• Login
  • Register
Rabu, 21 Mei 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Publik

Menggali Makna Tradisi Tedhak Siten, Benarkah Tidak Islami?

Tradisi tedhak siten merupakan upacara tradisi yang dilaksanakan ketika seorang anak menginjak tanah untuk pertama kali. Biasanya ketika berusia 7 lapan (bulan dalam kalender Jawa) atau 8 bulan menurut kalender Masehi

Hilda Rizqi Elzahra Hilda Rizqi Elzahra
29/01/2023
in Publik, Rekomendasi
0
Tradisi Tedhak Siten

Tradisi Tedhak Siten

946
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Setiap orang tua di dunia ini memiliki harapan yang baik untuk anak-anaknya. Hal ini yang terdapat dalam simbol tradisi tedhak siten, orang suku Jawa memiliki banyak upacara tradisi dalam setiap fase hidupnya, dari sebelum dilahirkan hingga setelah wafat. Salah satunya yaitu tedhak siten yang biasa terkenal dengan mudhun lemah atau turun tanah. Lantas, apakah benar tedhak siten tidak islami?

Tradisi tedhak siten merupakan upacara tradisi yang dilaksanakan ketika seorang anak menginjak tanah untuk pertama kali. Biasanya ketika berusia 7 lapan (bulan dalam kalender Jawa) atau 8 bulan menurut kalender Masehi. Pada fase ini, biasanya sudah mulai duduk, merangkak, berdiri dan belajar berjalan Anak juga mulai bisa memilih apa yang menjadi daya tarik di tangannya.

Namun sekarang, tradisi ini sudah hampir tidak ada yang melestarikannya dengan dalih itu hanyalah sebuah tradisi nenek moyang saja dan tidak ada dalam aturan syariat islam. Secara bahasa, Tedhak berarti turun atau menginjak, sedangkan Siten berasal dari kata siti yaitu tanah. Lebih dari itu, tradisi ini terlaksana dengan tujuan sebagai bentuk rasa syukur orangtua.

Akulturasi Budaya

Tedhak siten ini sebagai salah satu dari bentuk akulturasi budaya dan agama yang mana sudah menjadi komitmen antara Syekh Subakir dan Ki Semar. Ketika Syekh Subakir menyampaikan maksud kedatangan beliau ke tanah Jawa guna menyebarkan ajaran Islam. Agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad sebagai pamungkas agama samawi. Kemudian Ki Semar pun memperbolehkan Syekh Subakir untuk menyebarkan agama Islam di tanah yang ia lindungi.

Namun, dengan beberapa syarat. Salah satunya adalah tidak boleh mengubah tradisi orang Jawa menjadi orang yang kearab-araban. Biarkanlah padi tetap ditanam di sawah dan kurma tetap ditanam di padang pasir. Orang Jawa harus tetap menjadi Jawa dengan segala budi pekerti dan kepribadian asli orang Jawa.

Baca Juga:

Tana Barambon Ambip: Tradisi yang Mengancam Nyawa Ibu dan Bayi di Pedalaman Merauke

Filosofi Bunga Telur, Tradisi Suku Melayu di Kalimantan Barat

Ketupat dalam Tradisi Jawa: Antara Simbol Rukun Islam dan Upaya Penyucian Diri

Indonesia Butuh Renaissance untuk Bangkit dari Stagnasi

Pada umumnya, masyarakat yang masih melestarikan tradisi ini adalah masyarakat yang berada di wilayah Jawa Tengah, Jawa Timur dan Daerah Istimewa Jogjakarta. Ciri khusus dalam tedhak siten adalah anak kita tuntun untuk menginjak jaddah sebanjak tujuh piring yang masing-masing kita beri warna yang berbeda.

Berikut prosesi tedhak siten menurut Bratawidjaya :

1. Mensucikan kaki bayi

Dalam prosesi ini orangtua menggendong anaknya untuk kita cuci bersih kakinya sebelum menginjakkan kaki ke jaddah. Kegitan ini memiliki makna bahwa sebelum mulai menapaki kehidupan yang perlu anak lakukan dengan suci hati.

2. Menapaki jaddah

Ketika anak menapaki jaddah yang berjumlah 7 macam warna. Jaddah terbuat dari beras ketan yang lengket di kaki melambangkan kesulitan. Sedangkan Tujuh dalam bahasa Jawa pitu, angka pitu bermakna pitulung dengan harapan si anak kelak dalam mengatasi kesulitan hidup selalu mendapat pertolongan dari Allah.

3. Menaiki dan menuruni anak tangga

Setelah itu, anak kita tuntun untuk menaiki dan menuruni tujuh anak tangga yang terbuat dari tebu dihiasi dengan kertas warna-warni atau janur. Esensi dari proses menapaki tangga ini adalah kelak anak dapat melewati fase naik turunnya kehidupan, dan tebu melambangkan kemantapan tekad dalam menggapai cita-citanya karena tebu berasal dari kerata basa antebing kalbu, yang berarti kemantapan dan ketenangan hati.

4. Dimasukkan dalam kurungan ayam

Anak kita masukkan dalam kurungan ayam yang terbuat dari bambu dan kita hiasi dengan kertas warna-warni, bunga atau janur. Kurungan ini melambangkan dunia yang fana dengan berbagai gemerlap di dalamnya.

