Mubdalah.Id – “Kenapa hanya (memaklumatkan) hak-hak perempuan? Padahal, katanya, lelaki dan perempuan memiliki hak yang setara?” Pertanyaan yang muncul dari kawan santri di sela-sela ngaji kitab Al-Sittīn Al-‘Adliyah. Saya menduga, pertanyaan itu terlontar lantaran dalam kitab Al-Sittīn Al-‘Adliyah secara eksplisit memaklumatkan hak-hak perempuan tanpa menyertakan hak lelaki.
Padahal, sedari awal saya membriefing bahwa lelaki dan perempuan memiliki hak dan kewajiban yang setara kendati dalam format yang berbeda. Ya, kang Faqihuddin Abdul Qodir pada bab kedua memberikan bab Fī Al-I’tirāf Bi Huqūq Al-Mar’ati (pengakuan akan hak-hak perempuan).
Dalam bab tersebut, beliau mencantumkan empat hadis, yang secara garis besar bisa diklasifikasi pada dua sikap. Yaitu sikap keberpihakan Tuhan akan perempuan dan keberpihakan Nabi-Nya.
Hadis Pertama: Ketika Hak-hak Perempuan Terabaikan
Di sisi lain, setelah saya melihat kepolosan penanya saya tidak langsung menjawabnya. Melainkan minta izin untuk membaca satu hadis yang ada dalam bab tersebut sebagaimana kang Faqih menuliskan hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari.
5843 – عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رضي الله عنهما قَالَ: ثُمَّ قَالَ: كُنَّا فِي الْجَاهِلِيَّةِ لَا نَعُدُّ النِّسَاءَ شَيْئًا، فَلَمَّا جَاءَ الْإِسْلَامُ وَذَكَرَهُنَّ اللهُ، رَأَيْنَا لَهُنَّ بِذَلِكَ عَلَيْنَا حَقًّا
“Dari Ibnu Abbas ia berkata, “Kemudian Umar ra. berkata bahwa dulu kami tidak menganggap perempuan dalam setiap urusan. Dan tatkala Islam datang dan Tuhan menyebutkan perempuan kami sadar bahwa mereka memiliki hak atas kami” (HR. Bukhari, 7/152).
Mengapa Memaklumatkan Hak-hak Perempuan
Dari informasi yang disampaikan Umar ra. kita bisa mengambil sekurang-kurangnya dua pelajaran, kataku kepada santri yang bertanya. Pertama, kita tahu bahwa perempuan, sebagaimana lelaki, juga memiliki hak. Kedua, di masa jahiliyah acap kali perempuan terabaikan hak-haknya.
Oleh sebab itu, Tuhan menyebutkan hak-hak perempuan untuk menyadarkan manusia khususnya kalangan umat Islam bahwa perempuan memiliki hak yang tidak boleh dinegasikan. Sehingga umat Islam sadar dan mengakui akan hak perempuan.
Sayang budaya patriarki ternyata sangat akut sehingga kita harus terus menerus memperjuangkan dan menyuarakan hak-hak perempuan, dan secara umum hak-hak kaum rentan. Karena ini adalah ajaran Tuhan. Pungkas saya kepada kawan-kawan santri yang ngangguk-ngangguk.
Keharusan Memaklumatkan
Dengan demikian, mushonnif (Kang Faqihuddin) menetapkan bab ini bukan berarti menyampingkan hak-hak lelaki. Tetapi realitasnya, sampai saat ini, hak-hak perempuan dirampas oleh peradaban patriarki yang berjalan sistemik. Maka mushonnif merasa perlu untuk terus menyuarakan hak-hak perempuan sebagai bentuk kelanjutan keberpihakan Tuhan akan perempuan.
Dalam hadis itu pula, bilamana dibaca lengkapnya juga mengisyaratkan para istri boleh berbeda pendapat dengan suami dalam persoalan selama tidak menimbulkan pertikaian yang mengancam keutuhan keluarga. Dalam bentuk ini sebagai hak demokratis dalam keluarga. Dan itu absah sebagaimana Nabi memberikan hak kepada istrinya untuk memberikan masukan.
