Mubadalah.id – Perintah Birrul Walidain selama ini selalu dipahami sebagai perintah berbakti bagi seorang anak kepada orang tuanya. Konsep tentang birrul walidain menjadi salah satu tema pembahasan yang cukup populer karena memiliki banyak redaksi dalam Al-Qur’an.
Al-Qur’an Bicara Tentang Birrul Walidain
Redaksi ayat-ayat tentang birrul walidain dalam Al-Qur’an kebanyakan memiliki redaksi yang tegas. Bahkan beberapa diantaranya disandingan dengan ayat-ayat tauhid. Kurang lebih terdapat tujuh ayat yang membahas konsep birrul walidain dengan tegas. Yaitu pada Qur’an surah Al-Baqarah: 83, Al-Nisa’: 36, Al-An’am: 151, Al-Isra’: 23, Al-Ankabut: 8, Luqman: 14, dan Al-Ahqaf: 15. Dari beberapa ayat tersebut, pembahasan paling banyak dan rinci penjelasannya dalam QS. Al-Isra’ ayat 23-24
۞ وَقَضٰى رَبُّكَ اَلَّا تَعْبُدُوْٓا اِلَّآ اِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ اِحْسٰنًاۗ اِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ اَحَدُهُمَآ اَوْ كِلٰهُمَا فَلَا تَقُلْ لَّهُمَآ اُفٍّ وَّلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَّهُمَا قَوْلًا كَرِيْمًا وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَّبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيٰنِيْ صَغِيْرًاۗ
“Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah engkau membentak keduanya, serta ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik.Rendahkanlah dirimu terhadap keduanya dengan penuh kasih sayang dan ucapkanlah, “Wahai Tuhanku, sayangilah keduanya sebagaimana mereka berdua (menyayangiku ketika) mendidik aku pada waktu kecil.” (QS. Al-Isra /17 : 23-24)
Penafsiran Ayat Birrul Walidain
Pada ayat 23 Allah memerintahkan manusia untuk berbakti kepada orang tuanya. Perintah tersebut bahkan bersanding dengan perintah untuk tidak menyekutukan Allah. Hal ini tentu saja menunjukan betapa pentingnya berbakti kepada orang tua.[ Menurut Ibnu Asyur kata اِحْسٰنًاۗ pada kalimat awal merupakan sebuah keumuman yang mencakup seluruh rincian pada ayat berikutnya. Adapun rincian bentuk birrul walidain telah ditafsirkan beberapa ulama sebagai berikut.
Buya Hamka menjelaskan bahwa kita diharuskan untuk bersabar dan menahan diri saat mengasuh orang tua yang sudah lanjut usia. Karena tabiat orang tua yang seringkali kembali seperti anak kecil terkadang membuat kita kesal. Oleh karena itu, kita dituntut untuk bersabar dan menahan diri dari mengeluarkan kata-kata yang menyatakan kekesalan seperti berkata “uffin”.
Sebagai gantinya kita diperintahkan untuk mengucapkan kata-kata yang baik dan mulia kepada orang tua. Tentang bertutur kata yang baik (qaulan karima) Quraish Shihab menambahkan hendaknya kata-kata yang anak keluarkan kepada orang tuanya tidak hanya kata-kata yang benar dan tepat, atau sekedar menyesuaikan kebiasaan masyarakat, namun juga harus merupakan kata yang terbaik dan mulia.
Di akhir ayat Allah juga mengajarkan kepada kita bagaimana seharusnya sebagai anak mendoakan orang tua. Yaitu dengan memohonkan rahmat dan kasih sayang Allah kepada mereka. Sebagaimana orang tua telah mengasihi kita sejak kecil. Jika kita ringkas, setidaknya terdapat tiga cara agar seorang anak dianggap berbakti kepada orang tuanya. Yakni tidak menyakiti orang tua (secara lisan maupun perbuatan), bertutur kata yang baik kepada keduanya, dan yang ketiga adalah menyayangi, menghormati, dan mendoakannya.
Problem Ketimpangan dalam pembacaan Ayat-Ayat Birrul Walidain
Dari penafsiran ayat diatas, kita dapat melihat bahwa para mufasir lebih banyak menafsirkan ayat dari kacamata orang tua. Orang tua menjadi subjek utama yang dengan berbagai alasan berhak mendapatkan penghormatan, kasih sayang serta perhatian dari anaknya. Sedangkan anak diposisikan sebagai subjek yang harus menerima kewajiban birrul walidain dengan berbagai rinciannya. Pembacaan tersebut secara tidak langsung menciptakan kesan superioritas orang tua daripada anaknya.
