• Login
  • Register
Senin, 21 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom

Membangun Solidaritas untuk Perdamaian

Mubadalah Mubadalah
19/10/2022
in Kolom
0
Membangun Solidaritas untuk Perdamaian

Membangun Solidaritas untuk Perdamaian

50
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.Id– Artikel ini akan membahas tentang membangun solidaritas untuk perdamaian. Manusia diciptakan di bumi ini tidak lain adalah untuk saling sayang-menyayangi, mengasihi dan saling tolong menolong (At-Taubah:71). Termasuk manusia diciptakan sebagai perempuan dan laki-laki, berbangsa-bangsa dan bersuku-suku juga tidak lain adalah untuk berbagi kasih sayang dan saling mengenal (Al-Hujarat:13).

Maka dari itu, sebagai manusia yang mempunyai naluri kasih sayang selalu memberikan bantuan kepada saudaranya yang sedang membutuhkan. Misalkan tetangganya sakit, lapar, atau terkena musibah. Maka secara naluriah sifat untuk menolong itu pasti akan muncul. Disitulah kekuatan manusia dalam membangun hubungan sosial kemasyarakatan atau dalam istilah lain disebut solidaritas antar sesama.

Membangun Solidaritas untuk Perdamaian

Secara harfiah solidaritas adalah kebersamaan, kekompakan, atau tenggang rasa. Sedangkan secara istilah solidaritas adalah perasaan atau ungkapan individu atau kelompok yang dibentuk oleh kepentingan dan tujuan bersama. Nabi Muhammad Saw. memberikan gambaran bahwa solidaritas antar masyarakat seperti bangunan yang saling terkait satu sama lain, dimana satu rangkaian bangunan memperkuat rangkaian bangunan yang lain.

Sama halnya dengan tubuh manusia, ketika bagian dari tubuh kita ada yang sakit maka semua anggota tubuh kita akan ikut merasakan. Sisi kemanusiaan ini yang mestinya selalu dikedepankan dalam membangun hubungan yang harmonis antar sesama, bahkan dengan mengedepankan solidaritas akan tercipta kedamaian dalam diri manusia, bernegara, dan beragama.

Dalam konteks kehidupan di Indonesia, upaya tenggang rasa sudah diajarkan oleh nenek moyang kita. Dimana tradisi-tradisi kecil seperti melayat orang mati, rombongan menengok orang sakit, dan hal-hal kecil lainnya selalu dijaga. Kegiatan tersebut ternyata mempunyai dampak yang sangat besar yang terkadang disepelekan.

Baca Juga:

COC: Panggung yang Mengafirmasi Kecerdasan Perempuan

Aisyah: Perempuan dengan Julukan Rajulah Al-‘Arab

Mengapa Perempuan Ditenggelamkan dalam Sejarah?

Kehamilan Perempuan Bukan Kompetisi: Memeluk Setiap Perjalanan Tanpa Penghakiman

Padahal bisa dirasakan ketika orang datang melayat dan memberikan dukungan terhadap orang yang terkena musibah, begitu senangnya orang tersebut karena merasa mendapat dukungan, merasa dibantu dan tidak sendiri.

Begitu juga dengan perasaan orang sakit yang sedang di tengok, dia seakan-akan diberi semangat baru untuk sembuh, mendapat dukungan dan semua itu bisa menjadi obat bagi kesembuhannya. Tradisi seperti ini begitu mulia. Dapat membangun hubungan antar manusia dengan mengedepankan sisi kemanusiaannya.

Bukankah kalau kita lihat tradisi tersebut tidak membeda-bedakan antar etnis, ras, atau agama. Bahkan semua sama, yaitu saling membantu memberikan dukungan dan kasih sayang.

Manfaat lain dalam membangun solidaritas adalah dapat menurunkan tingkat kekerasan dan menciptakan hubungan yang harmonis diantara umat beragama.

Seperti yang dilakukan Umar bin Khattab pada waktu itu bahwa beliau pernah menemukan seorang tua jompo dari kalangan dzimmi—orang non muslim yang hidup di bawah naungan negara Islam—meminta-minta, kemudian beliau langsung memberikan jatah bantuan biaya hidup dari Baitul Mal meskipun orang tersebut bukan muslim. Contoh lain adalah solidaritas antar umat beragama di Tentena, Poso.

Mereka saling berbagi dalam hubungan sosial dan menghormati ketika umat lain merayakan kegiatan-kegiatan kegamaan. Misalnya, ustadz Mustamin yang saat ini menjadi imam Masjid Besar Tentena, beliau selalu ikut belasungkawa ketika ada salah satu umat Kristiani meninggal dunia dan memberi selamat ketika perayaan hari-hari besar Kristiani.

