Terdapat sebuah guyonan yang dinisbahkan kepada pengandaian Marilyn Monroe terhadap kegeniusan ilmuwan Albert Einstein. Apa jadinya jika Marilyn yang cantik menikah dengan Einstein yang pintar, tentunya mereka akan memiliki anak-anak yang berparas menawan juga otak yang berlian.
Selanjutnya, Einstein menanggapi pengandaian ini dengan menyatakan “Apa jadinya jika paras anaknya akan jelek seperti saya dan bodoh seperti ibunya, karena kecerdasan dan kepintaran anak diturunkan dari sang ibu.”
Guyonan ini nampaknya bukan sekedar guyonan semata, beberapa hasil penelitian membuktikan bahwa kecerdasan otak anak diturunkan dari sang Ibu. Seperti yang dilansir oleh IDNTIMES, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh University of Washington, seorang ibu menurunkan kecerdasan lebih banyak, karena Ibu (perempuan) memiliki dua kromosom X, sedangkan Ayah (laki-laki) hanya memiliki satu kromosom X. Kromosom inilah yang menentukan fungsi kognitif seorang anak.
Dari hasil penelitian ini kita dapat mengambil banyak hikmah, di antaranya: kita dapat mensosialisasikan hal-hal yang berkaitan dengan perkembangan kognitif perempuan dari segala bidang, karena bagaimanapun, perempuan adalah madrasah ula bagi anak-anaknya.
Maka, doronglah ruang bagi perempuan untuk ikut berpartisipasi memajukan kualitas bangsa yang berasal dari dirinya dengan terjun langsung dalam aktifias-aktifitas sosial masyarakat; perempuan dapat hidup dengan optimisme tinggi dan mandiri; terjaminnya pendidikan bagi perempuan; meningkatnya kesejahteraan, kesetaraan, dan kesehatan fisik serta mental bagi perempuan; dan lain sebagainya.
Dan mafhum dari penelitian ini seolah-olah menafikan peran laki-laki dalam mewariskan kecerdasan untuk anak-anaknya. Eits, jangan pesimis dulu, kendati secara genetik kecerdasan kognitif anak diwariskan dari Ibu, namun kecerdasan kognitif bukanlah satu-satunya kecerdasan yang menentukan kesuksesan seseorang dalam hidup. Jika meminjam teori Danah Zohar, kecerdasan itu ada tiga jenis, yakni IQ (Intelligence Quotient), EQ (Emotional Quotient), dan SQ (Spiritual Quotient).
IQ merupakan kecerdasan kognitif yang berkaitan dengan mengingat, memahami, menganalisa, mengevaluasi, dan memecahkan masalah. Walaupun kecerdasan ini diwarisi dari Ibu, tanpa peran Ayah kecerdasan ini tidak memiliki arti apa-apa.
Ayah yang umumnya mengambil peran untuk mencari nafkah di luar rumah harus dapat memprioritaskan segala kebutuhan dasar keluarga, termasuk kebutuhan pendidikan anak-anaknya. Dengan menggunakan biaya yang dikorbankan dengan keringat sang Ayah inilah, anak dapat mengembangkan IQ-nya melalui lembaga-lembaga pendidikan yang sesuai jenjangnya.
Dan dengan peran sang Ibu pula, anak dapat memiliki waktu belajar yang berguna saat tidak berada di sekolah. Tidak melulu tentang pendidikan formal, IQ juga dapat dikembangkan dengan situasi yang dialami sang anak dalam kesehariannya sebagai pengejawantahan ilmu-ilmu yang telah dimiliki.
Seperti contoh ketika membantu orang tua dalam urusan domestik, menyuci, memasak, menyapu, semua pekerjaan dapat menjadi media untuk mengembangkan IQ tanpa kita sadari. Sehingga, tidak perlu takut untuk melibatkan anak dalam mengurus urusan domestik.
Adapun EQ merupakan kecerdasan emosi yang erat kaitannya dengan kemampuan mengontrol perasaan diri sendiri, mengenali perasaan orang lain, adaptasi, kerjasama, disiplin, tanggungjawab, dan komitmen. Orang tua memiliki andil besar dalam hal ini, mereka adalah contoh nyata untuk emosi yang anak-anak mereka miliki.
Jika ada istilah “buah jatuh tak jauh dari pohonnya,” nampaknya hal tersebut dapat dibenarkan secara teori. Emosi apa yang ditampakkan orang tua, akan sangat mudah diadaptasi oleh anak. Orang tua yang pemarah akan menjadikan anak-anak yang pemarah pula.
Orang tua yang santun akan melahirkan anak-anak yang santun pula, dan seterusnya. Walaupun tidak selalu demikian, tetapi apa yang diperlihatkan oleh orang tua ialah apa yang dianggap sebagai suatu hal yang dapat ditiru oleh sang anak.
Menurut Danah Zohar, SQ merupakan landasan yang diperlukan untuk memfungsikan IQ dan EQ secara efektif. SQ menjadi pemahaman standar moral yang pada akhirnya menentukan fungsi dari IQ dan EQ yang dimiliki.
SQ dapat berkembang maksimal jika kedua orang tua juga mengarahkan kecerdasan ini kepada anak-anaknya, dan ini dimulai dari diri pribadi orang tua dalam memberi contoh dalam kehidupan sehari-hari, yakni menerapkan dan menaati nilai-nilai yang menjadi standar kebajikan di masyarakat.
Ketiga kecerdasan ini dapat menjadi solusi bagi orang tua yang mendapatkan kesulitan dalam membantu tumbuh kembang anak. Kita sering mendapati perkelahian pasutri disebabkan sang anak, seperti nilai rapor yang buruk atau bahkan perilaku menyimpang.
Pasutri kerap menyalahkan satu dan lainnya dalam masalah yang dialami sang anak, padahal keduanya saling memiliki tanggung jawab dalam hal tersebut. Jika masing-masing pasutri dapat memahaminya dengan baik, maka mereka tidak akan berselisih, melainkan secara bersama-sama mengambil peran dalam mengambangkan, mengarahkan, dan memaksimalkan kecerdasan sang anak.
Ketiga kecerdasan ini didapatkan seorang anak dari kedua orang tuanya, dan juga dari dirinya sendiri. Mengapa dari dirinya sendiri juga? Karena sesuatu pemberian tidak akan bermanfaat jika orang yang diberikannya tidak mampu atau bahkan enggan untuk menggunakannya dengan baik. Oleh karena itu, anak yang berperan sebagai ahli waris kecerdasan-kecerdasan ini menjadi subjek utama dalam menentukan dan memaksimalkan kecerdasan yang telah diberikan oleh kedua orang tuanya.
Sehingga, ketika orang tua telah merasa cukup untuk menemaninya tumbuh dan berkembang, maka sang anak tidak lagi bergantung kepada orang tua dan dapat menentukan kebahagiaannya sendiri. Tentunya kebahagiaan yang didapatkan juga tidak melanggar norma-norma yang berlaku di masyarakat. Dengan demikian, kebahagian yang ia miliki juga menjadi kebahagiaan yang dimiliki orang lain. []