Hal tersebut memang tidak bisa kita hindari, karena sebagian besar ayat tentang Birrul walidain memiliki redaksi tegas. Ayat-ayat tersebut juga selalu berisi perintah yang memberikan taklif birrul walidain kepada anak. Bahkan dalam beberapa ayat kewajiban tersebut bersanding dengan kewajiban pokok umat Islam untuk menjaga tauhid. Oleh karena itu, penafsiran yang lebih menampakan superioritas orang tua memang sulit kita hindari.
Prinsip Dasar Mubadalah dalam Relasi anak dan Orang Tua
Dalam perspektif mubadalah, hasil pembacaan yang demikian merupakan pembacaan yang kurang resiprokal dan rentan menyebabkan adanya dominasi serta hegemoni dalam sebuah relasi. Oleh karena itu, perlu adanya pembacaan yang melibatkan peran aktif dari kedua subyek (anak dan orang tua). Hal tersebut kita lakukan untuk menciptakan hasil pemahaman yang lebih resiprokal dalam konsep birrul walidain.
Makna Mubadalah dalam sebuah teks dapat kita ambil ketika kedua subyek relasi kita posisikan dengan setara dan saling melakukan hubungan timbal balik dengan baik. Selain itu, pemaknaan secara mubadalah juga harus kita sesuaikan dengan prinsip dasar keislaman yang terdapat pada ayat-ayat universal. Setelah itu, hal yang perlu kita lakukan adalah mengambil gagasan dari ayat-ayat relasional dan memubadalahkan subyek-subyeknya.
Dalam konsep birrul walidain yang yang berkutat pada relasi anak dan orang tua, setidaknya terdapat dua prinsip dasar yang dapat kita jadikan landasan makna mubadalah. Kedua prinsip tersebut adalah prinsip tauhid dan prinsip menjaga keluarga. Prinsip tauhid merupakan prinsip paling fundamental dalam Islam. Sehingga seluruh pemaknaan dalam teks-teks agama haruslah berpegang pada prinsip tersebut.
Dalam relasi anak dan orangtua, prinsip tauhid dikemukakan secara tegas dan hampir dapat kita temukan pada setiap ayat tentang birrul walidain. Dalam QS. Al-Isra ayat 23-24. Misalnya, perintah berbuat baik kepada orang tua didahului dengan perintah untuk mengesakan Allah.
Sedangkan prinsip saling menjaga dapat kita lihat dalam Qur’an Surat At-Tahrim ayat 6 yang memerintahkan untuk menjaga anggota keluarga dari api neraka.
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا قُوْٓا اَنْفُسَكُمْ وَاَهْلِيْكُمْ نَارًا وَّقُوْدُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ ….
Wahai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu….
Konsep Birrul Walidain dalam Perspektif Mubadalah
Dengan mengacu sistematika kerja mubadalah, maka subyek ayat berupa anak dan orang tua dapat terabaikan sementara. Kemudian focus pada gagasan utamanya untuk kita mubadalahkan. Jika kita analisa lebih mendalam, gagasan utama dalam QS. Al-Isra ayat 23-24 adalah arahan dan tata cara menciptakan sebuah keharmonisan dalam keluarga.
Kita lihat dari redaksi ayat, terdapat beberapa hal yang harus kita lakukan untuk membangun sebuah keluarga yang harmonis. Yang pertama adalah keluarga yang kita bangun atas dasar tauhid, Kedua berbuat baik serta menghindari hal-hal yang berpotensi menyakiti, Ketiga membangun pola komunikasi yang baik antar anggota keluarga , dan yang terakhir adalah mendoakan anggota keluarga.
Hal paling mendasar untuk membentuk sebuah keluarga yang harmonis adalah membangunya atas dasar ketauhidan. Sehingga saat orang tua atau anak mengajak untuk mempersekutukan Allah, maka baik orang tua atau anak harus menolak ajakan tersebut. Penolakan ini bukanlah sebuah bentuk kedurhakaan. Melainkan sebuah upaya untuk menjaga prinsip ketauhidan dalam keluarga. Hal tersebut juga diterangkan secara tegas dalam Qur’an Surat Al-Ankabut ayat 8.
