Mubadalah.id – Jika kita berbicara mengenai gender di Indonesia, maka dapat kita katakan di negara ini masih sering kita jumpai diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan. Ini setidaknya dengan dukungan catatan yang Komnas Perempuan lakukan dari tahun 2012 – 2021. Di mana data ini memperlihatkan setidaknya ada 49.762 laporan kasus kekerasan terhadap perempuan.
Selain itu, riset lain yang Komnas Perempuan lakukan pada Januari s.d November 2022 menerima 3.014 kasus kekerasan berbasis gender terhadap perempuan. Termasuk 860 kasus kekerasan seksual di ranah publik/komunitas dan 899 kasus di ranah personal.
Di sisi lain, Pekerja Rumah Tangga (PRT) seringkali menjadi pekerjaan yang identik dengan perempuan. Selain karena stigma masyarakat mengenai perempuan di bidang domestik, ternyata kenyataan di masyarakat juga menunjukkan jika 84 persen PRT merupakan perempuan.
Lagi-lagi, jika berbicara mengenai perempuan pekerja rumah tangga, isu yang masih menjadi fenomena gunung es di masyarakat adalah isu kekerasan. Menurut JALA PRT sendiri, setelah 19 tahun memperjuangkan hak PRT, mereka sudah menerima 2.641 kasus terlapor mengenai kekerasan terhadap PRT.
Masyarakat belum Ramah Kesetaraan Gender
Hal ini lalu memunculkan pertanyaan besar. Bagaimana kemudian kondisi perempuan dalam lingkaran masyarakat yang belum ramah kesetaraan gender dan juga dalam lingkaran pekerja rumah tangga? Akankah mereka berdiri di tengah-tengah keselamatan mereka yang terkorbankan? Sudahkah ada payung hukum yang menaungi mereka? Bagaimana krusialnya peraturan perlindungan untuk menyelamatkan hak mereka?
Ari Ujianto, salah satu penggiat hak dan perlindungan PRT di Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT) menyampaikan jika PRT perempuan berada pada posisi yang riskan terhadap kekerasan. Apalagi ketika belum ada perlindungan yang memadai.
“Ya, karena gini ya sebagian besar dari PRT ini, 84% di Indonesia itu kan perempuan. Sedangkan kalo JALA PRT naunginnya 100% perempuan, dan perempuan ini mengambil situasi kerja yang istilahnya paling riskan.”
Ari kemudian melanjutkan, dengan posisi perempuan yang riskan itu, apabila tidak terlindungi dengan peraturan, maka akan berujung pada eksploitasi.
“Tentu saja, karena tidak ada kejelasannya, dan tidak tahu. Tidak ada kejelasan tentang kontrak kerja mereka. Kemudian juga tidak ada aturan yang jelas terkait dengan perekrutan. Proses eksploitasi itu kan mulai dari perekrutan yang tidak jelas itu. Agen-agen penyalur gitu melakukan eksploitasi. Apakah mereka bertanggung jawab terhadap PRT yang tersalurkan? Itu kan enggak,” ungkap Ari.
Situasi Darurat Perempuan Pekerja Rumah Tangga
Ini kemudian sejalan dengan apa yang Yuni tuturkan, salah satu perempuan yang bekerja sebagai PRT. Dia mengaku jika selama bekerja, berbagai kekerasan pernah ia alami. Mulai dari pemotongan gaji, bahkan sampai kekerasan seksual.
“Saya sebenarnya banyak mengalami kekerasan dalam lingkup kerja, mungkin semua kekerasan saya alami, seperti kekerasan ekonomi gaji dipotong, di-PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) karena ketahuan berorganisasi, dituduh mencuri, di-PHK karena telat masuk kerja, diintimidasi saat pulang kerja dari atas sampai bawah, tidak boleh duduk di bangku saat jemput anak sekolah, di-PHK karena teman satu kerjaan berhenti dan dituduh membantu lari kawan dari tempat kerja, dan yang paling tidak enak adalah pelecehan seksual.”
Di sisi lain, Ketua Koordinator JALA PRT, Lita Anggraini juga memaparkan berbagai jenis pelanggaran yang pihak pemberi kerja lakukan kepada pekerja rumah tangga selama ini.
“Kalau kita bicara PRT sebagai pekerja, seharusnya dia mendapatkan hak-hak normatif. Tapi selama ini tidak ada libur mingguan, batas jam kerja, tidak ada standar upah, perjanjian kerja yang menjamin itu hanya secara tertulis. Lalu tidak ada Tunjangan Hari Raya (THR) yang jelas, adanya pembatasan akses untuk berkomunikasi dan bersosialisasi, berserikat, hak atas jaminan sosial baik secara kesehatan maupun ketenagakerjaan juga tidak mendapat.” Ungkap Lita.
Lita menuturkan jika JALA PRT sendiri menerima aduan. Tetapi tidak bisa menangani semua kasus tersebut karena keterbatasan sumber daya manusia. Di mana hanya ada tiga orang pekerja di JALA PRT.
