Mubadalah.id – Ada yang tak kalah heboh dari balapan perdana di Mandalika International Street Circuit, di Lombok Tengah, NTB pada ahad 20 Maret 2022 lalu. Yaitu, aksi ritual seorang pawang hujan Mandalika (baca Sasak; pawang ujan), Rara Istiati Wulandari atau yang akrab disapa Mbak Rara. Perempuan kelahiran Papua pada 22 Oktober 1983 ini berhasil membagi perhatian publik lewat aksi pawang hujan Mandalika, baik yang saat itu berada di Sirkuit Mandalika maupun yang menyaksikannya lewat berbagai platform berita di media sosial.
Namun, tetap seperti biasa, media sosial selalu menjadi tempat komentar paling empuk dan nyaman bagi para netizen. Kelap-kelip pendapat mereka tampak begitu cepat memadati panggung publik tersebut. Mulai dari yang membela dan memuji pawang hujan Mandalika, sampai yang memaki-maki.
Saya sempat tertawa bersama kawan-kawan remaja saat membincang soal kekurangan yang kerap kali hinggap di bahu Indonesia-seperti yang mereka sebutkan, Indonesia kekurangan minat baca, kekurangan orang jujur, bahkan saat ini sedang kekurangan minyak goreng-namun satu hal yang cukup aneh, Indonesia tidak pernah kekurangan netizen.
Begitulah kondisi kebebasan berpendapat dan berkomentar di tanah air kita. Tetapi, seiring itu, umat harus terus dibimbing agar tetap elegan bertutur di ruang publik.
Baik, di sini saya ingin mengkaji pawang hujan dalam sudut pandang Islam dan bagaimana seharusnya muslim menaruh sikap. Berbicara ihwal pawang hujan di Indonesia-sebagaimana yang disaksikan di berbagai daerah-tentu tidak lepas dari bicara soal ritual dan doa.
Sampai di sini, tidak ada persoalan sama sekali. Tidak ada yang salah dengan keduanya. Namun, saat dikaitkan dengan ritual pawang hujan seperti apa dan berdoa kepada siapa, mulai lah terbentuk silang pendapat di tengah umat.
Terlepas dari ini, bagaimana Islam menilai pawang hujan? Apakah ini benar-benar baru alias kreasi budaya murni? Mari sedikit mengintip ke kitab dan syarah hadis terdekat. Dalam Shahih al-Bukhari (pada hadis ke 1017 hal. 190) terdapat sebuah riwayat dari sahabat Anas bin Malik tentang dua orang sahabat yang menyampaikan keluhnya terkait cuaca kota Madinah saat itu-dalam waktu dan keluh yang berbeda-kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Berikut redaksi lengkapnya:
جاء رجل إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم. فقال: يا رسول الله هلكت المواشي وانقطعت السبل فادع الله. فدعا رسول الله صلى الله عليه وسلم فمطروا من جمعة إلى جمعة. فجاء رجل إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم. فقال: يا رسول تهدمت البيوت وتقطعت السبل وهلكت المواشي. فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: اللهم على رؤوس الجبال والآكام وبطون الأودية ومنابت الشجر. فانجابت عن المدينة إنجاب الثوب.
“Seorang lelaki datang kepada baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia menyampaikan, ‘Wahai Rasulullah, ternak kami banyak mati, jalanan panah tak bisa dilalui, (tolong!) berdoalah kepada Allah (agar menurunkan hujan untuk kami)’. Lalu, Rasulullah pun berdoa, seketika juga hujan mengguyuri kota Madinah dari hari jumat sampai ke jumat berikutnya.
Lalu, sahabat yang lain pun datang dan mengadu, ‘Wahai Rasulullah, rumah banyak yang rusak, jalanan pun sulit dilalui (karena genangan air), demikian juga binatang ternak kami banyak mati’, ucapnya sendu. Lalu, Rasulullah pun berdoa kembali, ‘Ya Allah, pindahkanlah hujan ini ke puncak-puncak gunung, ke bukit-bukit, ke perut-perut lembah, dan ke tempat pepohonan banyak tumbuh’. Seketika juga awan gelap di kota Madinah mulai terbelah (dan menjadi cerah).”
Dari kisah dua sahabat tadi, kita bisa menarik sehelai kesimpulan yang amat terang. Yakni, bahwa aksi ‘menurunkan’ dan ‘memindahkan’ hujan itu sudah ada sejak zaman baginda Nabi, dan beliau lah sebagai pelaku langsungnya.
