Mubadalah.id – Tepat pada 4 Juni 2024, DPR telah mengesahkan Rancangan Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak yang pada akhirnya ditetapkan menjadi Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak (UU KIA) Pada Fase Seribu Hari Pertama Kehidupan. Melansir dari web Kementerian Permberdayaan Perempuan dan Anak (Kemenppa) bahwasanya rancangan awal undang-undang ini mengatur terkait Kesejahteraan Ibu dan Anak secara umum.
Setelah melewati pembahasan yang intensif dan komprehensif, arah fokus penetapan undang-undang ini untuk Kesejahteraan Ibu dan Anak Pada Fase Seribu Hari Pertama Kehidupan. Undang-undang ini merupakan bentuk perlindungan negara terhadap pengalaman reproduksi perempuan. Undang-undang ini harapannya memiliki daya implementasi yang kuat, sehingga kesehatan dan kebutuhan ibu dan anak pada fase awal kelahiran benar-benar terjamin.
Cuti Melahirkan adalah Hak Maternitas Perempuan
Dalam konteks ke-Indonesiaan, hak maternitas adalah hak yang melekat pada diri perempuan. Pemenuhan dan pelindungan hak maternitas telah terjamin Konstitusi yaitu UUD NRI 1945. Antara lain: hak untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan (Pasal 28B ayat (1). Hak setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang (Pasal 28B ayat (2).
Lalu hak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja (Pasal 28D ayat (2). Hak atas pelindungan diri pribadi dan keluarga (Pasal 28G ayat (1). Hak hidup sejahtera lahir dan batin, dan berhak memperoleh pelayanan kesehatan (Pasal 28H ayat (1).
Selain itu hak untuk mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan (Pasal 28H ayat (2). Hak untuk bebas dari diskriminasi atas dasar apapun (Pasal 28I ayat (2)).
Implementasi UU KIA Terhadap Ibu dan Bayi
Kehamilan dan pasca melahirkan merupakan waktu yang berpotensi rentan bagi perempuan pekerja dan keluarganya. Ibu hamil dan menyusui memerlukan perlindungan khusus untuk mencegah potensi dampak buruk bagi diri dan bayinya.
Mereka membutuhkan waktu yang cukup untuk melahirkan, memulihkan proses persalinan, dan menyusui anak. Pada saat yang sama, mereka juga memerlukan jaminan dan perlindungan pendapatan untuk memastikan bahwa mereka tidak akan kehilangan pendapatan atau kehilangan pekerjaan karena kehamilan atau cuti melahirkan.
Cuti melahirkan ini tentu sangat berperan penting terhadap kondisi fisik dan psikis ibu pasca melahirkan atau proses menyusui. Terutama bagi ibu yang melahirkan dengan metode Sectio Cesaria atau operasi sesar yang penyebabnya karena adanya masalah pada ibu dan janin. Sehingga persalinan tidak bisa ia lakukan secara pervagina atau normal.
Machmudah (2022) dalam jurnalnya The description of pregnancy status and type of delivery attachment technique in postpartum mothers at the Roemani Muhammadiyah hospital Semarang: assessed by latch score analysis menyatakan bahwa proses pemulihan dengan metode Sectio Cesaria membutuhkan waktu lebih lama daripada kelahiran normal. Sedangkan persentase ibu melahirkan dengan metode SC lebih tinggi dari pada kelahiran normal dengan jumlah masing-masing 52% dan 48%.
Risiko Metode Sectio Cesaria bagi Ibu Melahirkan
Melansir dari web halodoc.com bahwasanya SC sendiri sangat berisiko terhadap kondisi ibu dan anak. Di antaranya: Pertama infeksi luka, yang menyebabkan kemerahan, bengkak, peningkatan rasa nyeri, dan keluarnya cairan dari luka.
Kedua, infeksi pada lapisan rahim, yang dapat menimbulkan gejala berupa demam, sakit perut, keputihan yang tidak normal, dan pendarahan berat dari vagina.
Ketiga, pendarahan berlebihan, yang memerlukan transfusi darah dalam kasus parah, atau operasi lebih lanjut untuk menghentikan pendarahan.
Keempat, Deep Vein Thrombosis (DVT), yang muncul dengan gejala pembekuan darah di kaki dan memicu rasa sakit, pembengkakan, bahkan emboli paru. Kelima, kerusakan pada kandung kemih, yang muncul dengan gejala nyeri berkepanjangan di area tersebut, sehingga memerlukan prosedur pembedahan lebih lanjut.
