Mubadalah.id – Sudah bukan rahasia lagi bahwa Gerakan 30 September (Gestapu/Gestok/G30S) menjadi istilah yang mengingatkan setiap insan manusia. Hal seiring dengan munculnya konflik antara Partai Komunis Indonesia (PKI) yang menjadi kambing hitam sebagai pengkhianat negara.
Setelah peristiwa tersebut, pemerintah berusaha memberantas PKI dan para simpatisannya. Pembasmian ini juga berdampak pada istri dan anak simpatisan PKI yang terpaksa harus pindah ke tempat lain agar tidak tertangkap.
Salah satu karya yang berlatar tahun 1965 dan pengalaman para korban G30S adalah cerpen berjudul Bawuk (1975) oleh Umar Kayam. Dalam cerita ini, Bawuk adalah nama istri seorang simpatisan PKI. Ia juga menjadi korban pembasmian PKI. Ia dan anak-anaknya terpaksa berpindah-pindah tempat tinggal agar tidak tertangkap. Mereka terpaksa berpisah dengan suaminya, Hasan, sembari terhantui oleh masa depan yang menakutkan.
Cerpen Bawuk dapat menjadi representasi represi oleh pemerintah Orde Baru terhadap para simpatisan PKI, khususnya pada tahun 1965 setelah meletusnya tragedi G30S. Umar Kayam berhasil menjadikan kisah ini tidak hanya menyoroti korban fisik dari tragedi G30S, melainkan juga korban yang terdampak secara mental. Salah satu korban yang terdampak secara mental ialah perempuan yang menjadi istri dari para simpatisan PKI.
“Pada saat itu, bila malam telah larut, anak-anaknya telah tidur dan diskusidiskusi telah selesai, Bawuk sering memikirkan perjalanan yang telah ditempuhnya selama ini. Perjalanannya bersama Hassan yang penuh dengan busa ideologi, kegairahan untuk mereguk kehidupan hingga dasarnya bersama dengan keyakinan itu.”
“Di S Bawuk dan anak-anaknya tinggal berpindah-pindah. Dicobanya mencari kontak dengan suaminya. Sisa kawan-kawannya yang berada di S kebanyakan bukan dari lingkungannya yang lama. Mereka yang sebelum Gestapu dekat dengan Bawuk dan Hassan sudah pada menyingkir, kebanyakan ikut ke T.”
Perlawanan Bawuk adalah Semangat Keperempuanan
Perempuan pada masa Orde Baru sangat rentan. Perempuan pada masa itu kerap mengalami pembatasan dalam bergerak dan berpikir, serta bertempatkan pada ruang-ruang domestik yang membuatnya tidak berdaya.
Domestikasi perempuan, menurut Asyraf (2020), merupakan praktik oleh pemerintah melalui ideologi ibuisme negara, yang merupakan perpaduan antara konsep domestikitas borjuis Belanda dan ibuisme priyayi Jawa. Konsep ibuisme negara menghasilkan gagasan subordinasi (nomor dua) posisi perempuan di bawah laki-laki dan harus selalu melayani laki-laki sejak Orde Lama hingga Orde Baru.
Bawuk adalah seorang perempuan dan seorang istri. Kehormatannya sebagai perempuan tidak serta merta menunjukkan kerentanannya sebagai seorang istri. Dalam cerpen Bawuk ini, Bawuk adalah perempuan dan istri yang berdaya.
Suaminya, Hasan, memberikan ruang untuk berjuang, mendukung pergerakannya, termasuk menimba ilmu. Hasan bahkan mengajak Bawuk untuk memperjuangkan ideologi mereka bersama, mengizinkannya membantu Gerwani dan bersosialisasi dengan rakyat jelata.
“Sedang Hassan dan kawan-kawannya sibuk mengatur itu semua, Bawuk bersama isteri kawan-kawan Hassan mendapat tugas sendiri. Mereka berkewajiban menggarap para pimpinan Gerwani di kecamatan T itu yang sebagian terbesar adalah isteri-isteri pimpinan masyarakat desa kecamatan T.
Ini merupakan pengalaman baru buat Bawuk. […] Bawuk tahu banyak tentang Gerwani, tentang Lekra, tentang anak organisasi PKI lainnya. Suaminya selalu memberitahukannya tentang perkembangan organisasi itu, mendorongnya untuk ikut berpikir secara aktif, mengajak berdiskusi dan memberinya bacaan yang cukup banyak.”
Kuasa Perempuan dalam Kehidupan Berkeluarga
Bahkan dalam kehidupan keluarganya, Bawuk menunjukkan perlawanannya sebagai seorang perempuan. Ia memiliki kekuatan untuk bersuara. Bawuk memiliki kemampuan untuk membujuk orang tuanya dengan segala bentuk perlawanan. Kemandirian Bawuk sebagai perempuan juga ditunjukkan melalui kebebasannya dalam berpikir.
Dalam mengambil keputusan, siapapun tak bisa memaksanya. Bahkan pilihan untuk membela suaminya yang komunis pun merupakan kesadarannya sendiri. Ia tidak takut dengan anggapan-anggapan yang menghalanginya untuk membela ideologi yang ia yakini.
“Tiduran di bale-bale dengan seorang bediende, main-main dengan anak desa di belakang kandang kuda adalah bukan kebiasaan yang baik buat seorang anak onder yang diusahakan mengecap pendidikan europeesch yang baik. Tetapi tiap kali ayah-ibunya berusaha menegor Bawuk tentang hal ini, selalu saja dengan cara yang khas-Bawuk, Bawuk berhasil menyakinkan orangtuanya bahwa apa yang dikerjakannya itu tidak apa-apa.
Dan anehnya, ayahnya yang bisa begitu keras terhadap bawahannya bahkan juga terhadap kakak-kakak Bawuk, seringkali harus banyak mengalah kepada anaknya yang bungsu ini.”
“Tapi mas-mas, mbak-mbak, mammie-pappie, itu lah dunia pilihanku. Dunia abangan yang bukan priyayi, dunia yang selalu resah dan gelisah, dunia yang penuh ilusi yang memang seringkali bisa indah sekali. Karangrandu kita, onderan kita, Concordia kita, kanjengan kita, sinterklaas kita, ayam hutan kita, kuda dan dokar kita, hilang menguap di dalam duniaku itu. Dunia Mas Hassan.”
Bawuk dengan semangat feminitasnya merupakan wujud keberdayaan dirinya sebagai perempuan dalam potret sejarah Orde Baru. Setelah meninggalkan anak-anaknya, ia berpamitan kepada keluarganya untuk melanjutkan perjuangannya. Ia mencari dan menolong suaminya, serta memperjuangkan rakyat jelata.
Cerita berakhir dengan keberadaan Bawuk yang masih dipertanyakan. Di mana ia menjadi representasi para korban kerusuhan G30S yang tidak pernah kembali ke rumah, tidak meninggalkan jasad. Sebagai penutup, kisah ini merupakan gambaran bagaimana perempuan dalam semangat feminitasnya dapat memberdayakan diri dan tak kalah terhadap represi yanang menimpa dirinya. []