Mubadalah.id – Perhelatan tentang Muktamar Pemikiran Mahasantri se-Indonesia yang digelar di Nurul Jadid amat luar biasa. Kendatipun masih perdana, namun mengindikasikan semangat tinggi untuk menyongsong dan menyebarluaskan autentisitas pemikiran mahasantri. Peserta yang hadir lintas pulau dari Aceh, Sulawesi dan Jawa, semuanya tergabung untuk mendiskusikan 20 naskah yang telah terseleksi.
Tidak kalah urgen, pentingnya kontribusi pemikiran mahasantri untuk mewarnai dunia literasi di negeri ini. Mereka tidak hanya menguasai wacana tentang keislaman namun mampu mendialektikakan dengan realitas dan pemikiran barat.
Kami sebagai salah satu panelis merasa terhormat ketika berada di tengah mahasantri untuk berdiskusi dan bertukar pikiran. Di antaranya adalah nasionalisme sebagaimana diangkat oleh Salma Daffa Imania sebagai delegasi Ma’had Aly As’adiyah Sengkang, yang bertajuk, “Hifdzu Wathan dan Korelasi dari Sikap Nasionalisme dengan Semangat Pendidikan Mahasantri Ma’had Aly As’adiyah Sengkang (Studi Penafsiran Tafsir Al-Misbah)”.
Saat diskusi berlangsung, salah satu peserta mengacungkan tangan untuk bertanya kepada panelis menyangkut teknik penggalian dalil yang Prof. M Quraish Shihab lakukan ketika menginterpretasikan ayat ummatan wasathan sebagai salah satu landasan nasionalisme. Sebagaimana termaktub dalam QS. AL-Baqarah (2): 143.
Sudah barang tentu jawabannya sesungguhnya sangat sederhana. Yaitu klarifikasi langsung kepada yang bersangkutan (Quraish Shihab). Tetapi, jawaban demikian merupakan apologis semata. Di sisi lain, panelis sebagai pengusung ide untuk mengangkat tema tersebut memiliki beban moral untuk menjawab pertanyaan tersebut. Hingga pada akhirnya terlimpahkan kepada peserta lain agar diskusi mengalir.
Tafsir Ayat Ummatan Wasthan
Kebetulan kami diberikan kesempatan untuk menjawab pertanyaan yang mencuat. Namun sebelum menjawab ada beberapa hal yang perlu kita garis bawahi menimbang jawaban-jawaban yang sudah mereka ajukan sebelumnya. Pertama, kita sepakat bahwa ayat tentang ummatan wasathan merupakan ayat yang universal. Artinya, ayat itu tidak hanya membicarakan nasionalisme.
Kedua, kita akan sepakat bahwa nasionalisme sesungguhnya merupakan fitrah manusiawi. Siapa pun akan mencintai tanah airnya sendiri lebih-lebih tanah di mana ia terlahirkan. Orang Madura, misalnya, cenderung akan mencintai tanah Madura. Karena fitrah manusiawi maka tidak jarang nasionalisme terkadang menjelma fanatisme yang berlebihan sehingga mengabaikan daerah lain yang juga bagian dari bumi Tuhan.
Hal ini selaras dengan salah satu sabda Nabi yang juga Imam al-Ghazali kutip, “Cintamu pada sesuatu bisa membutakan dan membuat tuli”. au Kama Qala.
Jika kita menelisik sejarah, betapa orang-orang Makkah merasa berat hati meninggalkan tanah kelahirannya Makkah menuju Madinah, sehingga tidak sedikit ayat maupun hadis Nabi yang memotivasi para sahabat untuk hijrah dan meninggalkan kota kelahirannya. Bahkan Nabi sendiri pun sesungguhnya keberatan meninggalkan kota Makkah.
Namun lantaran demi Agama para sahabat merelakannya. Suasana yang sama, bisa kita rasakan ketika membaca sejarah perihal pengumuman untuk melakukan haji. Di mana orang-orang Makkah yang tinggal di Madinah bersorak-sorai bahagia karena akan bernostalgia dengan tanah kelahirannya dan bersua dengan sanak saudara. Maka tak mengherankan misalnya, ketika Nabi Muhammad memutuskan membatalkan haji pada tahun tersebut dan mengadakan perjanjian dengan musyrik Makkah.
