Mubadalah.id – Relasi kesalingan gender baru akan terasa utuh dan sempurna ketika seluruh pengalaman biologis dan sosiologis dipertimbangkan sebagai rujukan pengetahuan dan kebijakan.
Sebagaimana diketahui, perempuan memiliki kondisi khas biologis dan sosiologis yang tidak dialami laki-laki. Yang biologis adalah bisa menstruasi, hamil, melahirkan, nifas, dan menyusui.
Yang sosiologis itu bisa mengalami stigmatisasi, marginalisasi, subordinasi, kekerasan, dan beban ganda semata-mata hanya karena menjadi perempuan. Kondisi khas sosial yang perempuan alami ini biasa kita sebut sebagai lima bentuk ketidakadilan gender.
Dengan kesadaran pada dua kondisi khas perempuan ini, pengetahuan dan kebijakan harus kita pastikan tidak membuat perempuan semakin terpuruk, sakit, dan mengalami ketidakadilan.
Melainkan memfasilitasi perempuan mampu melalui lima kondisi biologis secara baik dan prima di satu sisi, dan meniadakan kelima bentuk ketidakadilan sosial yang perempuan alami.
Demikianlah, tauhid, dalam pandangan KUPI, harus berubah menjadi gerakan yang mentransformasikan pengetahuan dan kebijakan yang melemahkan perempuan dan merusak alam. Bahkan menjadi yang menguatkan dan memberdayakan perempuan, serta melestarikan alam.
Lima Transformasi Tauhid
Dalam pernyataan salah seorang tokohnya, Nyai Nur Rofiah, ada lima transformasi tauhid tentang asal-usul, status, kedudukan, dan nilai laki-laki dan perempuan:
Pertama, perempuan tidak Allah Swt ciptakan dari laki-laki. Asal-usul penciptaan laki-laki dan perempuan adalah sama, yaitu secara “ruhani” diciptakan dari diri yang satu atau nafs wahidah (QS. an-Nisa’ (41: 1). Dan secara jasmani sama-sama diciptakan dari bahan serta proses yang sama (QS. al-Mu’minin (231: 12-14).
Kedua, laki-laki bukanlah makhluk primer, sedangkan perempuan juga bukan makhluk sekunder. Keduanya primer, sebab mengemban amanah sebagai khalifah fi al-ardh atas seluruh makhluk Allah SWT lainnya. Keduanya juga sama-sama sekunder di hadapan Allah SWT, karena mengemban status sebagai hamba-Nya.
Ketiga, perempuan tidak mengabdikan hidup untuk kemaslahatan laki-laki. Keduanya mengabdikan hidup pada Allah SWT, demi kemaslahatan hamba-Nya.
Keempat, perempuan tidak tunduk mutlak untuk melaksanakan perintah laki-laki. Keduanya mesti kerja sama melaksanakan perintah Allah SWT mewujudkan kemaslahatan bersama.
Kelima, kualitas laki-laki dan perempuan sebagai manusia tidak ditentukan oleh jenis kelamin. Melainkan oleh ketakwaan yang ditandai oleh seberapa jauh hidup memberi manfaat pada kemanusiaan. []