Mubadalah.id – Sebuah gambaran ketertindasan perempuan Indonesia dalam lintasan sejarah dunia, secara apik (meskipun fiktif), pernah Pramoedya Ananta Toer tuturkan dalam salah satu maha karyanya yang berjudul “Bumi Manusia.”
Dalam novel itu, Pramoedya menuturkan kisah seorang perempuan pribumi bernama Sanikem. Tokoh ini dapat kita katakan sebagai simbol perempuan yang mengalami marginalisasi dalam bentuk tidak mempunyai hak bicara untuk menentukan nasibnya sendiri.
Ayah Sanikem Sastrotomo adalah seorang juru tulis desa. Ia bercita-cita menjadi seorang juru bayar pabrik gula (suatu jabatan paling tinggi dari seorang pribumi di desa pada waktu itu).
Segala cara, termasuk menjilat administratur pabrik gula (Belanda), ia lakukan untuk mendapatkan jabatan prestisius tersebut. Untuk meraih cita-citanya itu pula, Sastrotomo tak segan-segan menjual anaknya, Sanikem, kepada administratur pabrik gula seharga 25 gulden.
Sejak saat itulah, dia menjadi seorang Nyai Ontosoroh, yang secara umum memiliki arti yang sangat negatif. Seorang perempuan yang menjadi istri yang tidak sah, bergantung dan tidak berdaya di bawah seorang laki-laki Belanda yang berkuasa secara ekonomi dan politik.
Perempuan tidak Memiliki Hak Bicara
Apa yang Nyai Ontosoroh atau Sanikem alami, adalah cermin dari keadaan gadis-gadis pada umumnya pada jaman itu. Seorang gadis ketika itu sama sekali tidak memiliki hak bicara dalam menentukan nasibnya sendiri. Diilustrasikan dalam bentuk gumaman meratapi nasib:
“… hanya bisa menunggu datangnya seorang lelaki, yang akan mengambilnya dari rumah, entah ke mana, entah sebagai istri nomor keberapa, pertama atau keempat.” (Toer, 1992, hlm. 84).
Dramatisasi cerita dalam novel yang menggambarkan perasaan Sanikem menghadapi sikap ayah yang tega menjualnya. Dan, ibu yang tidak bisa membelanya, terlukiskan lewat dialog Sanikem dengan sobatnya, sebagai berikut:
“Sungguh Ann…, aku malu mempunyai seorang ayah juru tulis Sastrotomo. Dia tidak patut jadi ayahku. Tapi aku masih jadi anaknya, dan aku tidak bisa berbuat sesuatu. Airmata dan lidah Ibu tak mampu jadi penolak bala. Apalagi aku yang tak tahu dan tak memiliki dunia ini. Badan sendiri pun bukan aku yang punya.” (Toer, 1992, hlm. 86).
Lahirnya Kesadaran Merintis Pergerakan Perempuan
Kisah-kisah perlakuan buruk terhadap perempuan dalam sejarah dunia tersebut tidak berarti sebatas kisah lama yang sudah lewat. Namun demikian, hari ini, kejadian seperti itu dapat saja tetap berlangsung dalam bentuk kemasan yang berbeda. Akan tetapi, perubahan jaman memunculkan juga suatu perubahan responsi dari masing-masing perempuan sebagai individu.
Realitas yang nampak bahwa, ada semacam kesadaran sebagai perempuan tidaklah harus sebagai pihak yang selalu menerima begitu saja kenyataan hidup. Proses evolusi kesadaran itu muncul dalam bentuk keinginan membentuk suatu serikat atau pergerakan perempuan yang ditujukan untuk memperbaiki nasib perempuan secara sosial, ekonomi, maupun politik.
Suatu pergerakan timbul biasanya terpicu oleh adanya semangat yang kuat untuk mengadakan perbaikan ke arah yang lebih adil, karena struktur sosial yang dianggap timpang. Begitu pun gerakan perempuan. Secara historis, gerakan perempuan di berbagai negara di dunia umumnya dipicu oleh kondisi sosial politik setempat.
Pada intinya gerakan perempuan ini bangkit dalam rangka untuk memperbaiki tatanan pemerintahan sekaligus kultural masyarakat yang cukup kondusif menciptakan gejala ketimpangan perlakuan antara perempuan dan laki- laki.
Menilik Revolusi Perancis
Di Eropa khususnya Prancis, Revolusi Perancis yang meletus tahun 1789 merupakan simbol bagi perlawanan berbagai golongan dalam masyarakat yang menghendaki perubahan dari pemerintahan kerajaan menjadi republik dengan semboyan liberte, egalite, fraternite (kebebasan dari penindasan, persamaan hak dan persaudaraan).
Terilhami oleh semboyan revolusi itu, perempuan ikut berjuang tetapi mendapat perlakuan yang tidak sesuai dengan cita- cita dari tokoh laki-laki. Fenomena itu mendorong timbulnya gerakan perempuan, meskipun pada awalnya organisasinya masih lemah. Setelah melalui tahapan yang sulit, gerakan perempuan di Perancis menjadi solid dan kuat pada 1870.
