Mubadalah.id – Kawin anak dalam bentuk kawin kontrak di wilayah Bogor, Cianjur melahirkan persoalan turunan. Yaitu maraknya remaja yang menjadi janda yang dikenal dengan julukan “jahe” (janda herang/janda bening).
Orang tua yang semula keuntungan dari hasil kawin kontrak itu, ternyata hanya bisa menikmatinya sesaat. Anak-anak yang terlahir dari kawin kontrak harus ia asuh dan besarkan oleh kakek dan neneknya tanpa ada tunjangan dari mantan menantu mereka.
Anak perempuan yang pernah menjalani kawin kontrak dengan pria Timur Tengah relatif lebih sulit untuk berumah tangga secara wajar karena kuatnya stigma “tilas Arab” atau “urut Arab” bekas orang Arab.
Hal itu adalah sebuah stigma buruk terkait perilaku dan alat reproduksinya yang tak lagi dapat memuaskan lelaki pribumi.
Namun di lain pihak, anak perempuan seperti itu juga akan terus menjadi andalan keluarga sebagai pencari nafkah yang akan terus menjalani kawin kontrak.
Hasilnya kemudian seluruh keluarganya ikut menikmatinya, termasuk saudara lelakinya yang menganggur dan anak-anak yang lahir dari perkawinan kontraknya.
Industri pariwisata pada umumnya menyerap tenaga kerja lelaki dan perempuan muda atau remaja. Kalangan perempuan yang sudah setengah baya atau tua lebih banyak di rumah.
Satu-satunya yang bisa ia kerjakan adalah mengurus cucu-cucunya, kecuali bagi yang masih punya tanah atau sawah atau kerja musiman di kala panen.
Lelaki tua kini hidup lebih sulit lagi. Tak ada tanah untuk digarap, tak ada pekerjaan pengganti yang tepat untuk mereka. Ketergantungan kepada anak perempuan menjadi lebih besar.
Namun posisi sosialnya sebagai ayah masih tetap tinggi. Karenanya bapaknyalah yang paling kuat “memaksa” anaknya untuk menjalani kawin kontrak, meskipun desakannya bisa datang dari Ibu.
Perempuan pelaku kawin kontrak yang diwawancarai selalu mengatakan bahwa perkawinan yang dijalankannya bertujuan untuk “ngabantu Umi” (membantu Ibu).[]