Mubadalah.id – Indonesia memiliki banyak ragam suku, budaya, dan adat, keanekaragaman inilah yang membuat Indonesia menjadi indah. Pada bulan Februari tahun 2018 lalu, saya mengikuti sebuah culture camp di Kampung Adat Jalawastu, Desa Ciseureuh, Kecamatan Ketanggungan, Kabupaten Brebes. Acara ini diikuti oleh 32 peserta dari seluruh provinisi di Indonesia. Selama 3 hari 2 malam kami menginap di sana.
Sembari mengikuti training, saya mengamati kampung Jalawastu yang masih asri, alami dan ramah lingkungan. Rumah-rumah yang mereka dirikan terbuat dari kayu, tidak ada bahan campuran semen atau pasir. Alat-alat rumah tangganya pun tidak ada yang terbuat dari plastik atau kaca. Pada hal inilah yang kemudian saya soroti dalam kebudayaan masyarakat Adat Jalawastu. Yakni menjaga keseimbangan dan menjadi peradaban yang ramah lingkungan.
Peduli terhadap Lingkungan
Kepedulian terhadap lingkungan sudah jarang sekali kita temui. Kenyataannya manusia sering kali lupa bahwa dalam kehidupan mereka sangat bergantung dengan alam. Entah komponen alam yang hidup atau biotik begitu pula dengan komponen alam yang abiotik (benda mati). Akan tetapi manusia sekarang secara umum cenderung menganggap remeh pelestarian alam. Bahkan sangat tidak peduli efek yang muncul akibat perusakan alam. Baik jangka pendek maupun jangka panjang.
Dari keberadaan individu atau pun kelompok yang masih peduli dengan lestarinya lingkungan mulai minim kita jumpai. Namun, tidak bagi masyarakat yang tinggal Dukuh Jalawastu, Desa Ciseureuh, Kecamatan Ketanggungan, Kabupaten Brebes. Masyarakat yang tinggal di desa yang terkenal dengan sebutan kampung adat ini mungkin masih asing di telinga beberapa orang.
Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat kampung adat Jalawastu ini, sangat berwawasan luas tentang lestarinya lingkungan, menghargai, merawat dan sangat menjaga lingkungannya. Masyarakat adat ini mungkin dapat kita sebut sebagai “peradaban yang ramah lingkungan”. Karena dalam budaya yang ada sangat melarang untuk mengeksploitasi secara berlebihan bahkan merusak alam.
Dari latar belakang ini, sudah menjadi sesuatu yang tak asing lagi bagi masyarakat Jalawastu. Karena sejak zaman nenek moyang mereka telah diajarkan menjadi manusia yang sangat sayang dan memiliki kepedulian terhadap lingkungan. Hal itu juga sangat tercermin dalam kehidupan mereka dan dalam acara adat yang mengandung sebuah kampanye untuk cinta terhadap alam.
Upacara Ngasa: Rasa Syukur Terhadap Alam
Hal ini tercermin dalam upacara adat yang mereka adakan di kaki Gunung Kumbang, acara adat tersebut mereka namakan “Ngasa” upacara yang mereka gelar setiap satu tahun sekali. Tepatnya pada Selasa Kliwon pada Mangsa Kesanga, dan pertama kali digelar sejak masa pemerintahan Bupati Brebes IX Raden Arya Candra Negara. Upacara adat yang mereka selenggarakan ini merupakan wujud rasa syukur terhadap Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala nikmat yang telah Tuhan karuniakan.
Melansir dari m.liputan6.com terhadap Pemangku Adat Jalawastu, Dastam menyampaikan, “di daerah pantai ada sedekah laut, di tengah-tengah ada sedekah bumi. Kami yang di sini boleh kita katakan sebagai sedekah gunung.” Pada jaman dahulu upacara ini sebagai wujud rasa syukur terhadap Batara Windu Buana yang dianggap sebagai pencipta alam. Namun, dengan seiring masuknya Islam acara di Jalawastu ini banyak mereka sisipkan unsur islam dalam acara tersebut.
Acara yang mereka gelar pada pagi hari ini bertempat di Pesarean Gedong. Semua orang berbondong-bondong menuju pesarean tersebut. Di awali oleh langkah ibu-ibu yang membawa rantang-rantang seng, dan diikuti para tetua serta juru kunci yang memakai pakaian serba putih. Lalu sesampainya di Pesarean beberapa laki-laki menggelar tikar. Sementara ibu-ibu menempatkan makanan secara berjajar dan melangsungkan upacara adat tersebut.