Menghindari Menyakiti Anggota Keluarga
Bentuk mubadalah kedua adalah menghindari hal-hal yang berpotensi dapat menyakiti anggota keluarga. Dalam redaksi ayat tersebutkan adanya larangan berkata “uffin” pada orang tua. Larangan tersebut sebenarnya adalah langkah antisipasi agar hal-hal yang berpotensi menyakiti (meski secara lisan) tidak kita lakukan.
Oleh karena itu, menurut Buya Hamka berlaku qiyas-awlawy dalam ushul fiqh. Yaitu, apabila mengucapkan uffin yang dianggap ringan saja tidak boleh, apalagi hal yang lebih berat dari itu. Seperti menghardik atau memukul orang tua.
Larangan tersebut ditujukan kepada anak untuk orang tuanya. Karena orang tua yang sudah lanjut usia dalam pengasuhan anaknya biasanya cenderung lebih sensitif. Sehingga ayat ini menuntut seorang anak agar bersabar dalam mengasuh orang tuanya, serta menghindari hal-hal yang dapat menyakiti mereka.
Maka secara mubadalah, hal-hal tersebut juga berlaku bagi orang tua saat sedang mengasuh anak-anaknya. Dalam mengasuh anak, seharusnya orang tua menghindari perkataan-perkataan yang dapat menyakiti hati anak, atau kata-kata yang sekiranya berdampak buruk bagi psikologi mereka.
Larangan Melakukan Kekerasan terhadap Anak
Dengan demikan, qiyas juga berlaku dalam hal ini. Jika berkata-kata yang berpotensi menyakiti anak saja terlarang, apalagi dengan tindakan yang lebih berat dari itu. Seperti memukul anak dengan kasar (bukan untuk tujuan mendidik). Ayat ini tentu juga menjadi dalil pelarangan kekerasan terhadap anak.
Sebagai ganti dari larangan berkata kasar, Al-Qur’an mengajarkan kepada kita agar mengatakan kata-kata yang baik dan mulia qaulan karima. Hal-hal tersebut bertujuan untuk menyenangkan hati orang tua, serta sebagai bentuk bakti kepada mereka. Secara mubadalah hal tersebut juga berlaku sebaliknya. Dalam mengasuh anak, orang tua hendaknya mengucapkan kata-kata yang baik kepada mereka.
Selain sebagai bentuk kasih sayang, hal tersebut juga mengandung edukasi bagi anak. Dengan demikian kita harapkan anak mampu meniru perkataan baik orang tua dan tumbuh menjadi seseorang berbudi luhur. Pembentukan pribadi luhur dari anak inilah yang akan menjadi titik balik dalam relasi mubadalah antara anak dan orang tua. Seorang anak yang berbudi luhur tentu akan memperlakukan orang tuanya dengan baik.
Mendoakan Orang Tua
Hal terakhir yang dapat kita baca secara mubadalah dalam konsep birrul walidain pada QS. Al-Isra’ ayat 23-24 adalah perintah untuk mendoakan orang tua. Dalam ayat tersebut Allah mengajarkan do’a yang hendaknya seorang anak panjatkan untuk orang tuanya. Yaitu dengan memohonkan rahmat dan kasih sayang Allah kepada orang tua, sebagai balasan atas kasih sayang yang mereka berikan kepada anaknya sejak kecil.
Secara mubadalah orang tua juga hendaknya mendoakan anak-anaknya. Adapun do’a orang tua kepada anaknya dapat mencontoh do’a dalam QS. Furqan ayat 74:
وَالَّذِيْنَ يَقُوْلُوْنَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ اَزْوَاجِنَا وَذُرِّيّٰتِنَا قُرَّةَ اَعْيُنٍ وَّاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِيْنَ اِمَامًا
Dan, orang-orang yang berkata, “Wahai Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami penyejuk mata dari pasangan dan keturunan kami serta jadikanlah kami sebagai pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa.”
Uraian di atas merupakan hasil rekonstruksi pembacaan dari konsep birrul walidain melalui perspektif mubadalah. Hasil pembacaan tersebut menuntut peran aktif dari anak dan orang tua dalam ayat-ayat relasional. Sehingga tidak ada lagi bentuk kewajiban yang mutlak menjadi tanggung jawab salah satu pihak saja. Baik orang tua ataupun anak kita posisikan dengan setara untuk melakukan perannya masing-masing. []