Sedangkan di Inggris, gerakan perempuan mulai tumbuh sejak ada kesadaran bahwa hak-hak perempuan Inggris cukup terpasung. Hal itu tertandai dengan belum bolehnya perempuan untuk memilih dalam pemilihan umum. Seperti kita ketahui pada abad ke-19 masyarakat Inggris juga mengalami banyak perubahan di bidang politik, sosial dan ekonomi.
Industrialisasi makin berkembang dan hak pilih diperluas ke golongan menengah dan bawah. Namun masih terbatas untuk golongan buruh. Sayangnya, hak pilih yang dianggap sebagai kunci untuk dapat ikut menentukan jalannya kebijakan dalam masyarakat tidak berlaku untuk perempuan.
Perlawanan Perempuan
Kenyataan tersebut menyulut perlawanan perempuan yang tertandai dengan munculnya gerakan perempuan, meskipun mendapat hambatan dari pemerintah Inggris pada masa itu. Perjuangan perempuan Inggris meskipun berliku tetapi mendapatkan hasilnya saat berakhirnya Perang Dunia ke satu, di mana perempuan mendapat hak pilih.
Di Amerika Serikat, gerakan perempuan mulai menggema setelah Amerika membebaskan diri dari koloni Inggris pada abad ke-19. Saat itu, berkembang keinginan untuk melakukan upaya-upaya meningkatkan kemanusiaan, termasuk penghapusan perbudakan. Banyak perempuan yang berjasa dalam hal ini, meskipun akhirnya mereka kurang mendapat pengakuan dari pihak laki-laki.
Perlakuan tidak adil itu menimbulkan gerakan perempuan secara formal dalam pertemuan bersejarah di Seneca Falls pada 19-20 Juli 1848. Dalam pertemuan itulah, pertama kali terwujud konkretisasi dari pergerakan perempuan untuk mengaplikasikan doktrin HAM pada perempuan. Hasil konkret itu tertuang dalam bentuk deklarasi yang terkenal dengan sebutan Declaration of Sentiments, yang disusun oleh Elizabeth Cady Stanton.
Rupanya, pertemuan Seneca Falls dihadiri oleh sekitar 100 orang, yang sebagian besar adalah perempuan. Dalam deklarasi itu, tertuliskan sebanyak 15 protes mengenai nasib perempuan. Ini mulai dari masalah lembaga perkawinan yang menempatkan suami sebagai kepala keluarga, masalah hak perempuan terhadap kepemilikan properti, hingga masalah politik dan sosial, seperti partisipasi perempuan dalam bidang kedokteran, teologi, dan hukum.
Gerakan Perempuan di Asia
Keadaan serupa juga terjadi di wilayah dunia bagian Timur. Di Jepang, gerakan perempuan juga timbul dalam abad ke-19 dalam suasana gerakan rakyat yang menghendaki perubahan positif dalam masyarakat. Gerakan perempuan pada masa itu menuntut persamaan hak laki- laki dan perempuan dalam keluarga dan masyarakat. Pun, peningkatan pendidikan bagi perempuan, penghapusan sistem selir dan penghapusan perizinan pelacuran.
Masih tentang gerakan perempuan. Terdapat benang merah yang tampak pada awal timbulnya sejarah dunia gerakan perempuan di negara-negara yang pernah mengalami penjajahan asing di benua Asia dan Afrika. Gerakan perempuan timbul seiring dengan gerakan kemerdekaan.
Dalam masyarakat yang terjajah, rakyat menolak penindasan ekonomi dan kultural oleh bangsa asing Perempuan ikut dalam perjuangan ini bahkan di dorong ikut berpartisipasi serta memperkuat gerakan kemerdekaan bangsa.
Di India, gerakan perempuan timbul pada akhir abad ke-19. Mereka ikut berjuang dalam bidang politik untuk melepaskan diri dari penjajah. Di samping itu, perjuangan di bidang sosial tampak dalam bentuk perlawanan perlakuan terhadap perempuan yang bertentangan dengan perikemanusiaan seperti wife-burning.
Satu peristiwa yang banyak terjadi, di mana istri sengaja dibakar jika kurang memenuhi pembayaran mas kawin yang dituntut oleh pihak suami serta pelecehan lain terhadap perempuan. Dan, pada intinya gerakan perempuan di wilayah Asia dan Afrika merupakan respon perlawanan terhadap kolonialisme, dan adat istiadat yang dirasakan bertentangan dengan perikemanusiaan.
Dari sini jelas, bahwa gerakan perempuan yang sejak 1960-an kita sebut gerakan feminis pada intinya mempunyai tujuan memperoleh perlakuan yang lebih baik. Yakni meningkatkan kedudukan dan peranan perempuan untuk membentuk masyarakat yang lebih adil dan sejahtera.
Sedangkan, di berbagai negara Amerika Latin, gerakan perempuan muncul dalam rangka untuk melawan kebijakan pemerintah yang otoriter. Di samping melawan perlakuan yang diskriminatif terhadap perempuan. Wallahu a’lam bisshawaab. []