Mubadalah.id – Feminisme memang muncul di Barat, tapi penindasan tehadap perempuan terjadi di mana-mana. Termasuk di negara kita. Masalahnya, di Barat, feminisme muncul untuk menjawab masalahnya sendiri. Ia disusun dengan basis filosofis yang khas dan tertentu. Sangat mungkin tanpa mempertimbangkan dunia lain di luar Barat.
Bahwa analisa feminisme itu penting bagi kesadaran dan gerakan kesetaraan, iya tentu saja. Tapi konteks yang berbeda membuat tingkat analisanya juga berbeda. Jika dipaksa kita terapkan, tentu akan banyak yang tidak sesuai dan malah menjauhkan kita dari tujuan sejatinya, kesetaraan dan keadilan.
Salah satu ciri khas masyarakat Barat adalah kadar sekularisasinya yang cukup besar. Agama mereka pinggirkan dari ruang-ruang publik. Ini juga yang memengaruhi kenapa diskursus agama tidak muncul dalam gerakan feminisme yang mempublik di sana.
Di Indonesia, dan di negara-negara muslim lainnya, ceritanya tentu berbeda. Agama tidak bisa kita pisahkan dari ruang publik. Wacana feminisme pun tak bisa kita lepaskan dari agama. Hingga muncullah gerakan-gerakan dan kelompok feminisme Islam. Yang meyakini bahwa ajaran Islam, selain oleh beberapa pihak digunakan sebagai alat untuk menindas, juga bisa menjadi sumber bagi gerakan kesetaraan, keadilan gender, dan menghilangkan penindasan.
Tapi kita juga perlu tahu, istilah feminisme sendiri di kalangan umat Islam di Indonesia, mendapat respon yang berbeda-beda. Banyak juga dari kita umat Islam di Indonesia yang merasa, istilah itu terlalu Barat-sentris. Banyak dari kiai-kiai kita juga masih menganggap istilah feminisme mengandung arti perlawanan perempuan vis a vis laki-laki. Gerakan perempuan melawan laki-laki. Dan kesalahpahaman-kesalahpahaman lainnya.
Feminis Muslim Indonesia
Beberapa feminis muslim Indonesia kemudian mengubah strategi gerakannya menjadi lebih ramah kultur. Seperti Buya Husein Muhammad, Kang Faqihuddin Abdul Kodir dengan Mubadalah, Mba Nur Rofiah dengan Keadilan Hakiki, dan masih banyak lagi lainnya. Dalam nama dan penyebutannya, tidak ada kata-kata feminisme. Tapi dalam analisa dan semangatnya, gerakan ini tetap bersandar pada asumsi-asumsi dasar feminisme. Mau kita sebut apapun itu.
Sejauh pemahaman saya, mereka meyakini bahwa masalah penindasan perempuan bukan masalah khas Barat saja. Melainkan juga masalah umat Islam yang khas. Oleh karenanya umat Islam punya masalahnya sendiri, pergulatan, dan caranya sendiri dalam memandang, memahami, dan menyelesaikan masalah ini.
Kekhasan itu bahkan kadang tidak dimengerti oleh sebagian feminis Barat. Seperti bagaimana bisa, seorang feminis yang gigih adalah seorang muslim yang taat. Bagaimana mungkin, seorang yang memperjuangan kesetaraan masih memakai jilbab? Itu tidak masuk akal bagi mereka sama seperti kita menganggap banyak asumsi mereka yang tidak masuk akal.
Perubahan dari istilah feminisme Islam menjadi istilah-istilah “sendiri” bisa kita lihat sebagai petanda bahwa mereka terus berdialog dengan masyarakat. Munculnya “istilah sendiri” juga berarti mereka menawarkan semacam jalan tengah. Sambil menginsyafi, setelah sekian lama, ternyata istilah feminisme masih problematik untuk digunakan di Indonesia. Meski sudah “ditempeli” dengan kata Islam sekalipun. Selain karena beban kultural yang kadung dipercaya dan tak pernah bisa kita urai. Mungkin karena istilah ini memang mempunyai basis historis dan filosofisnya sendiri, yang dirasa berbeda.
Statemen Gus Yahya
Statemen Gus Yahya yang kemarin itu, seperti memecut kita bahwa sudah saatnya, isme-isme apapun, termasuk feminisme, menuju wacana baru yang semakin membumi dan terkonteks. Tidak hanya sekadar copas konsepsi, melainkan menjadi pemikiran yang selalu terkait dengan masyarakatnya. Tidak hanya terkait bahkan yang bersumber dari nilai-nilai masyarakat sendiri.
Dia seperti sedang melempar wacana post-feminisme Islam, yang sebenarnya oleh para aktivis feminis muslim Indonesia, sudah jauh-jauh hari mereka dengungkan.
Apakah memang demikian, atau saya terlalu optimis terhadap beliau. Entah. Yang pasti tantangan berikutnya dari gerakan kesetaraan ini adalah kenyataan bahwa konteks kultural itu rumit, kompleks, dan terus berkembang. Bagaimana agar upaya ini bisa terus menyentuh keragaman masyarakat, identitas, agama, etnisitas, kelas, dan sebagainya, hingga perubahan yang kita nanti-nantikan itu segara menjelang.
Sekali lagi, untuk statemen yang sedang ramai itu, akhirnya saya berpikir begini, feminisme sebagai kata, itu tidak penting. Tapi sebagai perjuangan kesetaraan perempuan dan laki-laki, itu jauh lebih penting. Itulah intinya. Perjuangan itu bagi sebagian dari kita tidak penting juga untuk kita sebut feminisme. Kita harus hormati itu. Karena apapun sebutannya, toh perjuangan kesetaraan itu sudah menjadi keniscayaan. Ia sudah menjadi panggilan hidup. Sudah “mawiji”.
Lalu, saat semangat perjuangan itu sudah mendarah, buat apa lagi kita mempermasalahkan istilah? []