Mubadalah.id – Jika merujuk pandangan Nasaruddin Umar tentang teologi gender, maka isu teologi gender ini, menurutnya masih belum banyak dibicarakan.
Padahal persepsi masyarakat terhadap gender banyak bersumber dari tradisi keagamaan.
Ketimpangan peran sosial berdasarkan gender (gender inequality) menganggapnya sebagai ciptaan Tuhan, dan segalanya bersumber dari Tuhan.
Berbeda dengan persepsi para feminis yang menganggap ketimpangan itu semata-mata sebagai konstruksi masyarakat (social construction).
Menurut penelitian para antropolog, masyarakat pra-primitif, yang biasa juga menyebutnya dengan masyarakat lain (savage society) sekitar sejuta tahun lalu, menganut pola keibuan.
Perempuan lebih dominan dari laki-laki di dalam pembentukan suku dan ikatan kekeluargaan. Pada masa ini terjadi keadilan sosial, dan kesetaraan gender.
Proses peralihan masyarakat dari matriarkal ke patriarkal telah dijelaskan oleh beberapa teori.
Satu di antara teori itu ialah teori Marx yang Engels lanjutkan. Mereka mengemukakan bahwa perkembangan masyarakat yang beralih dari collective production ke private property.
Serta sistem exchange juga turut semakin berkembang, menyebabkan perempuan tergeser, karena fungsi reproduksi perempuan berhadapan dengan faktor produksi.
Ada suatu pendekatan lain yang menganggap agama, khususnya agama-agama ibrahimiah (abrahamic religions) sebagai salah satu faktor menancapnya paham patriarki di dalam masyarakat. Karena agama-agama itu memberikan justifikasi terhadap paham patriarki.
Lebih dari itu, agama Yahudi dan Kristen mentolerir paham misogini, suatu paham yang menganggap perempuan sebagai sumber malapetaka, bermula ketika Adam jatuh dari surga karena rayuan Hawa.
Pendapat lain mengatakan bahwa peralihan masyarakat matriarki ke masyarakat patriarki erat kaitannya dengan proses peralihan the mother god ke the father god di dalam mitologi Yunani.*
*Sumber: tulisan karya M. Nuruzzaman dalam buku Kiai Husein Membela Perempuan.