Sejak setahun lalu saya mencari jawab terkait paradoks dalam sejarah peran perempuan di daerah saya, Cirebon. Di satu sisi, Islam amat memuliakan perempuan, seperti yang terjadi pada jejak-jejak sejarah Cirebon awal, semasa Pangeran Walangsungsang maupun Sunan Gunung Jati.
Saat itu banyak tokoh sejarah adalah para perempuan, Syarifah Muda’im, Nyi Mas Pakungwati, Nyi Mas Penatagama Pesambangan, Nyi Mas Gandasari, Nyi Mas Baduran, Nyi Mas Kadilangu, dan banyak Nyi Mas- Nyi Mas yang lain.
Bahkan nama-nama perempuan di atas disebutkan berkali-kali. Dalam setiap masyarakat membacakan tahlil dalam berbagai macam acara. Hingga hari ini. Nama mereka diabadikan dalam tawasul Cirebon.
Tapi di lain sisi, jika mencermati sejarah setelahnya, nuansa seperti itu tidak lagi kita temukan. Bahkan dalam salah satu naskah, Serat Murtasiyah, terlihat bagaimana konstruksi masyarakat sudah sangat berubah. Menjadi sangat patriarkhal.
Serat Murtasiyah ditransliterasi dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh salah satu dinas di pemerintahan kota. Saya baca karya terjemahan dengan judul “Serat Murtasiyah: Konsepsi Lokal tentang Rumah Tangga Ideal” tersebut. Dan menurut saya konsep keluarga ideal yang ditawarkan sama sekali jauh dari nilai-nilai Islam yang menghormati perempuan.
Murtasiyah sebagai tokoh utama dalam cerita, tak lebih dari perempuan yang bisa menggapai kesalehan hanya jika dia ‘manut total’ kepada suaminya. Itu intinya. Tak perlulah saya ceritakan detil kisah memilukan ini.
Meskipun tokoh utamanya adalah perempuan, saya yakin, cerita ini ditulis dalam konstruksi laki-laki. Penulisnya adalah laki-laki yang sangat kaku dalam menerjemahkan ajaran-ajaran agama Islam, kaitannya dengan peran-peran perempuan dan laki-laki dalam berumah tangga.
Andai serat itu berpedoman pada nilai-nilai Islam yang bersumber dari Nabi, maka Nabi pun mencontohkan kepada kita bagaimana dia menjahit baju sendiri, membantu pekerjaan rumah tangga, dan menambal sepatunya sendiri. Nabi teladan kita bagaimana seorang laki-laki ikut merawat anak dan cucunya.
Lalu ajaran Islam yang mana yang ingin ditawarkan Serat Murtasiyah sebagai sebuah konsep ideal hubungan suami istri dan keluarga? Ajaran Islam mana pun, saya menolak keras tawaran Serat Murtasiyah.
Secara bersamaan saya juga menganjurkan untuk kembali pada tawaran ajaran Islam pada zaman Cirebon awal. Yakni ajaran yang menghormati dan menghargai peran-peran perempuan untuk berada di ruang-ruang publik. Mengisi posisi-posisi strategis pada struktur-struktur kekuasaan yang mengatur hajat hidup orang banyak.
Tentang betapa luwesnya peran perempuan masa itu, lihatlah Nyi Mas Penatagama Pesambangan, seorang ulama perempuan yang mengajarkan agama Islam kepada banyak orang. Lihatlah pada tekad Syarifah Muda’im yang memilih keluar dari istana dan menjadi santri-pengembara. Atau lihat pada diri Nyi Mas Gandasari yang menjadi kesatria di medan pertempuran. Jadi, sudah tak zamannya lagi perempuan didomestikasi dengan menggunakan doktrin agama.[]