Mubadalah.id – “Ustadzah, apakah orang Yahudi itu baik? Kan mereka yang menghina Palestina?” Tanya siswa saya kepada saya.
Saya terkejut ketika pertanyaan tersebut muncul dari mulut anak-anak. Mereka menanyakan hal yang sebelumnya sama sekali tidak terpikirkan oleh saya. Yaitu menilai baik buruknya seseorang hanya berdasarkan agama yang mereka anut. Saya bersyukur mereka kritis mempertanyakan hal ini. Tandanya, detik itu juga pembelajaran kami berlangsung.
Konflik antara Palestina dan Israel tidak bisa kita pandang secara sederhana dan hitam putih, Islam versus Yahudi. The conflict between Israel and Palestine is deeply rooted in territorial, political, and historical disputes, rather than being driven by religious differences.
Israel maupun Palestina terdiri dari beragam kelompok agama dan entitas yang beragam. Memang Israel dominan dihuni oleh orang Yahudi. Tapi di sana juga ada warga Muslim Arab, Kristen, dan kelompok minoritas lainnya. Begitu juga dengan Palestina. Keragaman ini menunjukkan bahwa konflik yang sedang terjadi tidak berdasarkan pada agama tetapi lebih pada masalah politik dan territorial.
Perlu sekali membincangkan konflik Israel-Palestina dengan anak-anak, untuk menghindari generalisasi dan stereotip yang mungkin mempertahankan kesalahpahaman bahwa yang tengah terjadi hari ini adalah perang agama.
Konflik Israel-Palestina Bukan Konflik Agama
“Anak-anak… Misalnya kamu punya rumah, kemudian ada orang datang ke rumah untuk menginap sebentar. Karena kamu manusia yang baik, kamu menolongnya. Nah, ternyata tamunya nyaman berada di rumahmu, dia bertamu lebih dari 3 hari dan mengatakan kepada kawan-kawannya juga banyak orang bahwa rumah yang ia tinggali adalah rumahnya, bukan rumahmu.
Kalau kamu jadi tuan rumahnya, apa yang kamu lakukan?” Saya memantik pertanyaan ini kepada teman-teman kecil saya. Untuk menjelaskan kepada anak-anak, kita perlu analogi ringan dan tepat.
Kemudian barulah saya menjelaskan tentang konflik Israel-Palestina yang bermula pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, ketika gerakan Zionis, yang berupaya mendirikan tanah air Yahudi mulai mendapatkan ruang. Tujuan Zionis adalah mendirikan tanah air Yahudi di Palestina, yang saat itu merupakan bagian dari Kekaisaran Ottoman.
Deklarasi Balfour pada tahun 1917, yang dikeluarkan oleh pemerintah Inggris pada Perang Dunia I, menyatakan dukungan untuk pembentukan National home for the Jewish people di Palestina. Deklarasi ini semakin memperburuk konflik tentang tanah di wilayah Palestina. Zionisme berusaha menciptakan negara Yahudi di Palestina, sementara Palestina berusaha mempertahankan tanah mereka.
Selama Perang Dunia, imigrasi Yahudi ke Palestina meningkat. Perebutan wilayah dan identitas ini memperlebar kesenjangan antara orang Yahudi dan Palestina. Hingga pada akhirnya menjadi dasar konflik yang panjang dan berdarah di tahun-tahun berikutnya.
Pada tahun 1948, Negara Israel resmi berdiri. Hal ini menyebabkan pengusiran massal sekitar satu juta warga Arab Palestina dari tanah mereka dan berdirinya negara mayoritas Yahudi di tanah Palestina.
Peristiwa tersebut terkenal dengan sebutan Nakba (bencana).
Perang Enam Hari Perang tahun 1967 dan Perang Yom Kippur tahun 1973 juga memperburuk keadaan sehingga menyebabkan perubahan di wilayah Palestina.
Berdasarkan penjelasan di atas, saya dan anak-anak menarik kesimpulan bahwa konflik Israel-Palestina berakar pada faktor sejarah, politik, dan territorial.
Let Me Stand Alone
Selain menjelaskan asal mula konflik Israel-Palestina, untuk menjawab pertanyaan apakah konflik tersebut adalah konflik agama? Saya menceritakan “Let Me Stand Alone: The Journals of Rachel Corrie” kepada anak-anak.
