Mubadalah.id – Perhelatan Kongres Ulama Perempuan (KUPI) benar-benar memfasilitasi para pemburu yang haus ilmu pengetahuan. Dimana-mana beterbangan ilmu yang bisa kita dapatkan melalui dalam dan luar forum. Termasuk di antaranya adalah Pusat Studi Gender. Setiap detik padat dengan halaqah-halaqah yang menghasilkan ide-ide dan konsep-konsep ilmu pengetahuan yang brilian.
Dari gegap gempita tersebut, sempat terselip rasa insecure yang begitu menggelayut dalam diri saya saat hendak berangkat menuju lokasi perhelatan KUPI II di Jepara. “Apakah saya berhak atas keikutsertaan kongres ini?”. Ketakutan yang muncul dalam pertanyaan ini tentu bukan tanpa alasan.
Dengan sematan “Ulama” pada KUPI ini, tentu saya meraba diri sendiri, siapa saya sehingga berhak atas keikutsertaan kegiatan ini. Belum lagi persepsi orang lain yang mengetahui keseharian saya yang notabenenya jauh dari label “Ulama”.
Pertanyaan-pertanyaan itu masih terus memenuhi ruang kepala hingga perhelatan halaqah hari pertama. Sampai hari kedua, saya masuk dalam halaqah paralel dengan tema “Peran PSGA dalam Gerakan Keulamaan Perempuan Indonesia”. Ada banyak kelas paralel dengan tema menarik di hari kedua. Peserta berhak memilih tema sesuai keminatan dan konsen masing-masing.
Pusat Studi Gender dan Anak dalam Gerakan KUPI
Dalam kelas paralel tema ini, moderator memulai dengan pertanyaan yang sederhana namun mewakili pergumulan isi kepala saya yang belum selesai. Apakah mereka yang berkecimpung dalam Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) masuk kategori Ulama dalam jaringan ulama perempuan KUPI?
Moderator memulai dengan menyampaikan cerita ironi tentang ke-insecure-an teman-teman PSGA mendaku sebagai jaringan ulama perempuan KUPI sekitar 10 hari yang lalu saat perhelatan kegiatan Pra Kongres KUPI II Konferensi PSGA di UIN Raden Fatah Palembang.
Ke-insecure-an teman-teman PSGA terpatahkan oleh Yuniati Chuzaifah menjelaskan bahwa Ulama adalah label dari outsider bukan dari kita. Kita tidak perlu sibuk memperhitungkan layak atau tidak kita sebagai Ulama. PGSA mempunyai ruang strategis, mahasiswa sebagai massa yang menjadi sasaran implementasi kerja-kerja PSGA.
Sekali lagi, tidak perlu sibuk menimbang-nimbang kita layak disebut Ulama atau tidak. Yang paling penting kita lakukan adalah gerakan responsif terhadap isu-isu sosial dan fokus pada produksi ilmu pengetahuan yang berbeda dengan Ulama lain dengan core kunci feminist perspective.
Selama ini pengalaman perempuan yang bukan akademisi dianggap bukan pengetahuan, padahal itu merupakan sumber pengetahuan mapan yang bisa dijadikan landasan dalam memproduksi wacana.
Tidak memiliki pesantren maupun komunitas bukanberarti tidak bisa menjadi Ulama. PSGA memiliki mahasiswa. Ini merupakan modal besar, ruang besar untuk memproses pengetahuan dan pengakuan sebagai Ulama perempuan.
Jawaban ini tentu meruntuhkan ketakutan-ketakutan yang menggelayut di benak saya. Seperti menemukan air ditengah gurun rasanya.
Peran PSGA dalam Gerakan Keulamaan Perempuan Indonesia
Selain mendapat insight yang memecah kebuntuan, sesungguhnya halaqah tema ini membahas hal-hal mendalam terkait relasi PSGA dengan KUPI. Ada tiga pembicara dalam kelas paralel ini;Yuniati Chuzaifah sebagai penggiat HAM Perempuan, Prof. Alimatul Qibtiyah, S.Ag., M.Si., Ph.D. sebagai Ketua Umum OC KUPI II, dan Khasan Ubaidillah, S.Pd., M.Pd.I. sebagai perwakilan PSGA UIN Raden Mas Surakarta dengan moderator secara epic oleh Dr. Mufliha Wijayanti.
Kesempatan pertama paparan Yuniati Chuzaifah sampaikan dengan menegaskan kembali perbedaan definisi Perempuan Ulama dan Ulama Perempuan. Sebagaimana telah disepakati bahwa Perempuan Ulama mengacu pada arti leter leg scr biologis.
Perempuan Ulama ini dalam realita di lapangan mengalami kesulitan masuk pada lembaga otoritas besar yang dominan laki-laki seperti Majelis Tarjih, MUI dan lembaga pemegang otoritas besar lainnya. Sedangkan Ulama Perempuan adalah semua yang menyuarakan ilmu dengan kesadaran dan menjunjung tinggi perempuan.
Paparan kedua Khasan Ubaidillah, S.Pd., M.Pd.I. sampaikan terkait peran yang sudah PSGA mainkan. Kerja-kerja PSGA harus berdasarkan pada Tri Dharma Perguruan Tinggi (pendidikan, penelitian, dan pengabdian) yang merupakan kunci produksi pengetahuan dan implementasinya. Tugas PGSA adalah mendiseminasikan kepada lingkungan kampus terkait kerja-kerja PGSA.
Sebagai paparan penutup, Prof. Alimatul Qibtiyah, S.Ag., M.Si., Ph.D. yang menyampaikan terkait strategi bagaiaman Ulama Perempuan dalam kerja-kerjanya hingga saat ini. Pertama, Ulama Perempuan mengakui keberagaman pemikiran dan meyakini apa yang semua unsur yakini tanpa membedakan latar belakang.
Kedua, menaruh perhatian pada history dan hermeneutic approach serta bayani-burhani-irfani. Ketiga, memperhatikan ethic dan kerja-kerja silence revolution. []