Mubadalah.id – “Cantik itu Kata Aku” Satu kata yang sedikit saya ubah dari sebuah iklan shampho “Rambutku Kata Aku”. Kata-kata ini sudah menjadi afirmasi yang kuat bagi saya sebagai perempuan.
Hal ini menegaskan rasa syukur saya dalam memandang citra diri yang telah Tuhan anugrahkan kepada saya. Terlepas kekurangan dan kelebihan yang saya miliki dalam bentuk fisik.
Namun pikir saya, timbul permasalahan sosial lain yaitu, adanya persaingan antar sesama perempuan. Jika kita melihat di lingkungan terdekat, tak sedikit pula, perempuan satu sama lain saling adu menilai kecantikan perempuan, membandingkan diri dengan yang lain.
Perempuan dengan cara pandang tersebut senantiasa terobsesi menjadi sosok nomer satu dan memandang seseorang lebih rendah dari dirinya. Kalau dalam istilah psikologi, ini dinamakan fenomena queen bee syndorm. Syndorm yang selalu memnginginkan diri menjadi seorang ratu yang memiliki daya tarik menawan serta pemegang otoritas tertinggi.
Kecantikan Sebagai Budaya VS Media
Jika melihat historis kecantikan perempuan, setiap budaya memiliki keunikan masing-masing. Masyarakat Afrika jaman dahulu, menganggap perempuan cantik adalah ia yang memiliki badan gemuk penuh lemak.
Masyarakat Romawi mengklaim bahwa perempuan cantik adalah perempuan yang tinggi semampai, tubuh berisi/ gempal.
Orang Thailand jaman dahulu menilai kecantikan perempuan, jika perempuan tersebut mempunyai leher yang panjang, sehingga mereka memasangkan kalung seperti per yang dapat membuat lehernya bertambah panjang.
Potret budaya tersebut menjadi bagian dari potret ragam kecantikan tiap daerah tertentu. Bahwa tiap budaya memiliki keunikan dan keragaman dalam mendefinisikan cantik itu sendiri.
Namun karena modernisasi dan perkembangan media informasi, kecantikan peninggalan leluhur hanya menjadi bagian dari tradisi masa lampau. Otentitas kecantikan diri perempuan telah tergerus oleh pasar kecantikan.
Berbagai jenis perawatan yang membuat perempuan menginginkan kecantikan paripurna versi iklan-iklan sosial media. Jika perempuan merasa tidak cantik sesuai dengan versi media, maka tak sedikit pula mereka merasa kurang percaya diri ketika berada di ruang publik.
Dalam benak saya mulai bertanya-tanya, sebenarnya cantik itu yang seperti apa? Bukankah cantik menutut si A belum tentu cantik menurut si B? Bagaimana pandangan islam mengenai cantik? Lalu apakah benar memiliki diri yang cantik sesuai versi media adalah sebuah privilege tersendiri? Adakah kerugian menjadi seorang yang cantik?
Cantik dalam Pandangan Islam
Tentu manusia memiliki kecondongan hati untuk merasa bahagia ketika melihat sesuatu yang indah. Pun demikian manusia merasa cinta akan keindahan manusia lain ciptaanNya. Bahkan Rasulullah bersabda: “Yang kucintai di dunia ini ada tiga hal, yaitu wewangian, wanita dan salat”.
Sebagaimana fungsi indra penglihatan, manusia akan merasa senang dan bahagia ketika melihat keindahan dan kecantikan perempuan.
Lalu pertanyaannya, sebenarnya bagaimana pandangan islam mengenai kecantikan perempuan? Beberapa hal pokok yang dapat membuat perempuan cantik dan menarik saya kutip dari buku Quraisish Shihab berjudul Perempuan yaitu:
Pertama, sesuatu yang melekat pada dirinya, bukan tambahan. Seperti bentuk badan, warna kulit, telinga, hidung, dan sebagainya adalah hal – hal yang melekat pada dirinya. Hal ini bersifat kodrati, tentu apa yang sudah melekat sudah selayaknya kita syukuri anugrahNya. Tugas manusia adalah menjaga anggota tubuh kita agar jauh dari keburukan.