Tetapi, yang menjadi pertanyaan banyak pihak kemudian adalah apakah amanat Undang-Undang KIA tersebut mampu terimplementasikan dengan baik? Karena, sebelum UU KIA disahkan, telah ada pasal 82-83 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang mengatur tentang hak cuti maternitas perempuan.
Fakta di lapangan sangat berbanding terbalik dengan amanat UU Ketenagakerjaan tersebut. Masih banyak pekerja perempuan yang terenggut hak maternitasnnya oleh atasan di mana mereka bekerja.
Berdasarkan data yang tersampaikan oleh Diahhadi Setyonaluri dkk dalam laporannya yang berjudul Cuti Maternitas di Kota Metropolitan Indonesia: Temuan terkait durasi, manfaat, dan jaminan pekerjaan menyatakan bahwa masih banyak pekerja perempuan yang tidak memiliki akses hak maternitas secara maksimal dan upah penuh dari perusahaan yang notabene berada di sektor formal.
Pemberi kerja menilai bahwa perempuan akan mendapat upah jika mereka menjalankan tugas dan bekerja seperti biasa. Selain itu, mereka juga dibebankan dengan mencari pengganti selama menjalani cuti melahirkan.
Bahkan, ada juga Perusahaan yang mengancam pekerja untuk didemosi dan mereka berhentikan jika tidak menjalankan kewajiban pekerjaan. Kesenjangan jender juga menganggap pengalaman reproduksi perempuan sebagai penghambat dalam bekerja.
Poin-poin Problematik dalam UU KIA
Komnas Perempuan dalam Siaran Pers dengan judul Tantangan Implementasi UU KIA dari Aspek Muatan Juga Daya Dukungnya menyebutkan bahwa ada kekhawatiran berbagai pihak terkait dengan lemahnya daya implementasi UU KIA.
Selain itu beberapa poin dalam UU tersebut yang mengarah pada legitimasi peran domestik perempuan, yaitu: pasal 4 terkait ayat 1 poin I yang berbunyi: “mendapatkan pendidikan perawatan, pengasuhan (parenting), dan tumbuh kembang anak”.
Poin tersebut dianggap memiliki muatan membebankan beban pengasuhan hanya kepada ibu. Seharusnya, edukasi tentang parenting menjadi kewajiban bersama ayah dan ibu. Selain itu, perbedaan jumlah cuti sangat signifikan antara ibu dan ayah, yaitu 3-6 bulan untuk ibu sedangkan ayah hanya berkisar 2-3 hari.
Hal tersebut tentu semakin mendukung tugas pengasuhan dan beban domestik menjadi tugas ibu seorang. Padahal faktanya pasca melahirkan, ibu sangat membutuhkan kehadiran ayah dalam hal dukungan menyusui, pemulihan luka sayatan, baby blues syndrome, depresi postpartum, dukungan emosional, dan lain-lain.
Dalam kasus baby blues syndrome dan depresi postpartum tentu dukungan penuh suami, keluarga, dan konselor sangat ibu butuhkan. Elizabeth Mkandawire dkk, dalam artikelnya yang berjudul Breastfeeding is a father’s responsibility menyatakan bahwa beberapa faktor tersebut sangat berpengaruh pada ASI ibu sebagai penopang nutrisi tumbuh kembang anak.
Pengalaman Masa Menyusui
Menyusui tidak hanya menyita waktu, tetapi juga membutuhkan banyak tenaga fisik. Stres, kelelahan, dan kecemasan dapat mengurangi jumlah ASI yang diproduksi seorang ibu. Selain itu, dengan kondisi ibu yang masih sangat lemah, tentu partisipasi ayah dalam hal pemenuhan kebutuhan dan pelaksaan kerja-kerja domestik sangat ibu butuhkan.
Laki-laki sepatutnya dapat mengambil peran dalam memasak, mencuci, dan membantu mengurus bayi. Apalagi jika keduanya adalah pekerja yang merantau ke luar daerah. Tentu kehadiran ayah sangat berarti bagi ibu pasca melahirkan.
Pengesahan UU KIA ini tidak kemudian menggugurkan PR pemerintah untuk menjamin hak asasi setiap warga negara. Ke depan, partisipasi politik dan kebijakan publik harapannya mampu mendukung kehadiran kedua orang tua secara seimbang baik dalam hal pengasuhan dan kerja-kerja domestik.
Terutama sekali bagi perempuan pekerja di sektor publik. Agar stigmatisasi dan beban ganda tidak lagi menzalimi perempuan. Sehingga, baik ibu maupun anak sama-sama mendapatkan kesejahteraan sebagaimana amanat UU KIA. []