Bagaimana rasanya ketika ada perempuan lain yang tidak kamu kenal, tiba-tiba mengirimu sebuah pesan, dan mengabarkan jika teman baikmu dianggap sebagai perebut suami orang lain, dengan status perkawinan dia yang tidak atau belum jelas?
Jujur, saya mengalami pergulatan panjang dan tidak mudah. Satu sisi, ada nilai dan prinsip sebagai perempuan yang paham tentang bagaimana relasi setara yang harus ditegakkan. Namun di sisi lain, saya melihat potret buram seorang kawan baik, perempuan yang tengah berada di persimpangan jalan. Ketika hidup tidak memberinya banyak pilihan.
Banyak hal yang membuat saya tidak sepakat dengan nikah siri dan atau poligami. Selain melanggar hak asasi perempuan, juga tidak terpenuhinya hak-hak anak yang dilahirkan dalam perkawinan bawah tangan. Status anak yang lahir dari perkawinan siri tidak diatur oleh hukum perkawinan (UU Perkawinan No. 16 tahun 2019) dan Kompilasi Hukum Islam (KHI), khususnya dalam kaitan dengan hak waris.
Anak yang lahir dari perkawinan siri hanya memiliki hak waris dari ibu biologis dan keluarga dari ibu biologisnya. Selain itu, anak yang terlahir dari perkawinan siri juga akan kesulitan memperoleh akta kelahiran lantaran perkawinan kedua orangtuanya itu tidak tercatat.
Hal yang perlu disadari jika pencatatan kelahiran merupakan dasar pengakuan legal negara atas kewarganegaraan seseorang, agar mendapatkan pemenuhan hak sipil secara ekonomi, pendidikan, pekerjaan dan lain sebagainya. Meski telah mengetahui realitas hukum di Indonesia seperti itu, mengapa masih ada perempuan yang mau menjalani perkawinan siri? Bahkan rela menjadi perempuan kedua, ketiga dan seterusnya.
Saya mengamini pendapat Ibu Prof. Dr. Musdah Mulia, MA dalam buku “Ensiklopedia Muslimah Reformis”, yang menginginkan agar UU Anti Kekerasan dalam Rumah Tangga No. 23 tahun 2004 perlu terus disosialisasikan secara luas di masyarakat. Penegakan atas peraturan tersebut diharapkan nanti tidak akan ada lagi suami atau istri yang mengeksploitasi pasangannya baik secara seksual maupun fisik untuk tujuan atau alasan apapun.
Maka lebih lanjut Ibu Musdah mengatakan bahwa, poligami jelas merupakan perwujudan ketimpangan relasi sosial yang telah mengakibatkan dominasi dan diskriminasi terhadap perempuan. Poligami juga lebih sering dijadikan sebagai alat bagi laki-laki untuk mencapai kekuasaan atau memperkuat jaring-jaring kekuasaannya dengan mengeksploitasi perempuan sebagai objek untuk mencapai tujuan tertentu.
Apa yang harus dilakukan perempuan?
Sebagai upaya menegakkan kesetaraan dan keadilan gender, perlu digiatkan pemberdayaan perempuan, terutama agar mereka mengerti tentang hak-hak mereka dan potensi yang tersimpan dibalik hak tersebut. Sehingga perempuan memiliki posisi tawar yang tinggi dalam kehidupan rumah tangga.
Sebagaimana dikutip dari buku yang sama, ada dua hal yang mesti dilakukan perempuan. Pertama, meningkatkan kualitas diri perempuan, termasuk kualitas keimanannya, melalui pendidikan, baik formal maupun informal agar mereka mempunyai keyakinan teologis yang benar, wawasan yang luas, keterampilan yang memadai dan kemampuan intelektual yang cukup untuk memahami serta memperjuangkan hak-haknya.
Kedua, menggalang upaya agar perempuan dapat mandiri secara ekonomi, sehingga mereka tidak sepenuhnya bergantung pada penghasilan orang tua atau suami. Ketiga, meningkatkan moralitas dan religiusitas perempuan agar mereka tidak mudah terjebak dalam pengaruh kehidupan yang hedonistik, materalistik dan konsumeristik.
Maka sejauh apapun langkah perempuan, ketika berada di persimpangan jalan, ia tahu apa yang harus dilakukan untuk masa depan dirinya sendiri, dengan mencintai seluruh kehidupannya tanpa harus mempertaruhkan harkat dan martabatnya sebagai perempuan.
Ketika hidup tidak memberimu banyak pilihan, yakinlah wahai perempuan jika masih ada satu jalan yang akan membawamu pada kebahagiaan, yang tak melulu dinilai dalam bentuk rupiah atau materi. Karena damai itu sejatinya bersemayam dalam hati, bukan hanya sekedar sensasi atau basa-basi. Tanyalah pada nurani, dan bangunlah segera dari ilusi di pagi hari. []