“Jadi bisa kita bayangkan memang situasi PRT ini sebenarnya darurat, seperti gunung es yang kasus-kasusnya tidak bisa nampak di luar, dan itu memerlukan kehadiran negara dalam bentuk peraturan untuk bisa memberikan rambu-rambu dalam bekerja, bisa memberikan perlindungan bagi mereka.”
Langkah Maju RUU PPRT
Seperti yang Lita sampaikan , banyaknya permasalahan yang mengancam keselamatan PRT ini sudah semestinya pemerintah tanggapi secara serius. Dan nampaknya para PRT serta penggiat hak dan perlindungan pekerja rumah tangga kali ini dapat sedikit angkat topi kepada pemerintah.
Sebab pada Selasa (21/3) Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) akhirnya naik menjadi usul inisiatif DPR. Ini tentu menjadi angin segar dan harapan bagi masa depan PRT yang lebih terjamin, terutama para PRT perempuan yang berada pada posisi rentan.
Lita kemudian juga menyebut jika langkah RUU PPRT yang sudah naik menjadi usul inisiatif DPR ini sebagai sebuah kemajuan.
“Ini kita melihat sudah ada kehendak politik yang baik di anggota dan pimpinan DPR untuk menginisiatifkan dan sudah mendapat surat dari presiden dan presiden sendiri meminta untuk kita segerakan. Artinya sudah menjadi pergerakan maju.”
Yuni, sebagai seorang PRT, sangat mengapresiasi dengan menaikkan RUU PPRT sebagai usul inisiatif DPR, ini menurutnya menjadi langkah awal perlindungan bagi para pekerja rumah tangga.
“Pandangan saya terhadap adanya RUU PPRT, sangat apresiasi banget. Karena itu adalah suatu rancangan yang melindungi pekerja rumah tangga dan sebenarnya juga bermanfaat pada pemberi kerja. Karena di situ diatur semua hak dan kewajiban pekerja dan pemberi kerja salah satunya. Untuk kasus kekerasan semua juga ada tindak lanjut dalam penyelesaiannya dan lebih bagus dengan adanya UU PPRT nanti. Jadi, ada payung hukum dan ada aturan dalam penyelesaian masalah yang mungkin terjadi.”
Mengawal Proses RUU PPRT
Ari Ujianto juga turut gembira atas terwujudnya langkah besar ini. Meskipun kita harus terus mengawal proses RUU PPRT ini sampai nanti diketok palu menjadi undang-undang.
Meskipun berbagai pihak menyambut baik, Lita menyampaikan jika masih ada beberapa bagian dari RUU PPRT yang menjadi isu krusial dan harus kita tinjau kembali.
“Ada beberapa yang masih menjadi isu krusial, perdebatan terutama mengenai lingkup pekerjaan. Kemudian mengenai libur, hak berserikat, dan pidana untuk pemberi kerja. Nah untuk pidana pemberi kerja ini akan kita hapus karena ada hak-hak normatif ketenagakerjaan kalau dilanggar akan ada mediasi. Ini satu babak pertama suatu undang-undang yang baru.” Ungkap Lita.
Ari juga menambahkan catatannya terkait RUU PPRT ini. Dia mengatakan jika RUU PPRT masih bisa tersusun lebih ideal lagi dari draft yang ada sekarang. Tetapi sebagai penggiat hak PRT, dia juga mengatakan jika tidak boleh menolak secara keseluruhan dari apa yang sudah ada.
“Sebenarnya kita pengennya yang lebih ideal lagi dari ini. Tapi karena ada namanya juga kompromi politik, ada penolakan-penolakan dari anggota legislatif. Jadi kita tetap pakai kaidah kalo ngga dapet semuanya ga boleh nolak semuanya. Kita memang nggak dapat hal ideal, tapi tidak terus semuanya ditolak karena beberapa hal PRT sudah lumayan diuntungkan dari undang undang ini dengan jaminan keamanan sosial, soal pendidikan, pelatihan, soal apa kontrak kerja, soal pengakuan. Nanti juga ada pengawasan dan sebagainya.” Ungkap Ari.
Namun, Yuni yang mengalami kehidupan sebagai PRT bahkan mengalami kekerasan secara langsung, merasa cukup dengan draft yang ada di RUU PPRT ini.
“Saya rasa sudah cukup, yang penting Indonesia punya UU PPRT sebagai UU pekerja domestik di dalam negaranya sendiri. Untuk masalah ke depan adanya revisi atau kekurangan dan perlu ditambahkan nantinya bisa seiring waktu berjalan, sambil kita melihat manfaat dari adanya UU PPRT. Karena setiap UU pasti ada kekurangan dan kelebihan.” Pungkasnya. []
Keterangan: Semua kutipan wawancara dengan narasumber diperoleh dari arsip transkrip wawancara narasumber dengan LPM Opini FISIP Undip.