Syarat keadilan yang secara eksplisit disebutkan al Qur’an cenderung diabaikan oleh pandangan ini
Mubadalah.Id-Berikut ini akan menjelaskan tentang poligami perspektif Muhammad Abduh. Poligami merupakan problem sosial klasik yang selalu menarik diperbincangkan dan diperdebatkan di kalangan masyarakat di mana saja, termasuk atau di dunia Islam modern.
Perdebatan wacana poligami di kalangan kaum muslim selalu berakhir tanpa pernah melahirkan kesepakatan. Ia selalu memunculkan pandangan yang kontroversial. Paling tidak ada tiga pandangan hukum mengenai kasus ini. Pertama pandangan yang membolehkan poligami secara longgar.
Dengan kata lain poligami dibolehkan secara mutlak tanpa syarat. Sebagian dari pandangan ini bahkan menganggap poligami sebagai “sunnah”, yakni mengikuti perilaku Nabi Muhammad Saw. Syarat keadilan yang secara eksplisit disebutkan al Qur’an cenderung diabaikan oleh pandangan ini.
Pandangan kedua membolehkan poligami secara ketat dengan menetapkan sejumlah syarat, antara lain terutama keharusan suami berbuat adil. Keadilan dalam hal ini adalah keadilan formal-distributif, yakni pemenuhan hak ekonomi dan hak seksual (gilir) para isteri secara (relatif) sama serta keharusan mendapat izin isteri.
Tiga syarat ini merupakan hal-hal yang dapat diidentifikasi. Keadilan substantif, yang dalam hal ini adalah cinta, kasih sayang dan aspek psikologis lainnya tidaklah menjadi perhatian yang memadai, karena dianggap sesuatu yang tidak mungkin. Ketiga, pandangan yang melarang poligami secara mutlak (tegas).
Poligami Perspektif Muhammad Abduh
Tokoh Islam modernis terkenal Muhammad Abduh berpendapat bahwa pemerintah dapat memutuskan untuk melarang Poligami, jika terbukti menyengsarakan banyak orang. Ia menyampaikan argumen yang menarik. Katanya :
أما اولا : فلان شرط التعدد هو التحقق من العدل , وهذا الشرط مفقود حتما, فإن وجد فى واحد من المليون فلا يصح ان يتخذ قاعدة , ومتى غلب الفساد على النفوس وصار من المرجح أن لا يعدل الرجال فى زوجاتهم جاز للحاكم ان يمنع التعدد أو العالم ان يمنع التعدد مطلقا , مراعاة للاغلب. وثانيا : قد غلب سوء معاملة الرجال لزوجاتهم عند التعدد وحرمانهم من حقوقهن فى النفقة والراحة , ولهذا يجوز للحاكم وللقائم على الشرع أن يمنع التعدد دفعا للفساد الغالب
“Pertama, syarat poligami adalah keadilan. Syarat ini jelas tidak bisa terpenuhi. Kalaupun ada seorang yang bisa berlaku adil di antara juta orang tidak bisa, maka hal itu tidak bisa dijadikan dasar kebolehan. Manakala kerusakan sosialnya meluas dan menurut pendapat umum bahwa banyak orang yang tidak bisa bertindak adil, maka hakim (pemerintah) bisa melarang poligami, atau boleh bagi orang alim untuk melarang poligami secara mutlak karena mempertimbangkan suara (opini) publik yang mayoritas.
Kedua : Secara umum poligami menimbulkan relasi suami-isteri yang buruk. Para isteri biasanya tidak memperoleh hak-haknya baik nafkah maupun kesenangan. Oleh karena itu, boleh bagi hakim (pemerintah) dan penegak hukum untuk melarang poligami guna melindungi akibat negatif yang meluas”.
(Baca : Nashr Hamid Abu Zaid, Dawair al Khawf, Qira-ah fi Khithab al Mar-ah”, hlm. 220. Abu Zaid mengutip pernyataan Abduh ini dari tulisannya di “al A’mal al Kamilah”, II hlm. 84-95).
Demikian penjelasan terkait poligami perspektif Muhammad Abduh. Seorang ulama modernis yang sangat besar penguasaan terhadap literaturnya. [Baca juga; Mengenal Al-Qasimi: Pengarang Kitab Tafsir Mahasin At-Ta’wīl]