Buku tersebut berisi tentang catatan harian pribadi yang ditulis oleh Rachel Corrie, aktivis perdamaian sepanjang hidupnya. Buku ini berisi pemikiran, perasaan, dan pengalaman pribadi Rachel Corrie selama berada di Palestina.
Pada tahun 2003, Rachel Corrie bergabung dengan Gerakan Solidaritas Internasional (ISM), sebuah LSM yang mengadvokasi hak-hak rakyat Palestina dan berupaya melindungi mereka dari kekerasan dan pengusiran oleh pasukan Israel.
Corrie tiba di Jalur Gaza pada bulan Januari 2003 dan langsung terlibat dalam kerja lapangan dengan ISM.Pada tanggal 16 Maret 2003, Rachel Corrie berpartisipasi dalam protes di Rafah, sebuah kota di Gaza yang terkenal dengan konflik dan penghancuran rumah oleh Zionis.
Corrie dan beberapa aktivis lainnya berusaha menghentikan buldoser Zionis yang menghancurkan rumah sebuah keluarga Palestina. Rachel berdiri di depan buldoser dengan tangan kosong dan mengenakan jaket oranye yang merupakan tanda pengenal aktivis perdamaian.
Kematian Rachel Corrie
Sayangnya, buldoser terus bergerak maju dan akhirnya menghancurkan Rachel Corrie. Ia sempat dilarikan ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan darurat, namun sayangnya lukanya sangat parah hingga ia meninggal di hari yang sama. Kematian Rachel Corrie menimbulkan reaksi besar di seluruh dunia dan menarik perhatian media.
Kematian Rachel Corrie menimbulkan pertanyaan mengenai taktik dan tindakan militer Israel di Jalur Gaza, serta keselamatan para aktivis perdamaian yang memperjuangkan hak-hak rakyat Palestina. Israel mengatakan buldoser tersebut tidak melihat Rachel Corrie dan kecelakaan itu tidak disengaja, sementara Rachel Corrie dan pendukung ISM mengatakan dia sengaja menjadi sasaran.
Kematian Rachel Corrie masih menjadi isu kontroversial dalam perdebatan konflik Israel-Palestina dan hak asasi manusia. Namanya kita kenang sebagai simbol perjuangan gigih aktivis perdamaian tersebut, dan ia telah menjadi subjek buku, film, dan karya seni untuk menghormatinya.
Lewat Let Me Stand Alone ini, saya ingin menyampaikan sisi lain pemeluk agama Yahudi kepada anak-anak. Ternyata ada loh… Orang Yahudi yang membela Palestina, sekaligus menjadikan pembelajaran bahwa baik buruknya seseorang, bergantung apa yang mereka lakukan. Perempuan pemberani itu juga menjadi simbol bawa kemanusiaan dan akal sehat dalam beragama kita perlukan saat ini.
Mengajak Anak Membaca Cerita Personal Korban
“Teman-teman, apa yang kamu rasakan ketika ada manusia yang tertindas dan mereka memperjuangkan haknya?” Tanya saya kepada anak-anak. Dalam keadaan seperti ini, kita perlu memantik perasaan mereka untuk menumbuhkan empati.
Hal ini juga dapat menumbuhkan rasa nasionalisme dalam diri anak-anak. Merekam bagaimana warga Palestina mempertahankan haknya. Kemudian kita perlu mendiskusikan dampak untuk masa depan negara dan generasi berikutnya yang diakibatkan oleh genosida Israel kepada Palestina.
Anak-anak juga perlu dipupuk kepeduliannya dengan menyalurkan donasi. Kemudian juga melihat pentingnya hak anak. Mengapa anak perlu mendapat perlindungan dalam kondisi darurat? Apa saja prioritas hak anak dalam situasi bencana atau genosida? Setelah itu, kita bisa belajar bersyukur karena masih mendapat hak untuk belajar, aman, dan nyaman di sekolah.
Saya ingat sekali, Habib Husein Jafar pernah mengatakan bahwa “Yang terjadi di Palestina adalah tragedi kemanusiaan. Tentang manusia yang dijajah dan dihabisi, sehingga kita harus berdiri membela nilai-nilai kemanusiaan, apapun agamanya. Karena semua agama memerintahkan untuk membela kemanusiaan. Tidak ada satupun agama yang membenarkan anti kemanusiaan atas kepentingan apapun.”
Sangat penting membincang konflik Israel-Palestina dengan anak-anak bukan? Sudahkah kamu melakukannya? []