Potensi Fanatisme
Dengan adanya potensi fanatisme itulah, maka ayat Ummatan Wasathan menjadi landasan nasionalisme untuk bertindak proporsional. Dalam arti menanamkan nasionalisme sesuai standar syariat. Bukanlah nasionalisme, misalnya, jika bangsa kita menjajah bangsa lain dan kita turut mendukungnya atas nama nasionalisme?
Selain ayat di atas, Salma Daffa Imania juga menukil tafsir Quraish Shihab tentang nasionalisme yang tertera dalam surah al-Baqarah [2]: 126.
وَإِذۡ قَالَ إِبۡرَٰهِـۧمُ رَبِّ ٱجۡعَلۡ هَٰذَا بَلَدًا ءَامِنٗا وَٱرۡزُقۡ أَهۡلَهُۥ مِنَ ٱلثَّمَرَٰتِ مَنۡ ءَامَنَ مِنۡهُم بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأٓخِرِۚ [البقرة: 126]
“Dan ingatlah Ketika Nabi Ibrahim berdoa dengan berdoa, “Wahai Tuhanku! Jadikanlah negeri (Makkah) ini, negeri yang aman sentosa dan berikanlah rezeki dari jenis buah-buahan kepada penduduknya, yaitu orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat di antara mereka” (QS. Al-Baqarah [2]: 126).
Menurutnya, ayat ini bukan saja mengajarkan agar berdoa untuk keamanan dan kesejahteraan kota Makkah, tetapi juga mengandung isyarat tentang perlunya setiap muslim berdoa untuk keselamatan dan keamanan wilayah tempat tinggalnya, dan agar penduduk nya memperoleh rezeki yang melimpah.
Dalam kajian usul fikih ada konsep dalalah yang bersangkut paut dengan ketentuan istinbath (menggali) pemahaman dari suatu nash. Kajian dalalah tersebut hanya berkaitan dengan rangkaian teks secara utuh bukan dipandang dari kata per-kata. Dalam metode istinbath ini ada dua aliran yang mewarnai yaitu aliran Mutakllimin dan aliran Hanfiyah atau Fuqaha.
Aspek Mantuq dan Mafhum
Menurut aliran Mutakallimin dalam menggali suatu pemahaman dari teks bisa dilihat dari dua aspek; mantuq dan mafhum. Al-Jalal al-Mahally saat memberikan penjelasan terhadap kitab Jam’u al-Jawami’ mendefinisikan mantuq dan mafhum sebagai berikut.
Gampangnya, mantuq merupakan makna yang ditunjuk secara langsung oleh teks atau lafal sedangkan mafhum adalah sebaliknya. Dengan kata lain, mantuq adalah penunjukan teks secara eksplisit dan mafhum secara implisit.
Berkaitan dengan QS. Al-Baqarah [2]: 126 dan QS. Ibrahim [14]: 35, Kiai Afifuddin Muhajir, sebagaimana saya kutip dari maalysitubondo.ac.id, melihat bahwa ayat tersebut secara iltizam menunjukkan bahwa mendoakan keamanan negara merupakan bukti nyata yang terefleksikan dari kecintaan seseorang pada negaranya. Hal itu, sebagaimana disampaikan oleh Kiai Afifuddin Muhajir.
دل على ذلك بالالتزام. أي الدعاء له يستلزم حبه كيف يدعو له بخير وهو لا يحبه بل يكرهه؟
“Ayat itu menunjukkan bahwa cinta pada negara secara niscaya. Artinya, mendoakan baik suatu negara meniscayakan bahwa orang itu mencintai negaranya. Sebab, bagaimana mungkin seseorang mendoakan akan kebaikan negaranya jika tidak mencintainya bahkan membencinya?”.
Dalam metode istinbath aliran Hanafiyah maka formulasi tafsir yang Kiai Afifuddin Muhajir gunakan masuk dalam kategori dalalah isyarah. Yaitu makna yang tidak bisa segera kita pahami dari lafal-lafalnya. Selain itu juga tidak dimaksudkan dari redaksinya, tetapi ia merupakan makna lazimnya atau konsekuensi logisnya bagi makna yang segera kita pahami dari redaksi lafad tersebut.
Dalam konteks mendoakan Negara sebagaimana ayat yang Kiai Afifuddin Muhajir kutip, maka makna yang langsung kita pahami adalah Nabi Ibrahim berdoa untuk Negaranya agar diberi keamanan, dan dihindari dari hal-hal yang membahayakan. Sementara itu, makna konsekuensi logisnya adalah Nabi Ibrahim mencintai Negaranya. []