Hadis Kedua: Titik Tolak Hak dan Kewajiban Lelaki dan Perempuan
Selanjutnya, pengakuan akan hak-hak perempuan ini, sebagaimana ngaji Al-Sittīn Al-‘Adliyah tentang Memaklumatkan Hak-Hak Perempuan, bertolak dari pijakan bahwa lelaki dan perempuan adalah setara. Hal ini berdasarkan hadis yang kedua.
236 عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم …قَالَ: إِنَّمَا النِّسَاءُ شَقَائِقُ الرِّجَالِ»
“ Dari Aisyah ra. Rasulullah pernah ditanya… dan menjawab, “Hanya saja perempuan adalah saudara sekandung lelaki”. (HR Abu Daud, 1/61).
Sekilas tentang Konteks Hadis
Melihat konteks hadisnya, suatu ketika ada seorang sahabat laki-laki yang keluar mani saat tidur tetapi tidak mimpi yang kemudian Nabi memerintahkan untuk mandi wajib. Sementara di waktu yang lain, ada sahabat yang justru mimpi basah tapi tidak keluar mani sehingga Nabi tidak menyuruhnya mandi junub.
Lalu, Ummu Sulaim menyela akan pertanyaan bagaimana kalau perempuan yang mengalami sebagaimana lelaki? Lalu Nabi menjawab untuk mandi wajib karena perempuan adalah saudara kandung lelaki.
Lelaki dan Perempuan Setara
Sementara Kang Faqihuddin dalam buku Qira’ah Mubadalah menyebutkan. Bahwa hadis tersebut mengandung ajaran pokok berupa kesetaraan dan kesederajatan antara lelaki dan perempuan. Sedangkan dari aspek kebahasaan, Syaqa’iq merupakan bentuk plural dari Syaqiiq yang berarti kembaran, mirip, dan identik.
Lebih jauh, Kang Faqih mengutip kitab Aunul Makbud yang menyejajarkan kata “Syaqaiq” dengan kata Nazir dan Matsil yang berarti antara lain pararel, ekuivalen, sederajat, dan duplikat, dan kembaran.
Masih menurut Kang Faqih, sebagaimana Abu Syuqqah, hadis ini juga merupakan referensi dasar dalam kesederajatan dan kesalingan antara lelaki dan perempuan. Oleh sebabnya, untuk membaca hadis-hadis yang lain maka berangkat dari paradigma hadis tersebut: kesalingan dan kesederajatan. Kesederajatan inilah yang menjadi titik tolak akan hak dan kewajiban satu sama lain.
Hadis Ketiga: Hak Anak Perempuan
Sebagaimana tutur siti Aisyah ra. pada suatu waktu ada ibu-ibu membawa kedua anak perempuannya bertanya kepada Istri Nabi tersebut. Beliaupun menyuguhkan satu kurma kepada tamu-tamunya karena memang hanya punya satu kurma itu. Sang ibu, kemudian membelah satu kurma itu dan membaginya kepada kedua anak perempuannya. Lama bercakap-cakap, akhirnya Nabi datang. Dan siti Aisyah mengisahkan barusan yang terjadi, lalu Nabi Muhammad bersabda.
5995 – مَنْ يَلِي مِنْ هَذِهِ الْبَنَاتِ شَيْئًا فَأَحْسَنَ إِلَيْهِنَّ، كُنَّ لَهُ سِتْرًا مِنَ النَّارِ.»
“Barang siapa yang mengasuh anak-anak perempuan, lalu benar-benar berbuat baik untuk mereka, maka mereka akan menjadi perisai yang menghalanginya dari api neraka” (HR. Imam Bukhari, 8/7).
Statement Nabi tersebut merupakan bentuk dukungan terhadap perempuan di tengah budaya yang merendahkan perempuan, sebagaimana penegasan Kang Faqihuddin. Dari statement itu pula, Nabi setidaknya menegaskan dua hal.