Kedua, sesuatu yang ditambahkan pada tempat – tempat tertentu pada badan perempuan. Gelang, cincin, kalung, dan semacamnya adalah hiasan demi menampakan keindahan dan kecantikan.
Kalau istilah anak muda jaman sekarang, perempuan yang cantik adalah seseorang yang bisa mix and match OOTD (Outfit Of The Day). Perempuan yang cantik juga sudah selayaknya menjaga kebersihan dan rapi tentu saja.
Dengan demikian, Islam menganjurkan umatnya untuk memadukan keindahan jasmani dan rohani. Kenapa memadukan keduanya? Karena kedua hal itu merupakan hal yang penting. Jasmani karena dalam agama Islam memerintahkan kepada umatnya untuk selalu menjaga kebersihan, dan cara berpakaian yang menutup aurat. Sedangkan, maksud dari keindahan rohani adalah perilaku atau akhlak kita.
Perempuan cantik adalah mereka yang mempunyai inner beuaty kecantikan dari dalam seperti akhlak terpuji, suka tolong menolong, dan tutur katanya lembut. kecantikan hati tidak akan pernah luntur termakan usia. Untuk itu, penting bagi muslimah untuk menyeimbangkan antara cantik jasmani, dan cantik rohani. Karena keduanya termasuk kriteria dari kesempurnaan cantik itu sendiri.
Cantik bisa menjadi Luka
Sebuah judul buku karangan Eka Kurniawan, “Cantik Itu Luka”. Novel pertama Eka Kurniawan tahun 2002 yang mampu menggembrak pasar buku internasional.
Buku ini telah mengajarkan bahwa nyatanya kecantikan perempuan tidak hanya membawa keberuntungan semata. Kecantikan perempuan juga dapat menjadi kesialan jika, perempuan itu menikmati dirinya sebagai objek seksual semata.
Sebagaimana yang cerita dalam karakter Rengganis, ia yang cantik jelita menggunakan dan menikmati kecantikannya menjadi santapan para serigala laki-laki.
Ada lagi sebuah kisah sejarah pilu kecantikan perempuan, mereka adalah gadis gadis muda korban Jugun Ianfu yang pada masa penjajahan jepang ia menjadi korban budak seks serdadu jepang. Mereka disekap di camp-camp tentara jepang.
Korban jugun ianfu yang begitu lemah, setiap pagi-siang-malam tak kenal waktu harus bekerja melayani kebutuhan seksual para serdadu jepang.
Satu kata ungkapan dari korban Jugun Ianfu yang diceritakan Mbok Dewi Candraningrum ketika saya berkunjung di galeri “Jejer Wadon” 2021 lalu, “Jika saya tidak cantik kala itu, saya tidak akan mungkin diculik oleh serdadu jepang”. Ungkap seorang nenek paruh baya korban Jugun Ianfu.
Lukisan-Lukisan Mbok Dewi di galeri jejer wadon telah menceritakan bagaimana kisah pilu perempuan cantik di masa penjajahan Jepang. Benar bahwa peristiwa itu sudah terjadi puluhan tahun lalu, namun raut wajah dan mata nenek-nenek korban Jugun Ianfu masih menyiratkan rasa sakit yang begitu dalam.
Dari kisah tersebut kita belajar bahwa cantik tentu dapat membawa luka ketika perempuan hanya kita pandang sebagai makhluk fisik layaknya daging lezat disantap. Konfirmasi atas kecantikan perempuan dalam beberapa konteks tertentu telah mendorong relasi kuasa menghancurkan kecantikan dan keindahan perempuan, berubah menjadi malapetaka.
Ingat bahwa perempuan bukan sebatas makhluk fisik, melainkan juga makhluk intelektual dan spiritual. Menjadi bukti bahwa perempuan adalah bagian dari Khalifatul fil ‘ard. []