Mubadalah.id – Menurut UU No. 35 tahun 2014 anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk yang masih dalam kandungan. Undang-undang ini menjadi penegasan tentang siapa yang dimaksud sebagai anak dan hak anak. Comen issue tentang anak sebagaimana merefleksikan Hari Anak Nasional pada tanggal 23 Juli 2022. Yakni mencermati tentang sejauh mana kita berperan dalam memberikan perlindungan bagi anak dan bagaimana melakukan pencegahan kekerasan terhadap anak.
Harapan agar kehidupan anak semakin sejahtera dan terlindungi ternyata masih menyisakan pilu. Sebab, sepanjang tahun 2022 kasus kekerasan terhadap anak semakin bertambah dengan latar belakang kasus yang beragam. Mulai dari diskriminasi, perundungan, pelecehan seksual, pemerasan, eksploitasi pemaksaan hubungan seksual dan lain sebagainya.
Kasus yang menimpa anak ini, pelaku umumnya orang-orang yang memiliki otoritas dalam berbagai bidang, mulai dari profesi guru, ustadz atau kiai, orang tua, senior atau kakak tingkat dan lain sebagainya. Terjadinya kasus kekerasan terhadap anak perlu adanya identifikasi dan kajian dari dua belah pihak baik dari pihak pelaku maupun korban.
Melihat dari Sudut Pandang Pelaku
Dari kedua sisi ini tentu saja kita dianjurkan untuk terus mendukung dan menghadirkan rasa aman bagi korban. Namun sebagai pelajaran kita perlu melihat duduk perkara terjadinya kekerasan terhadap anak dengan menganalisis secara mendalam tentang latar belakang pelaku.
Mengkaji kasus kekerasan terhadap anak dari sudut pandang pelaku hampir semuanya orang yang memiliki posisi superior, pendidikan rendah (kurang bijak), ekonomi rendah, pengalaman child abuse, dan pengalaman di masa lalu. Perluasan makna pengalaman masa lalu dapat berupa pengalaman pelaku yang tidak mendapatkan sosialisasi dari orang tua atau pelaku dengan riwayat pernah menjadi korban.
Sudut Pandang Korban
Sementara dari sudut pandang korban atau anak sebagian besar diwarnai dengan minimnya pemahaman anak tentang perlindungan diri, trauma karena melihat atau mengalami kekerasan, normalisasi kejadian yang menimpanya, (Rusyidi & Krisnani, 2020) kurangnya control sosial, hingga lemahnya hukum bagi pelaku.
Dengan mencermati faktor-faktor yang melatar belakangi terjadinya kekerasan pada anak sudah saatnya pencegahan dan pengentasan kasus kekerasan terhadap anak menjadi tanggungjawab bersama. Sayangnya, untuk melakukan tindakan yang kooperatif ini masih banyak masyarakat yang belum terbekali modul penguatan dan perlindungan dari bahaya kekerasan terhadap anak. Hal ini menengarai bahwa UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang termasuk di dalamnya kasus-kasus kekerasan terhadap anak masih kurang efektif.
Melansir dari Jurnal (Nurmalasari, 2022) ada dua ranah UU TPKS yaitu keadilan dan perlindungan bagi korban serta memisahkan urusan publik dengan urusan privat. Seperti halnya kebebasan seksual, penyimpangan seksual hingga kekerasan seksual yang seharusnya diatur dalam regulasi ini.
Mengawal Implementasi UU TPKS
Tugas besar implementasi UU TPKS ialah mengantarkan pemahaman masyarakat tentang bahaya kekerasan seksual. Upaya ini memerlukan pencegahan serta upaya pengentasan tindak kekerasan di Indonesia. Hal ini memerlukan andil dari aparat penegak hukum dan masyarakat dengan cara mensosialisasikan maksud, bunyi dan tujuan terbentuknya UU TPKS agar tidak terjadi salah paham.
Di dalam Rancangan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 2020 tentang Strategi Penghapusan Kekerasan Terhadap Anak menetapkan bahwa segala upaya penghapusan kekerasan terhadap anak dapat kita lakukan secara berkala, sistematis dan terukur melalui praktik pencegahan, perlindungan, pemulihan, reintegrasi, partisipasi, peningkatan kapasitas, dan kerja sama antar sektor.
Ruang lingkup pencegahan kekerasan pada anak menitik beratkan pada lima hal tentang prinsip-prinsip pencegahan kekerasan terhadap anak, kekerasan terhadap anak di Indonesia, keterkaitan legislasi dan strategi, rencana dan aksi serta pelaksanaan koordinasi. Untuk mensukseskan rancangan tersebut perlu adanya stakeholder yang mampu memobilasasi jalannya pelaksanaan praktik pencegahan kekerasan terhadap anak
Ada enam strategi penghapusan. Pertama dengan strategi legislagi dan penerapan kebijakan perlindungan anak. Kedua, strategi perubahan norma dan budaya yang berupa wujud pembenaran, penerimaan dan pengabaian kekerasan. Ketiga, mewujudkan pengasuhan yang aman bagi anak. Keempat, peningkatan keterampilan dan ketahanan anak dari bahaya kekerasan. Kelima, penyediaan layanan pendukung. Keenam, strategi peningkatan kualitas data dan bukti pendukung kekerasan terhadap anak.
Tidak berhenti di situ. Untuk mewujudkan strategi tersebut di atas perlu adanya kesepakatan dari perangkat hukum tentang larangan dan pencegahan kekerasan terhadap anak. Antara lain, kebijakan, pengembangan koordinasi dan sosialisasi. Kemudian, intervensi terhadap saksi atau pengamat, pelatihan pengasuhan yang komprehensif, dan tersedianya layanan bimbingan konseling. Selain itu ada kampanye anti kekerasan pada anak, adanya manajemen dan advokasi kasus, dan lain sebagainya.
Sebagai penutup, kasus ini sudah menjadi tanggung jawab semua lapisan baik itu keluarga maupun negara sekalipun. Peran pengasuhan dalam lingkungan keluarga menjadi salah satu ujung tombak pencegahan kekerasan pada anak. Hal ini dapat terwujud dengan menghargai hak-hak anak. Salah satunya dengan mengawasi perkembangan dan perlindungan anak.
Sementara peran dari lembaga pendidikan dapat mewujudkannya dengan memberikan edukasi dan penguatan kecakapan anak dalam melindungi diri dari bahaya kekerasan. Selanjutnya dari masyarakat dapat mewujudkannya dengan meningkatkan kontrol sosial. Bagian akhir adalah harapan agar negara bertindak tegas dalam memberikan hukuman bagi pelaku dan melindungi anak dengan maksimal. Semoga tulisan ini bermanfaat, Terimakasih. []