Mubadalah.id – Banyak orang yang ternyata tidak mengetahui kalau sebenarnya mereka gagal paham perubahan iklim. Hampir setiap hari upaya menghadapi perubahan iklim telah para pegiat lingkungan kampanyekan. Namun sampai saat ini, kita masih belum mampu melihat dengan terang benderang mengenai adanya perubahan yang muncul di dalam masyarakat. Pola konsumsi ramah lingkungan masih minim, aktivitas yang merusak lingkungan juga masih dilakukan. Pertanyaan mendasar dari tulisan ini yaitu mengapa hal ini masih terjadi?
Kesalahpahaman Tentang Perubahan Iklim
Sebuah riset yang Development Dialog Asia (DDA) dan Communication for Change (C4C) lakukan pada tahun 2022 mengonfirmasi masalah tersebut. Ternyata, masyarakat kita masih banyak yang salah memahami perubahan iklim. Mereka mengira perubahan iklim ini terjadi jauh di belahan bumi yang lain, atau di masa depan yang masih sangat jauh. Jadi bagaimana bisa berubah kalau pemahamannya saja masih keliru.
Isu perubahan iklim tentunya tidak asing lagi di telinga masyarakat, namun asing dalam pemaknaan. Dari 88% yang pernah mendengar tentang perubahan iklim, ternyata sekitar 56% masih salah mengartikan apa itu perubahan iklim. Sebagian besar masyarakat merasa bahwa perubahan iklim dan pemanasan global merupakan sesuatu yang abstrak, berjarak, dan impersonal.
Hal ini tidak membantu mereka untuk melihat urgensi memitigasi dampaknya, apalagi tergerak untuk terlibat di dalamnya. Bila sudah terjadi demikian, maka perlu adanya metode yang lebih strategis untuk mengkomunikasikan masalah perubahan iklim ke masyarakat.
Gagal paham tentang perubahan iklim membuat masyarakat kita tidak melihat urgensi untuk mengupayakan langkah mitigasi, apalagi tergerak untuk terlibat di dalamnya. Dengan melihat kecenderungan ini, setiap pegiat lingkungan perlu mengatur strategi yang membuat masyarakat bukan hanya sekedar tahu perubahan iklim, namun juga memahami relevansinya pada kehidupan mereka.
Potensi Menjadi Pengungsi Iklim
Mempelajari isu perubahan iklim merupakan salah satu langkah sederhana yang bisa kita lakukan untuk menunjukkan kepedulian kita terhadap isu perubahan iklim. Dengan memahami isu tersebut, kita dapat memahami langkah mitigasi dan adaptasi apa yang perlu kita upayakan, baik secara mandiri maupun kolektif.
BNPB mencatat setidaknya ada tiga ribu lebih kejadian bencana alam di Indonesia selama tahun 2022 lalu. Pertanyaan berikutnya yaitu siapkah kita menjadi pengungsi iklim? Perubahan iklim telah memperparah kondisi lingkungan kita, dan memperburuk bencana alam yang terjadi. Korban-korban yang terdampak oleh bencana ini berpotensi menjadi pengungsi iklim.
Apa itu pengungsi iklim? Pengungsi iklim merupakan mereka yang kelangsungan hidupnya terancam akibat krisis iklim. Bencana yang diakibatkan oleh krisis iklim ini telah menghilangkan tempat tinggal, mata pencaharian, dan sumber daya yang mendukung kehidupan mereka. Istilah ini telah muncul sejak tahun 1985 dan pertama kali diperkenalkan oleh UN Environment Programme (UNEP).
Seperti warga Desa Pantai Mekar di Muara Gembong yang kini hanya tinggal tersisa 3 rumah karena terhantam abrasi. Akibatnya mereka harus berpindah tempat tinggal, baik sementara maupun permanen meninggalkan kampung halamannya.
Di kondisi yang terjadi sekarang ini, semua orang tanpa terkecuali berpotensi menjadi pengungsi iklim. Baik dalam waktu dekat maupun di masa yang akan datang. Dampak perubahan iklim sudah merata kita rasakan, mereka yang paling rentan terdampak adalah masyarakat pesisir yang terancam tenggelam oleh air laut.
Di lain pihak masyarakat di sekitar hutan dan pedesaan yang terancam kerusakan habitat, hingga masyarakat perkotaan yang terancam polusi udara dan limbah. Perlu kita garis bawahi bahwa setiap orang harus bertanggung jawab atas kondisi iklim yang memburuk, termasuk pada pengungsi iklim.
Jaminan HAM Bagi Pengungsi Iklim
Pengungsi iklim memiliki hak asasi manusia untuk memperoleh kehidupan yang layak dan terbebas dari ancaman. Jaminan hak asasi manusia tersebut telah diatur dalam hukum internasional hak asasi manusia dan Konvensi Pengungsi. Di mana dalam aturan tersebut mengharuskan negara untuk tidak memulangkan kembali ke negara atau wilayah asal. Sebab dampak perubahan iklim membuat mereka menghadapi risiko yang mengancam jiwa atau perlakuan kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat.
Meski telah diatur dalam hukum internasional, bukan berarti hak asasi mereka terpenuhi sepenuhnya. Hukum yang telah ada masih perlu disempurnakan dan diatur lagi oleh masing-masing negara agar setiap negara benar-benar menjamin hak mereka dan mencegah persekusi. Selain itu, pengakuan pengungsi iklim sebagai pengungsi masih perlu diperjuangkan.
Menyediakan tempat tinggal baru bagi pengungsi iklim tentunya tidak mudah. Satu hal penting yang perlu menjadi cacatan, yakni perpindahan tempat tinggal mereka tidak boleh menimbulkan masalah iklim lainnya di tempat tinggal yang baru. Sehingga hal ini menjadi tantangan yang harus kita hadapi.
Polemik ini harus menjadi salah satu perhatian dari penanganan iklim dunia. Selain harus fokus untuk memulihkan kondisi lingkungan lewat konsumsi dan produksi yang berkelanjutan, masa depan kehidupan manusia yang terdampak serta hak asasinya harus segera diatur oleh masing-masing negara. []