari cara memegang pensil.”
Demikian upaya Rahmah El Yunusiyyah dalam mencerdaskan kaum perempuan. Meski banyak rintangan, namun dia berhasil. Diniyyah Putri yang dibangunnya terus berkembang. Banyak perempuan yang tercerdaskan berkat buah upaya Rahmah.
Tinur, Rasuna Said, dan Ratna Sari, tiga sekawan perempuan yang aktif di Permi. Di negeri sebrang, ada Puan Sri Datin Sakinah Junid, perempuan pejuang kemerdekaan di Malaysia. Mereka murid-murid Rahmah. Dan, banyak lagi, sosok-sosok perempuan hebat yang lahir dari Diniyyah Putri. Hingga sekarang, sekolah yang dibangun Rahmah El Yunusiyyah itu terus mencerdaskan kaum perempuan.
Jelas upaya Rahmah mendirikan Diniyyah Putri adalah hal yang luar biasa. Tidak hanya memukau Nusantara, tapi hingga dunia.
Kilaunya membuat langkah Syekh Abdurrahman Taj, rektor Universitas Al-Azhar 1954-1958, datang mengunjungi Diniyyah Putri. “Dalam pidatonya… Abdurrahman Taj menyebut, di sini, di sebuah surga yang tersembunyi karena keindahan negerinya nan elok, ada perguruan khusus perempuan pula. Di Al-Azhar sama sekali belum ada. Ia menyatakan, akan memungut pola Diniyyah Puteri untuk diterapkan di universitasnya di Kairo…. (beberapa tahun kemudian) fakultas untuk perempuan baru diresmikan pada 1962: Kulliyatul Lil Banat.”
Sekitar 1956, Rahmah El Yunusiyyah diundang Al-Azhar ke Kairo. Dia diberi gelar syekhah (Doktor Honoris Causa). Dia perempuan pertama yang diberi gelar tersebut oleh Universitas Al-Azhar. Mereka kagum dengan sosok Rahmah El Yunusiyyah yang berhasil membangun Diniyyah Putri.
Syekhah Rahmah El Yunusiyyah sama sekali tak terpikir dan sedikit pun tak berharap akan gelar kehormatan. Yang ada dipikirannya sewaktu memulai upaya Diniyyah Putri (dan gerakannya yang lain), adalah untuk memperbaiki nasib perempuan. Berbagai posisi dan gelar yang didapatkannya tidak lain adalah pengakuan dunia terhadap pemikiran dan kiprahnya.
Ketulusan perjuangan dan tekad Rahmah El Yunusiyyah benar-benar memukau. Dia sosok perempuan yang pantas untuk terus hidup dalam sejarah. []