Pertama, hak-hak perempuan yang telah mengasuh anak-anak (baik perempuan maupun lelaki). Artinya, Nabi amat mengapresiasi perempuan yang mengasuh anak-anaknya dengan mengaitkan faktor keyakinan (teologis) untuk kehidupan sosial.
Kedua, Nabi menegaskan hak-hak anak perempuan yang bisa menjadi wasilah untuk keselamatan dari malapetaka neraka, yang kebanyakan sebagian masyarakat kala itu anak perempuan dianggap aib.
Selain itu, Nabi tidak hanya mengalamatkan dawuhnya kepada perempuan yang bertamu saja, tetapi juga ke seluruh manusia baik laki-laki maupun perempuan. Karena Nabi menggunakan redaksi Man yang itu merupakan bentuk mustarak dan bersifat umum mencakup kepada siapa pun, di mana, dan kapan pun.
Hadis Keempat: Hak Budak Perempuan
«4795 – الشعبي قال: حَدَّثَنِي أَبُو بُرْدَةَ، عَنْ أَبِيهِ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم: أَيُّمَا رَجُلٍ كَانَتْ عنده وليدة، فعلمها فأحسن تعليمها، وأدبها فأحسن تأديبها، ثم أعتقها وتزوجها فله أجران
“Siapapun yang memiliki budak perempuan kemudian mengajarkannya dengan baik, dan mendidiknya dengan baik. Lalu memerdekakannya dan menikahinya maka ia mendapatkan dua ganjaran” (HR Imam Bukhari, 5/1955).
Menurut kesimpulanku terhadap tulisan-tulisan Kang Faqihuddin, hadis ini menekankan umat Islam yang memiliki budak perempuan pada usia anak untuk memberikan hak-haknya. Pertama, hak untuk mengembangkan akal dan agamanya yang Nabi mengungkapkan untuk memberi pelajaran dan didikan dengan baik.
Kedua, hak untuk strata sosial yang setara yaitu memerdekakan dan menikahinya. Ini tiada lain adalah manifestasi dari hifz al-Nasl, al-‘ird, dan al-Mal. Dengan merdeka maka dengan sendirinya seseorang bisa mendapatkan strata sosial yang setara dan martabat (al-‘ird). Dengan merdeka pula ia secara otomatis bisa mengelola hartanya sendiri (hifz al-Mal). Dan dengan menikah ia bisa mendapatkan hak keturunannya yang terbebas dari kungkungan perbudakan.
Sudah barang tentu dalam konteks zaman itu, sebagaimana penegasan Kang Faqihuddin, memerdekakan dan menikahi adalah cara yang paling tepat untuk memanusiakan dan menempatkan pada derajat sosial yang kuat dan bermartabat.
Dan yang paling menarik, lagi-lagi Nabi mengaitkan persoalan sosial dengan teologis. Artinya kedua segmen ini bersinergi, bila mana kehidupan sosialnya baik maka akan aspek teologisnya mapan.
Bagaimana dengan Hak PRT Perempuan?
Membaca hadis keempat itu, saya teringat dengan tulisan kedua sahabat saya yang membahas persoalan PRT. Pertama, tulisan bak Alfiyatul Khairiyah yang berjudul “Mengapa Kita Harus Mendukung Gerakan Pekerja Rumah Tangga?”. Kedua, tulisan Mifta Sonia dengan tajuk “Ketika PRT Menjadi Korban Eksploitasi Tenaga Kerja”.
Tapi untuk membasah ini membutuhkan waktu diskusi lain, kata ku kepada para santri. Hanya yang menjadi soal, bagaimana bisa Nabi Muhammad yang dengan susah payah mengangkat hak-hak PRT masa lalu (budak) untuk bermartabat, lalu sekarang PRT yang merdeka justru kembali ditekan ke titik terbawah?
Bekerja tanpa jam yang jelas dengan segala risiko-risiko yang mengancam keselamatan dan keamanannya? di saat yang sama mereka tidak memiliki kekuatan hukum. Sunnguh bentuk eksploitasi yang kejam. []