Mubadalah.id – Terlepas dari perdebatan yang demikian luas dan beragam pandangan mengenai penafsiran atas ayat jilbab, pertanyaan yang krusial diajukan adalah maksud dan tujuan dari perlunya mengenakan jilbab.
Sebagaimana sudah dikemukakan bahwa dalam banyak pandangan, pemakaian hijab/jilbab dimaksudkan sebagai identitas perempuan yang baik, saleh atau berakhlak (berbudi luhur).
Agama memang memiliki misi pembentukan manusia yang seperti ini. Akan tetapi apakah ia menjadi satu-satunya cara atau jalan ke arah pencapaian tujuan tersebut?. Apakah ada jaminan pasti bahwa perempuan berjilbab atau berhijab adalah pasti seorang perempuan yang baik, saleh dan berakhlak mulia?.
Demikian pula sebaliknya, apakah perempuan yang tidak berjilbab atau berhijab adalah pasti perempuan yang berakhlak rendah, bukan perempuan saleh dan tidak bermoral?.
Realitas sosial memperlihatkan kepada kita bahwa banyak perempuan yang tak berjilbab justru lebih saleh dari perempuan yang berjilbab. Bahkan pada masa lalu, selama berabad-abad, di negeri ini, ibu-ibu dan para istri ulama besar hanya mengenakan kerudung dengan membiarkan sebagian rambut dan leher tetap terbuka.
Para suami mereka yang ulama itu tidak pula memasalahkannya. Tetapi tidak juga menolak kenyataan bahwa banyak pula perempuan-perempuan yang berjilbab berakhlak mulia dan salehah. Ini sesuatu yang relatif.
Saya kira menarik sekali pandangan Dr. Muhammad al-Habasy, direktur Pusat Kajian Islam Damaskus, Syiria ini. Ia mengatakan:
“Seorang perempuan dapat memilih pakaiannya sendiri untuk berbagai keperluan dan keadaan. Akan terapi ia bertanggungjawab aras pilihannya itu di hadapan masyarakatnya dan di hadapan Allah. Ia punya hak sosial dengan tetap menjaga kesopanan dan kehormaran dirinya.
Akan tetapi mewajibkannya untuk semua perempuan dalam segala situasi atas nama agama, sebagaimana yang berkembang di sejumlah Negara Islam dewasa ini adalah tidak realistis dan menyalahi petunjuk Nabi dan keluwesan dan keluasan fikih Islam.”
Apakah yang paling substansial bagi kesalehan seseorang, perempuan maupun laki-laki?.
Tanda Kesalehan
Dalam banyak teks keagamaan: al-Qur’an dan hadits nabi, kesalehan seseorang justru terletak pada pengendalian hati dan tindakannya. Al-Qur’an menyatakan:
“Sesungguhnya yang palaing terhormat di hadapan Allah adalah orang yang paling bertaqwa”.
Nabi juga mengatakan: “Allah tidak melihat tubuh dan wajahmu, melainkan kepada hari dan tindakamu.”
Kata-kata nabi ini menunjukkan bahwa kebaikan seseorang tidak dilihat dari aspek legal-formalnya, melainkan pada substansinya.
Al-Qur’an di tempat lain menegaskan lagi: “Dan pakaian takwa itulah yang terbaik”.
Para ulama menafsirkan “pakaian takwa” secara beragama. Ibn Juraij, ia adalah Iman. Ibnu Abbas mengatakan: “ia adalah amal saleh (kerja/perbuatan yang baik) dan wajah yang ramah.
Urwah bin Zubai: “Khasyyatullah” (takut kepada Allah), menjaga kehormatan diri dan menutup aurat.
Dalam sebuah hadits Shahih dikemukakan bahwa letak taqwa adalah di hati. Nabi mengatakan: “Al-Taqwa Ha Huna”, takwa itu di sini”, sambil meletakkan tangannya di dadanya.
Al-Qur’an juga menyatakan:
“Kebaikan bukanlah karena kamu menghadapkan wajahmu ke timur atau ke barat. Melainkan kebajikan itu ialah jika seseorang percaya kepada Allah. Hari Kemudian para Malaikat, Kitab Suci dan para Nabi serta mendermakan hartanya berapapun kamu mencintainya, untuk keluarga dekat, anak-anak yatim orang-orang miskin orang-orang dalam perjalanan, peminta-minta dan orang-orang yang terbelenggu perbudakan.
Selanjutnya ia melaksanakan shalat, menunaikan zakat serta selalu teguh menepati janji bila telah mengikat janji, tabah dalam menghadapi ketidak beruntungan, kesusahan, dan dalam masa-masa sulit. Mereka itulah orang-orang yang benar dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa”. (QS. al-Baqarah, (2:177). []