5. Disuguhi Bokor dan Memilih Barang didalamnya

Bokor tersebut berisi macam-macam benda yang kemudian kita dekatkan dengan anak. Tujuannya agar dapat salah satu dari benda tersebut. Di antaranya adalah tasbih, alat tulis, uang, cermin dan lain-lain. Dengan berbagai macam jenis isian yang ada dalam bokor, melambangkan dunia dengan berbagai pilihan di kemudian hari. Barang yang anak pilih melambangkan profesi, namun ini hanyalah sebagai syarat lambang saja.

6. Udik-udikan

Menyebar beras kuning dan uang logam Beras kuning yang kita campur dengan uang logam kemudian kita taburkan di hadapan anak-anak atau masyarakat setempat. Hal ini memiliki makna pengharapan orangtua bahwa kelak setelah memiliki profesi, anak akan menjadi orang yang dermawan. Penyebaran uang logam ini orangtua lakukan dan diniatkan sebagai sedekah.

Dalam prosesi ini, seperti yang umat salaf lakukan, yang terkenal dengan istilah al-ihtifal bihadzaq al-shibyan, atau merayakan kepintaran anak. Seperti yang Imam Hasan al-Bashri kemukakan, bahwa merayakan kepintaran anak hukumnya boleh, dengan menebar kacang-kacangan, memberikan uang, atau menyembelih hewan untuk mengundang orang makan bersama.

7. Mandi Bunga Setaman

Setelah itu, anak kita mandikan dengan air yang telah kita beri bunga setaman (macam-macam bunga) yang sudah didoakan oleh tokoh agama setempat. Harapannya, kelak anak akan dapat mengharumkan nama keluarga, bangsa dan agamanya.

8. Memakai Baju Adat

Setelah mandi bunga setaman, anak kita dandani dengan pakaian yang baik dan bersih. Hal ini melambangkan agar si bayi kelak dapat menjadi seseorang yang terhormat sesuai dengan peribahasa Jawa yaitu ajining rogo soko busono, ajining bongso soko budoyo. Kewibawaan diri kita pandang dari pakaian dan kehormatan bangsa kita pandang dari budaya.

Lantas, bolehkah tedhak siten dilaksanakan?

Mengutip dalam kitab Fashsh Al-Khawatim Fima Qila fi Al-Wala-im ;

الاحتفال بحذاق الصبيان:وروى الدوري في جزئه عن أبي بكر الهذلي قال: سألت الحسن يعني البصري وعكرمة عن الصبي نبتت أسنانه فينثر عليه الجوز، فقالا: حلال.. قال الحسن رضي الله عنه: كانوا إذا حذق الغلام قبل اليوم نحروا جزوراً، واتخذوا طعاماً

Merayakan kepintaran anak-anak; Al-Dauri meriwayatkan dari Abu Bakr Al-Hudzali, dia berkata;

Aku bertanya kepada Al-Hasan Al-Bashri dan Ikrimah mengenai seorang anak yang sudah tumbuh giginya. Kemudian dilemparkan kacang-kacangan padanya. Mereka berdua menjawab; Halal. Imam Al-Hasan Al-Bashri berkata; Jika anak sudah pintar, mereka menyembelih kambing kemudian mereka membuat makanan.

Selama prosesi tedhak siten, anak kita tuntun oleh orangtuanya. Hal ini melambangkan do’a dan  dukungan keluarga untuk anak dalam menjalani hari-harinya kedepan. []

Tags: BudayaislamiJawaNusantaraTedhak SitenTradisi
Hilda Rizqi Elzahra

Hilda Rizqi Elzahra

Mahasiswi jelata dari Universitas Islam Negeri Abdurrahman Wahid, pegiat literasi

Terkait Posts

Peran Aisyiyah

Peran Aisyiyah dalam Memperjuangkan Kesetaraan dan Kemanusiaan Perempuan

20 Mei 2025
Peluang Kerja bagi Penyandang Disabilitas

Ironi Peluang Kerja bagi Penyandang Disabilitas: Kesenjangan Menjadi Tantangan Bersama

20 Mei 2025
Bangga Punya Ulama Perempuan

Saya Bangga Punya Ulama Perempuan!

20 Mei 2025
Nyai Nur Channah

Nyai Nur Channah: Ulama Wali Ma’rifatullah

19 Mei 2025
Nyai A’izzah Amin Sholeh

Nyai A’izzah Amin Sholeh dan Tafsir Perempuan dalam Gerakan Sosial Islami

18 Mei 2025
Inses

Grup Facebook Fantasi Sedarah: Wabah dan Ancaman Inses di Dalam Keluarga

17 Mei 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Bangga Punya Ulama Perempuan

    Saya Bangga Punya Ulama Perempuan!

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • KB Menurut Pandangan Fazlur Rahman

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • KB dalam Pandangan Islam

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mengenal Jejak Aeshnina Azzahra Aqila Seorang Aktivis Lingkungan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Rieke Diah Pitaloka Soroti Krisis Bangsa dan Serukan Kebangkitan Ulama Perempuan dari Cirebon

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Peran Aisyiyah dalam Memperjuangkan Kesetaraan dan Kemanusiaan Perempuan
  • KB dalam Pandangan Riffat Hassan
  • Ironi Peluang Kerja bagi Penyandang Disabilitas: Kesenjangan Menjadi Tantangan Bersama
  • KB Menurut Pandangan Fazlur Rahman
  • Saya Bangga Punya Ulama Perempuan!

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Go to mobile version