Mubadalah. Id – “Suqūt al-Imām” adalah novel keren dan bagus. Salah satu karya novelis besar Mesir, Nawal el-Sa’dawi ini mampu mangaduk-ngaduk sisi emosional keyakinan, agama Islam khususnya. Tak heran buku ini masuk daftar larangan beredar oleh Ulama Al-Azhar.
Sebab, novel “Suqūt al-Imām” (jatuhnya sang Imam) tak sedikit menyinggung ajaran Islam bahkan ayat Alquran yang mengeksplorasi tema kekuasaan religius dan politikus yang menindas dari perspektif feminisme.
Dengan kemahiran Nawal El-Sa’dawi mampu meramu cerita-cerita dalam buku ini dengan konteks sosio-politik yang kompleks di negaranya Mesir dengan kemasan dua sosok yang selalu berhadap-hadapan, berlawanan, dan bertentangan satu sama lain.
Pertama, sosok perempuan yang barnama Bintullah atau anak perempuan Tuhan. Kedua, seorang lelaki berlabel sang “al-Imām”. Jika sosok pertama, Bintullah simbol yang tertindas dan keberaniannya mencari kebenaran jati dirinya.
Sebagai oposisi yang terus menyuarakan keadilan khususnya relasi laki-laki dan perempuan, baik dalam ranah politik, sosial, dan agama. Sosok yang melawan hegemoni kekuasaan yang menindas. Maka, sosok Imam adalah orang berkuasa, religius sekaligus politikus, yang penuh dengan kebusukan moral dan manipulatif.
Tokoh dan Karakter dalam Novel Suqut al-Imam
Karakter-karakter dalam novel ini tidak hanya berfungsi sebagai individu tetapi juga sebagai representasi dari kelompok-kelompok masyarakat elit dan masyarakat yang terpinggirkan.
Seperti Imam dalam cerita ini sebagai simbol dari kekuasaan yang absolut dan korup dan penuh manipulatif. Kekuasaan ini tidak hanya bersifat politis tetapi juga religius, di mana agama sebagai justifikasi untuk tindakan-tindakan represif kekuasaan.
Sementara karakter Bintullah dalam novel ini menggambarkan kondisi perempuan secara umum dalam masyarakat yang terkekang hukum-hukum patriarki dan agama yang jadi alat pengekangnya.
Konteks Politik dalam Novel Suqut al-Imam
Dalam konteks politik, novel ini mengisahkan dua aliansi Hizbullah (حزب الله) dan partai setan (حزب الشيطان) sebagai oposisinya. Partai Setan? Sebab menjadi oposisi dari Hizbullah yang diasumsikan sebagai representasi partai Tuhan, dengan sang Imam jabatan tertingginya.
Sementara orang-orang yang tidak ikut kedua aliansi di atas, walaupun berjuang demi negaranya maka perjuangannya tak dianggap dan sosoknya adalah mata musuh. Sebagaimana saudara lelakinya Bintullah mengalaminya yang gugur di medan perjuangan.
وقال: أنا أعرفه، وله عندي صورة في الملف، وليس له اسم في حزب الله أو حزب الشيطان، وهذا دليل على أنه ليس واحدًا منا، ومن ليس منا فهو تلبيس إبليس.
“Saya kenal dia, dan saya punya fotonya di arsip, dan dia tidak punya nama di Hizbullah atau Partai. Setan, dan ini bukti bahwa dia bukan salah satu dari kita, dan siapa pun yang bukan salah satu dari kita, dialah tipu muslihat Setan”. Perkataan kepala keamanan kepada Bintullah.
Dalam dunia nyata, sosok itu barangkali cerminan Nawal sendiri yang tak ikut aliansi politik tetapi kritis pada penguasa di Mesir maka labelnya adalah tali-temali iblis.
Gambaran Persepsi Masyarakat dalam Suqut al-Imam
Sebagaimana maklum, dalam tradisi patrairki perempuan tak memiliki hak apapun hatta hak membela diri di pengadilan. Seturut dengan itu, agama seringkali menjadi alat para politisi. Dengan agama, politikus memanipulasi rakyat yang lugu dengan keagamaannya.
Dalam konteks ini, Nawal al-Sa’dawi sangat kuat menarasikannya pada bab “Sekali dalam Sejarah, مرةٌ واحدة في التاريخ”. Dalam bab ini, penulis menggambarkan bahwa keluguan masyarakat dalam keagamaan sering menjadi momok tipu daya orang kuat yang disimbolkan dengan Imam. Adalah Bintullah, ketika ia tertembak, dan anjingnya, Marzuk setia menemaninya.
