Mubadalah.id – Rasanya tidak ada habisnya saat menulis stigma negatif yang disematkan pada perempuan tatkala disandingkan dengan dua kata, politik dan Pemilu. Namun, benarkah demikian adanya? Bagaimana sebenarnya posisi perempuan dalam politik dan pemilu di Indonesia?
“Politik adalah ruang yang tidak ramah bagi perempuan. Pemilu bukanlah ajang kontestasi bagi perempuan, maka percuma bagi perempuan yang ikut dalam Pemilu karena tingkat keterpilihannya pun nadir. Politik dan Pemilu adalah ruang publik yang diperuntukkan bagi laki-laki, karena perempuan sudah diberikan ruangnya sendiri, yakni ranah domestik rumah tangga. Kutipan ini justru mendiskriminasi posisi perempuan dalam politik dan pemilu.”
Sebagai warga negara Indonesia baik itu laki-laki maupun perempuan memiliki hak-hak yang sama dalam politik dan dijamin oleh Undang-Undang. Jadi posisi perempuan dalam politik dan pemilu di Indonesia itu sama dengan laki-laki. Hak-hak itu adalah (1) Hak membentuk dan memasuki organisasi politik atau organisasi lain yang dalam waktu tertentu melibatkan diri dalam aktivitas politik; (2) Hak untuk berkumpul dan berserikat; (3) Hak untuk menyampaikan pandangan atau pemikiran tentang politik; (4) Hak untuk menduduki jabatan politik dalam pemerintahan; (5) Hak untuk memilih dan dipilih dalam Pemilihan Umum. Bukankah perempuan juga merupakan warga negara Indonesia, sehingga ia pun memiliki kelima hak-hak ini.
Di samping itu perempuan juga memiliki kuota afirmatif sebanyak 30% dalam kancah politik dan Pemilu di Indonesia. Hal ini diatur dalam Undang-Undang No 7 Tahun 2017 tentang Partai Politik dan Pemilu. Dalam UU No 7 Tahun 2017 pasal 245 jelas menyatakan bahwa bakal calon anggota dewan yang diusung oleh partai politik harus memuat keterwakilan perempuan minimal 30%.
Disusul kemudian disusul dengan pasal 248 dimana KPU melakukan verifikasi terhadap kelengkapan terpenuhinya keterwakilan perempuan paling sedikit 30%. Bahkan pada pasal 249 dinyatakan dengan eksplisit jika tidak memuat keterwakilan perempuan paling sedikit 30%, maka KPU memberikan kesempatan kepada partai politik untuk memperbaiki daftar bakal calonnya.
Kendati negara telah memberikan payung hukum yang memperkuat posisi perempuan dalam politik dan Pemilu, fakta di lapangan masih menunjukkan bahwa implementasi dari Undang-Undang itu masih jauh dari harapan. Seakan-akan partai politik kesusahan dalam mencari sedikitnya 30% perempuan sebagai bakal calon anggota dewan yang akan diajukan. Sehingga tidak sedikit yang mengatakan bahwa proses pengkaderan di partai politik gagal.
Hal ini dapat dilihat dari mulai struktur kepengurusan partai politik yang masih didominasi oleh laki-laki, padahal idealnya 30% keterwakilan perempuan juga dimulai dari kepengurusan di internal partai politik. Sehingga yang terjadi, pemenuhan 30% kuota perempuan dilakukan secara asal-asalan, asal jenis kelaminnya perempuan meski potensi keterpilihannya nyaris mustahil.
Menurut ibu Dr. Dra. Sulistyowati, S.H, C.N, Wakil Rektor 1 Universitas Muria Kudus, seharusnya perempuan bakal calon anggota dewan yang diajukan oleh partai politik tidak hanya memenuhi syarat normatif pemenuhan kuota afirmatif 30% saja, melainkan harus potensial terpilih.
Ia juga menyampaikan lima kriteria yang harus dipenuhi oleh bakal calon anggota dewan, yakni: (1) Sumber Daya Manusia; (2) Sumber daya ekonomi; (3) Sumber daya sosial; (4) Sumber daya politik; (5) Sumber daya budaya. Dan saya sepenuhnya sepakat dengan kelima kriteria yang dituturkan olehnya.
Posisi dan peran politik perempuan di Indonesia akan menguat jika bakal calon anggota dewannya memiliki kapasitas yang mumpuni sebagai sumber daya manusia yang dicalonkan. Selain itu, faktor ekonomi dari perempuan bakal calon juga harus dipertimbangkan, setelah kriteria sebelumnya telah terpenuhi.
Karena nantinya posisi perempuan dalam politik akan selalu bersinggungan dengan masyarakat dengan menyuarakan aspirasi masyarakat, maka bakal calon pun harus memiliki sumber daya sosial yakni komunikasi dan relasi yang baik di masyarakat. Barulah setelah itu mensyaratkan kriteria keempat yakni sumber daya politik, dimana bakal calon diharuskan mengerti dan paham betul tentang seluk beluk politik dan Pemilu yang akan diikutinya, dari mulai regulasi hingga implementasinya di lapangan.
Dan yang terakhir adalah sumber daya budaya yang dapat diasumsikan sebagai bentuk dukungan nyata dari pihak-pihak yang bersinggungan dengan perempuan bakal calon. Akan sia-sia saja, jika empat dari lima kriteria itu dapat dipenuhi oleh perempuan bakal calon jika keluarga dan lingkungan terdekatnya tidak mendukung.
Pada akhirnya, posisi perempuan dalam politik dan Pemilu masih membutuhkan kerja sama dan kesalingan dari banyak pihak. Saat payung hukum telah tersedia, maka sisanya adalah mengawal implementasi dari payung hukum tersebut. Posisi perempuan dalam politik dan Pemilu menjadi penting agar kebijakan publik dan regulasi yang adil gender dapat terealisasi.
Tidak hanya itu, posisi perempuan dalam politik dan Pemilu yang ramah baginya juga tidak lagi sekedar harapan. Juga menjadi bukti nyata bahwa baik ranah publik maupun ranah domestik adalah milik bersama, yakni laki-laki dan perempuan. []