Mubadalah.id – Hari Raya Idulfitri kembali tiba. Hanya menghitung hari, umat muslim bakal bergembira menyambut hari kemenangan. Sebagian besar di antara mereka pun memutuskan untuk mudik, pulang bertemu dengan keluarga. Cerita soal perantau yang mudik, nyatanya ada pula orang-orang yang tidak memutuskan untuk tidak pulang.
Menjadi seorang perantau adalah pilihan hidup yang tidak mudah. Ada beragam alasan di setiap kepala orang-orang kenapa memutuskan untuk terpisah dari keluarga dan rumah. Pergi jauh tanpa tahu kapan pastinya bisa kembali pulang.
Kadang kala, orang-orang ini, perantau dari daerah keluar tanpa membawa perbekalan yang mapan. Semisal harta yang cukup untuk bertahan hidup dengan nyaman selama jauh dari rumah. Atau mental sekuat baja agar tidak kelimpanan saat diuleni oleh masalah.
Berjuang Mengubah Nasib
Perantau di tanah air sejauh ini masih seputar orang-orang yang berjuang mengubah nasib, membahagiakan orang tercinta, atau lari dari ‘sesuatu’ yang tidak dapat kita hindari.
Walau telah pergi menjauh dari rumah, menyeberang lautan dan melangkahi berapa puluh kota. Sehingga tidak heran jika ada orang yang enggan pulang dan memutuskan untuk bertahan di perantauan. Lagi-lagi alasannya beragam. Pada orang yang memperjuangkan nasib keluarga, maka ia tidak akan balik badan untuk pulang, sampai mimpinya terwujud.
Atau, masalah yang terlalu berat bak batu menimpa ‘hati’ membuatnya tidak ingin pulang. Batinnya mungkin bakal bergerak sampai masalah tersebut enyah. Tapi sulit juga. Karena ada masalah yang tidak bisa tuntas, walau sudah bertahun-tahun lamanya.
Bahkan tidak sedikit orang yang terbentur dan tidak menemukan jalan pada masalah tersebut, lalu mengambil jalan pintas. Tidak pulang ke kampung halaman dan pada kasus lebih ekstrim pulang ke pangkuan Tuhan.
Alasan-alasan tak Ingin Pulang
Alasan-alasan enggan pulang atau ingin pulang tapi tidak punya kuasa ini bisa pembaca temukan pada buku kumpulan cerita ‘Mereka yang (Enggan) Pulang. Buku ini mengisahkan perihal kumpulan perantau yang ingin pulang tapi tidak bisa. Atau enggan kembali, tapi terpaksa pulang karena keadaan.
Ada seorang laki-laki yang menahan gunungan rindu pada keluarga di rumah, namun rasa benci dan traumatis menahan langkahnya untuk kembali. Sebuah keputusan yang tanpa sadar bakal ia sesali. Di dalam buku ini, pembaca juga bisa menemukan rasa lelah dari seorang perempuan yang merasa, jerih payah yang ia lakukan tidak pernah bernilai.
Menjadi seorang perempuan mandiri dan membantu finansial keluarga tidak bakal dipandang selagi masih melajang. Kaumnya, masyarakatnya masih memandang ‘kesempurnaan’ seorang perempuan adalah ketika ia menjadi seorang istri dan ibu.
Kemiskinan yang mengikat, mendorong seorang pemuda untuk ‘mambangkik batang tarandam’ dan merantau. Di tengah perjuangan ia pun terpaksa untuk memilih, bertahan atau mati. Dan masih banyak lagi. Pembaca yang sedang tidak ingin pulang atau tidak bisa mudik mungkin saja punya alasan serupa dengan orang-orang di dalam buku ‘Mereka yang (Enggan) Pulang?
Seorang kawan yang telah membaca seluruh isinya mengatakan jika buku ini bukan hanya tentang ‘pulang’. Tapi sebuah suara para perempuan yang tiada pernah sampai ke permukaan. Menjadi lemah oleh budaya patriaki hingga tenggelam dan tidak dapat mengenal dirinya sampai akhir.
Bakal kita temukan pula kisah pilu tentang semangat perubahan yang padam karena kemiskinan nan mengakar. Keluh generasi sandwich yang acap kali kita sebut tidak pandai bersyukur, hingga traumatis yang mengendap di dalam relung hati hingga memengaruhi keputusan hidup. []