Namun, hal ini hanya berada dalam taraf doa atau permintaan. Bukan atas kemampuan manusia itu sendiri. Bahkan dalam sebuah hadis riwayat Abdullah bin Umar disebutkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مفتاح الغيب خمس لا يعلمها إلا الله: لا يعلم أحد ما يكون في غدٍ ولا يعلم أحد ما يكون في الأرحام ولا تعلم نفس ما تكسب غدا وما تدري نفس بأيّ أرض تموت وما يدري أحد متى يجيء المطر
“Ada lima kunci gaib yang pengetahuan pasti tentangnya hanya dimonopoli Allah; (1) Peristiwa apa yang terjadi esok hari, (2) Apa yang ada di dalam rahim, (3) Aktivitas yang akan engkau kerjakan esok hari, (4) Di bumi mana nyawamu akan dicabut, dan (5) Kapan waktu pasti turunnya hujan.” (Shahih al-Bukhari (pada hadis ke 1039 hal. 194))
Di antara lima yang disebut baginda Nabi, poin pembahasan kita ada di bagian terakhir. Tentang waktu turun hujan. Tidak ada yang dapat menjamin secara pasti pada jam, menit dan detik berapa ia turun, kecuali Allah subhanahu wa ta’ala.
Bahkan, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) dalam kapasitasnya sebagai Lembaga Pemerintah Nonkementrian di Indonesia hanya sampai pada taraf perkiraan semata. Tidak lebih dari itu. Sebab, siapa yang menjamin hujan di balik mendung tebal, dan kepastian tidak hujan di balik kecerahan?.
Singkatnya, terkait ini, Islam mengenal dua istilah, istisqa’ (doa minta hujan) dan istishha’ (doa minta cuaca terang). Tetapi, ada beberapa ketentuan yang berbeda antara keduanya. Saat istisqa’ mengenal ritual salat dan memindahkan selendang, istishha’ sendiri tidak. Ia hanya sebatas mengangkat tangan dan berdoa sebagaimana biasa.
Dalam Fathul Bari Syarh Shahih al-Bukhari (juz 2, hal. 592), imam Ahmad bin Ali bin Hajar al-‘Atsqallani (w. 852 H) saat mensyarahi hadis di atas sedikit menyinggung lebih jauh tentang istishha’. Ia menulis:
وظاهره أن الدعاء بذلك متوقف على سبق السقيا وكلام الشافعي في الأمّ يوافقه وزاد: أنه لا يسن الخروج للإستصحاء ولا الصلاة ولا تحويل الرداء بل يدعى بذلك في خطبة الجمعة أو في أعقاب الصلاة
“Jelasnya, bahwa doa istishha’ itu dilakukan setelah turun hujan (atau lebih tepat mungkin di musim hujan), dan imam as-Syafi’i dalam kitab al-Umm sepakat dengan ketentuan ini. Bahkan, ia menambahkan ketentuan bahwa tidak dianjurkan keluar untuk doa istishha’, untuk salat dan untuk memindahkan selendang. Melainkan, cukup berdoa di waktu khutbah jumat atau setelah salat.”
Lalu, bagaimana terkait ritual pawang hujan Mbak Rara di Mandalika beberapa waktu lalu? Sudah barang tentu tidak ada sangkut pautnya dengan agama. Karena itu kreasi budaya murni. Yang tidak boleh, yaitu saat melabelkan ritual-ritual tersebut sebagai produk agama. Mengingat, dalam satu kaidah fikih disebutkan:
الأصل في العبادات الحظر وفي العادات الإباحة
“Prinsip dasar ibadah adalah al-hadhzar (dilarang, sebelum mendapat legalitas dari Allah atau rasul-Nya), sedangkan dalam sosial adalah al-ibahah (diperbolehkan).” (al-Qawaid al-Fiqhiyah wa Tathbiqatiha fi al-Madzahib al-Arba’ah (juz 2, hal. 769), buah karya Muhammad Muthafa az-Zuhaili).
Maknanya, jika menyematkan ritual-ritual pawang hujan tersebut masuk dalam ranah ibadah murni, tentu salah. Karena tidak pernah ada yang mengajarkan hal itu. Tapi karena menjadi bagian dari budaya, maka no problem. Sama seperti tradisi ‘sedekah laut’ di mana terselip munajat dalam ritual adat tersebut.
Sehingga, status keislaman seorang Rara Istiati Wulandari yang telah tersebar di berbagai platform berita di media sosial, tak semestinya dipertentangkan dengan ritual yang dilakukannya. Kecuali jika netizen sekalian mengetahui pasti bahwa Mbak Rara meminta kepada selain Tuhan yang Maha Esa itu. Tetapi, siapa yang tahu isi hati seseorang?
Karena pawang hujan ini menjadi bagian dari kreasi budaya, maka prinsip-prinsip universal seperti al-adalah (keadilan), al-musawah (kesetaraan), as-syura (musyawarah), at-ta’awun (saling membantu), dan at-tasamuh (toleransi), harus dijunjung tinggi. Wallahu a’lam bisshawab. []