Padahal jika kita membaca sejarah, faktanya Indonesia tidaklah segagap itu terhadap konsepsi kesetaraan gender.
Mubadalah.id – Beberapa waktu yang lalu saya sempat menonton salah satu channel Youtube dari salah satu brand kecantikan yang terkenal di Indonesia. Dalam acara tersebut menampilkan dialog antara Menteri luar negeri Retno Marsudi dengan seorang perempuan sebagai pembawa acara.
Tema tentang gender juga menjadi bahasan mendalam pada obrolan tersebut. Termasuk saat Bu Retno sapaan hangat Menteri luar negeri tersebut menyampaikan bahwa beliau adalah perempuan pertama yang menjabat sebagai menlu di Indonesia.
Pikiran saya lantas mempertanyakan betapa banyak perempuan di negara ini, namun hanya satu dan bahkan Bu Retno saja yang pertama menjadi menteri luar negeri? Padahal jika kita membaca sejarah, faktanya Indonesia tidaklah segagap itu terhadap konsepsi kesetaraan gender.
Kesetaraan Gender Pada Masa Raja-raja
Sangat mengherankan ketika mengetahui bahwa fakta sejarah menuliskan sejak masa klasik hingga kontemporer terdapat perempuan yang bertahta. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia tidak gagap gender, dan eksistensi perempuan sebenarnya telah diakui sejak lama.
Mengutip detik.com, pada era klasik terdapat beberapa kerajaan di Indonesia atau yang dulu bernama nusantara ini dipimpin ialah seorang perempuan. Perempuan Tangguh tersebut antara lain:
Pertama, Ratu Shima pada Kerajaan Kalingga yang terkenal dengan gelar Sri Maharani Mahissasuramardini Satyaputikeswara. Beliau adalah pemimpin perempuan yang tegas, adil dan bijaksana. Tak segan menghukum potong tangan bagi siapa saja yang mencuri. Ratu Shima juga menerapkan hukuman kepada putranya sendiri yang melangar aturan kerajaan. Beliau memerintah sejak tahun 674 M.
Kedua, Ratu Pramodawardhani pada Kerajaan Mataram Kuno, memiliki gelar Sri Kahulunan. Terkenal sebagai pemimpin yang adil dan toleran. Dalam kerajaannya berdiri dua candi besar, yakni Candi Prambanan yang beraliran Hindu dan Candi Sewu yang beraliran Buddha. Gambaran dua agama yang hidup berdampingan.
Ketiga, Ratu Tribhuwana Tunggadewi pada Kerajaan Majapahit. Tribhuwana Tunggadewi atau Gayatri adalah ibu dari Hayam Wuruk. Memiliki gelar Tribhuwana Tunggadewi Maharajasa Jayawisnuwardhani. Pada masa kepemimpinannya, Majapahit mengalami kejayaan dengan adanya Sumpah Palapa, sehingga berhasil menaklukan Pulau Sumatera dan Bali.
Keempat, Ratu Suhita atau atau Ratu Kencanawungu pada Kerajaan Majapahit. Beliau gigih menumpas pemberontakan sebelum Majapahit mengalami keruntuhan. Pada masa kepemimpinannya, Kerajaan Majapahit berhasil menaklukkan banyak daerah.
Emansipasi Perempuan Tidak Boleh Mengalami Kemunduran
Melihat kenyataan demikian, menghantarkan pada pemahaman bahwa di negara Republik Indonesia ini tidak gagap gender. Artinya sudah mengakui adanya kesetaraan gender sejak awal. Perempuan juga mendapatkan posisi yang bermartabat.
Berbagai sorotan dan penilaian dari lini dan tingkatan pejabat kerajaan hingga masyarakat awam pada masa itu tentu juga penuh dengan pergulatan. Namun perlu sebuah apresiasi besar bagi mereka para pendahulu yang telah mengakui eksistensi seorang perempuan dari kemampuan, meskipun tahta yang menjadi garis keturunan raja sudah tergariskan.
Mengingat tidak hanya satu perempuan saja yang pernah menjadi pemimpin, hal ini semakin menunjukkan jika power seorang perempuan dari masa ke masa memang tidak bisa diremehkan. Hal ini seharusnya menjadi pengingat bagi kita untuk tidak boleh mengerdilkan keinginan untuk memperjuangkan kesetaraan perempuan.
Jika pada masa klasik saja masyarakat sudah begitu terbuka paradigmanya untuk mau mengakui kepemimpinan seorang perempuan, maka pada masa sekarang yang modern ini kita tidak boleh mengalami kemunduran paradigma dengan membatasi ruang gerak dan kemampuan perempuan.
Para perempuan harus saling bergandengan tangan. Saling tolong-menolong dan memberikan akses pada satu sama lain, membangun agar bisa sama-sama merasakan nilai-nilai kesetaraan dalam kehidupan. []