Mubadalah.id – Menikah adalah sarana bagi seseorang untuk melakukan kebaikan, tetapi juga bisa berubah menjadi sarana melakukan keburukan.
Di dalam fikih, hukum menikah bisa haram jika tujuannya melakukan keburukan. Karena menikah adalah sarana, maka ia tidak disejajarkan dengan praktik ibadah agama seperti shalat, puasa, zakat, dan haji.
Menikah bisa disebut sebagai ibadah, jika dimaknai sebagai sarana yang kondusif bagi suami atau istri untuk melakukan hal-hal baik yang diperintahkan agama.
Oleh karenanya, menikah tidak bisa kita sebut sebagai separuh agama dalam arti ibadah ritual sebagaimana shalat dan puasa.
Sebab, maksud din dalam teks hadis adalah komitmen, tanggung jawab, dan amanah untuk mu’asyarah bi al-ma’ruf dengan pasangan yang ia nikahi.
Seseorang yang menikah dan memperoleh pasangan yang saleh/salihah itu baru mendapatkan separuh modal untuk menjalankan komitmen tersebut.
Sehingga ia masih memerlukan separuh yang lain dari hidupnya sendiri agar menjadi satu modal utuh untuk komitmen yang kokoh.
Perempuan salihah adalah separuh modal dan laki-laki saleh adalah separuh modal. Jika keduanya bergabung maka akan menjadi satu modal yang utuh dan sempurna dalam mengelola kehidupan rumah tangga.
Kebaikan dan kemaslahatan adalah fondasi dan kompas yang memandu jalannya biduk rumah tangga agar sampai pada tujuan pernikahan, yaitu kebaikan dunia (fi al-dunya hasanah) dan kebaikan akhirat (fi al-akhirah hasanah).*
*Sumber: tulisan Faqihuddin Abdul Kodir dalam buku Perempuan (Bukan) Makhluk Domestik.