Begitu sebaliknya, beberapa pendeta yang ada di Tentena memberikan dukungan kepada umat Islam ketika salah satu keluarga ada yang meninggal dunia, dan memberikan selamat ketika sedang merayakan hari-hari besar Islam seperti Idul fitri. Tujuannya tidak lain kecuali hanya untuk menjaga hubungan harmonis sesama masyarakat di Tentena.

Sama sebenarnya dengan semangat bangsa Indonesia yang mengedepankan kesatuan dan persatuan, dan itu dituangkan dalam “Bhinneka Tunggal Ika” atau berbeda-beda tetapi tetap satu jua. Tidak ada perbedaan warna kulit, suku, dan agama. Mereka tergabung dalam kesatuan bangsa, yaitu Indonesia.

Bahkan Majlis Ulama Indonesia (MUI) juga melakukan ijtima’ tentang Masail Asasiyah Wathaniyah (masalah strategis kebangsaan) yang dijelaskan dalam ayat (1) tentang kesepakatan bangsa Indonesia untuk membentuk negara kesatuan republik Indonesia dengan Pancasila sebagai falsafah bangsa dan undang-undang sebagai dasar negara republik Indonesia tahun 1945 sebagai konstitusi yang merupakan ikhtiar untuk memelihara keluhuran agama dan mengatur kehidupan bersama, kesepakatan ini mengikat seluruh elemen bangsa, dan ayat

(2) menjelaskan bahwa Indonesia merupakan bangsa yang majemuk, baik suku, ras, budaya maupun agama. Maka bangsa Indonesia sepakat untuk mengidealisasikan bangsa sebagai sebuah bangsa yang tetap satu.

Demikian penjelasan terkait membangun solidaritas untuk perdamaian. Semoga bermanfaat. (Baca juga: Selawat Menebarkan Kasih Sayang, Toleransi dan Solidaritas dengan Selawat Mahage)

Tags: Membangun Solidaritas PerdamaianPerdamaianperempuan
Mubadalah

Mubadalah

Portal Informasi Popular tentang relasi antara perempuan dan laki-laki yang mengarah pada kebahagiaan dan kesalingan dalam perspektif Islam.

Terkait Posts

Nikah atau Mapan Dulu

Nikah atau Mapan Dulu? Menimbang Realita, Harapan, dan Tekanan Sosial

20 Juli 2025
Sejarah Ulama Perempuan

Menguatkan Peran Ibu Nyai Pesantren dengan Penulisan Ulang Sejarah Ulama Perempuan

20 Juli 2025
Yamal

Yamal, Mari Sadar!

19 Juli 2025
Kepemimpinan Perempuan

Dilema Kepemimpinan Perempuan di Tengah Budaya Patriarki, Masihkah Keniscayaan?

19 Juli 2025
Penghayat Kepercayaan

Tantangan Menghadapi Diskriminasi Terhadap Penganut Penghayat Kepercayaan Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi

19 Juli 2025
Cita-cita Tinggi

Yuk Dukung Anak Miliki Cita-cita Tinggi!

19 Juli 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Karakter Anak yang

    Pentingnya Membentuk Karakter Anak Sejak Dini: IQ, EQ, dan SQ

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Nikah atau Mapan Dulu? Menimbang Realita, Harapan, dan Tekanan Sosial

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Nyai Awanillah Amva: Wisuda Bukan Akhir, Tapi Awal Kiprah Mahasantri di Tengah Masyarakat

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Menguatkan Peran Ibu Nyai Pesantren dengan Penulisan Ulang Sejarah Ulama Perempuan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Yuk Dukung Anak Miliki Cita-cita Tinggi!

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Dr. Faqih: Ma’had Aly Kebon Jambu akan Menjadi Pusat Fiqh Al-Usrah Dunia
  • Nyai Awanillah Amva: Wisuda Bukan Akhir, Tapi Awal Kiprah Mahasantri di Tengah Masyarakat
  • Nikah atau Mapan Dulu? Menimbang Realita, Harapan, dan Tekanan Sosial
  • Menguatkan Peran Ibu Nyai Pesantren dengan Penulisan Ulang Sejarah Ulama Perempuan
  • Membentuk Karakter Anak Lewat Lingkungan Sosial

Komentar Terbaru

  • M. Khoirul Imamil M pada Amalan Muharram: Melampaui “Revenue” Individual
  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID