“Kenapa yang berbeda dianggap aneh? Jika semua makhluk ciptaan Tuhan adalah sempurna maka penyandang disabilitas bukan berarti cacat kan?”
Mubadalah.id – Bersyukurlah kita yang masih memperoleh karuniai anggota tubuh sebagaimana fungsinya. Mata yang senang melihat pemandangan indah. Tangan yang gemar bermain lato-lato. Kaki yang bebas berjalan-jalan ke mana pun kita mau. Telinga yang suka alunan musik sampai tidak jarang kita ikut bernyanyi. Itu semua nikmat yang terkadang kita lupa dan baru tersadar saat kita sakit. Hingga lambat menyadari makna kemanusiaan di sekitar kita.
Pernahkah kita berpikir tentang perbedaan kemampuan orang lain atas kenikmatan tersebut? Disabilitas adalah kondisi fisik, mental, intelektual dan/atau sensorik yang seseorang alami dalam jangka waktu lama yang membatasi interaksi dan aktivitas sehari-hari.
Seringkali kita menjumpai di masyarakat masih menyebut disabilitas dengan “cacat”. Sebutan tersebut sesungguhnya tidak manusiawi. Kata “cacat” terkesan negatif, rusak, tidak berguna, tidak normal. Penyebutan “cacat” pada seseorang tidak hanya akan menimbulkan dampak psikologis seperti sedih dan rendah diri, akan tetapi juga memicu munculnya diskriminasi bahkan kekerasan.
Penyandang disabilitas kadang masih kita nilai dari apa yang terlihat, bukan dari bagaimana kinerja mereka. Tidak semua penyandang disabilitas bisa bersekolah, kekhawatiran akan perundungan (bullying), akses ke sekolah luar biasa (SLB) yang jauh dari tempat tinggal masih menjadi alasan orang tua untuk tidak menyekolahkan anak berkebutuhan khusus. Mereka lebih memilih untuk berdiam di rumah.
Belajar dari Nabi, Gus Dur dan Naja
Islam sebagai agama pembawa rahmat bagi semesta sangat menghormati penyandang disabilitas. Kita dapat belajar dari kisah Abdullah bin Umi Maktum seorang tuna netra saat mendatangi Nabi Muhammad untuk memohon bimbingan Islam. Namun saat itu Nabi mengabaikannya karena sedang sibuk mengadakan rapat bersama petinggi kaum Quraisy membahas perihal yang menyangkut nasib kaum muslimin secara umum. Kemudian Allah menegur Nabi dengan turunnya surat ‘Abasa sebagai peringatan agar memperhatikan penyandang disabilitas.
Indonesia pernah dipimpin oleh presiden penyandang disabilitas yaitu alm. KH. Abdurrahman Wahid yang nama beliau akan selalu dikenang di hati rakyat Indonesia dan dunia berkat pengabdian yang luar biasa pada negara. Setiap bulan puasa kita juga kagum dengan salah satu acara TV yang mana para hafidz cilik melantunkan ayat suci Al-Qur’an.
Muhammad Naja Hudia Afifurohman adalah salah satu peserta hafidz Indonesia dengan penyandang disabilitas yang divonis dokter menderita lumpuh otak (cerebral palsy). Kemampuan Naja dalam menghafal ayat, nama surat bahkan letak halaman membuat kita takjub. Subhanallah. Naja bukan anak dengan kondisi kekurangan tetapi adalah salah satu bentuk kebesaran Allah.
Pembedaan perlakuan yang diterima para penyandang disabilitas sangat perlu untuk kita ubah dengan lebih baik melalui inklusi sosial. Yaitu menciptakan dan melibatkan mereka dalam lingkungan ramah disabilitas. Beberapa hal yang bisa kita lakukan untuk membuat masa depan yang lebih inklusif.
Inklusi Sosial
Pertama, mengubah cara pandang dan akhlak yang baik kepada disabilitas
Prasangka buruk pada penyandang disabilitas semakin membuat mereka terpinggirkan dari masyarakat. Penyandang disabilitas yang membutuhkan dukungan dan bantuan bukan berarti mereka lemah. Kita perlu menunjukkan makna kemanusiaan dengan bersikap adil, bukan hanya belas kasihan. Yakni dengan mengubah pola pikir bahwa penyandang disabilitas adalah sesama manusia dan warga negara yang hak asasi mereka juga harus kita hormati.
Kedua, melibatkan penyandang disabilitas di semua bidang
Menyelesaikan isu ketidakadilan pada disabilitas bukan hanya menjadi PR negara. Tetapi praktik di masyarakat juga harus mendukungnya dengan menciptakan keragaman organisasi dan kesetaraan yang lebih baik. Hukum telah mengatur bahwa instansi pemerintah harus memperkerjakan penyandang disabilitas paling sedikit 2%. Sedangkan perusahaan minimal 1% dari seluruh jumlah pegawai. Keikutsertaan penyandang disabilitas akan membuat mereka semakin berdaya.
Ketiga, mendengar dan memahami kebutuhan penyandang disabilitas
Penyediaan fasilitas publik perlu disesuaikan dengan jenis disabilitas yang berbeda-beda. Hal ini merupakan usaha menghilangkan hambatan fisik dan sosial. Misalnya penyediaan informasi melalui akses suara bagi tuna netra, khutbah salat melalui juru bahasa isyarat dan text screen bagi tuna rungu dan tuna wicara. Pemberian waktu ujian yang lebih panjang. Tata letak atau desain bangunan yang memudahkan tuna daksa.
Tentunya kita sangat hafal dengan Sila kedua Pancasila “Kemanusiaan yang adil dan beradab”. Namun sudahkah kita menerapkannya termasuk kepada penyandang disabilitas? Semua makhluk adalah sama, yang membedakan adalah ketakwaan seorang hamba kepada Sang Pencipta. Jadi, membangun kesadaran disabilitas (disability awareness) adalah awal dari ikhtiar menemukan makna kemanusiaan menjadi manusia yang bermanfaat bagi sesama. []