Patuh pada Pantangan Rumah tanpa Semen
Namun, yang menjadi menarik dalam upacara ini adalah masyarakat di Jalawastu pantang untuk makan nasi. Jadi yang mereka sajikan dalam acara ini merupakan jagung yang dihaluskan. Di mana jagung merupakan makanan pokok sehari-hari masyarakat. Selain itu masyarakat juga pantang untuk makan daging dan ikan. Jadi yang tersaji dalam acara tersebut adalah lalapan dedaunan,umbi-umbian, pete, terong, sambal dan lain-lain. Dan dalam acara tersebut tidak ada peralatan makan yang terbuat dari kaca. Hanya ada piring, sendok, capon, dan rantang yang terbuat dari seng atau dedaunan.
Dalam upacara adat ini ada sebuah contoh konkrit dan teladan yang patut kita contoh. Mereka melakukannya secara perorangan maupun berkelompok. Yakni masyarakat yang terlibat pelestarian alam. Pembelajaran yang patut kita contoh adalah tidak adanya plastik dalam acara ngasa tersebut. Banyak orang sekarang yang berpandangan bahwa tak dapat hidup tanpa plastik. Namun, masyarakat Jalawastu berhasil membuktikan bahwa tetap bisa hidup tanpa menggunakan plastik. Inilah yang patut untuk menjadi panutan bagi setiap orang.
Sedangkan sebagai bentuk kepedulian alam, masyarakat Jalawastu bukan hanya itu. Mereka memiliki sebuah pantangan yang masih dianut sampai sekarang. Yakni dalam membangun rumah di Jalawastu tidak boleh menggunakan semen, keramik, dan genteng. Menurut berita di Kumparan.id alasan tidak menggunakan bahan-bahan tersebut dalam pembuatan rumah adalah pantangan itu sudah mereka yakini selama ratusan tahun secara turun temurun.
Terdampak Industri Semen
Masyarakat di Jalawastu meyakini bahwa membangun rumah tanpa menggunakan semen dan keramik dapat mencegah terjadinya bencana longsor. Mengingat mereka tinggal di perbukitan gunung Kumbang. Alasan lainnya terkait dengan geografis Dukuh Jalawastu yang jauh dari peradaban. “Jadi dulu semen dan keramik itu salah satu barang yang wah, lalu belinya juga jauh, ngangkutnya susah. Maka orang sini menyebut ‘udah pamali’ gitu aja,” hasil wawancara tim kumparan.id dengan warga yang ingin membangun rumah dengan menggunakan semen. Dia diperbolehkan asal pindah ke kampung sebelah.
Mungkin dengan adanya, pantangan seperti itu ada yang menilai bahwa itu hanya akan membuat masyarakat jauh tertinggal dari kemajuan zaman. Tapi, bila kita tengok dari sisi lain pantangan ini akan secara tidak langsung membawa dampak yang luar biasa. Karena masyarakat Jalawastu akan mengurangi penggunaan semen, dan akan mengurangi dampak yang timbul dari industri semen.
Masyarakat Jalawastu juga menjadi daerah yang terdampak industri semen. Seperti penurunan kualitas kesuburan, kualitas air yang buruk akibat limbah cair, volume debit air yang berkurang, pencemaran udara dari sisa proses produksi semen. Berkurangnya flora fauna dan masih banyak lagi. Masyarakat Jalawastu bisa berperan karena sama sekali tidak menggunakan semen.
Dari sekian banyak hal yang masyarakat Jalawastu miliki, patut halnya bila mereka kita sebut sebagai “Peradaban yang Ramah Lingkungan”. Begitu pula peradaban ini juga bisa menjadi acuan dan menjadi contoh seluruh peradaban yang ada di Indonesia bahkan di Dunia. Walau mungkin dalam pandangan lain mereka jauh tertinggal dengan peradaban lainnya yang jauh melesat dalam sebagai peradaban yang maju dan modern. Kita patut bangga dengan adanya kampung adat Jalawastu yang begitu ramah terhadap lingkungan dan masih setia menjadi perumat alam di sekitarnya. (bebarengan)