Meski terluka, perempuan itu mengingat kembali percakapan dengan sekelompok orang yang mengklaim bahwa mereka mengikuti Imam. Karena Imam mengetahui firman Tuhan melalui mimpinya.
Di saat yang sama mereka enggan menerima hal yang serupa Tuhan datang pada Bintullah karena ia perempuan. Dan Tuhan tidak mengunjungi perempuan. Tokoh ini kemudian menyebut contoh kunjungan Tuhan kepada Perawan Maria dan Nabi Muhammad, yang membuat mereka terdiam (Suqut al-Imam, hal: 25).
Dialog ini menggambarkan ketegangan antara keyakinan pribadi Bintullah dan dogma yang tertanam di tengah masyarakat bahwa Tuhan hanya hadir pada lelaki.
Politisasi Keyakinan Awal oleh Imam
Dengan kata lain, hanya lelaki yang pantas religius dan mendapat jamuan Tuhan. Dari sinilah kemudian, Imam mempolitisasi akan kekuatan iman yang tertanam dalam benak masyarakat. Oleh sebab itu, ketika Imam memerintahkan seseuatu, tidak ada kata selain melaksanakannya sebagaimana tergambar dalam cuplinkan ini.
لكن الأمر صدر، وحين يصدر الأمر فلا سؤال ولا جدال؛ فالجدل بدعةٌ أجنبية لم ترد في التراث، ومن أحدث في أمرنا ما ليس في التراث فهو فتنة، والفتنة أشد من القتل، ولا يُجادل في ذلك إلا كافرٌ بالله خائن للوطن والإمام.
“Tetapi perintah sudah turun (dari Imam) maka ketika ada perintah maka tak ada pertanyaan apa lagi interupsi. Karena interupsi adalah bid’ah yang tidak ada dalam warisan tradisi. Barangsiapa memasukkan ke dalam perkara kami sesuatu yang tidak ada dalam tradisi. Maka ia adalah pengkhianat yang lebih buruk dari pembunuhan, dan tidak seorang pun yang akan membantah hal itu kecuali orang yang kafir kepada Allah dan pengkhianat tanah air dan Imam”.
Bila kondisinya demikian, maka untuk mengendalikan kekuasaan begitu mulus. Termasuk membungkam oposisi yang muncul dari perempuan yang mencari keadilan. Karena penguasa membuat narasi negatif yang ditanam dalam benak masyarakat. Misalnya sebagai berikut.
وإذا صدرت الخيانة من الأنثى فهي تزيد عن الكفر وخيانة الوطن إلى الفاحشة وفقدان الشرف
“Jika pengkhianatan itu dari perempuan, maka hal itu lebih ketimbang parah kekafiran dan mencakup kejahatan dan pengkhianatan terhadap negara hingga amoralitas dan hilangnya kehormatan (Suqut al-Imam, hal: 115).
Bintullah menentang Persepsi Misoginis
El-Saadawi, yang dikenal sebagai seorang feminis dan kritikus sosial, menggunakan novel ini dengan Bintullah sebagai tokoh untuk menyoroti penindasan yang dialami perempuan dalam masyarakat patriarkal.
Karakter-karakter perempuan dalam cerita ini menunjukkan berbagai bentuk perlawanan terhadap sistem yang menindas mereka. Adapun persepsi tersebut di antaranya sebagai berikut.
. وذنب البنت ضعف ذنب الولد، وفي غير ذلك من الحقوق يكون للبنت نصف حقوق الولد.
“Dosa anak perempuan dua kali lipat dari dosa anak laki-laki. Hak-hak lainnya anak perempuan mempunyai separuh hak anak laki”. (Suqut al-imam hal:116)
وقبل أن تسقط وتنسى الحروف استدارت وقالت: ما هي جريمتي وأنا عذراء لم يمسسني بشر؟ قالوا: الأنثى إذا ماتت وهي عذراء تدخل الجنة، ولن نُرسلك إلى العالم الآخر إلا وأنت غير عذراء
“Bintullah berbalik dan berkata: Apa kejahatanku ketika aku masih perawan dan lelaki belum menyentuhnya? Mereka berkata: Jika seorang wanita meninggal dalam keadaan masih perawan, maka dia akan masuk surga. Dan kami tidak akan memasukkan kamu ke akhirat kecuali kamu sudah tak perawan lagi.” (116)
Selain itu, anak hasil dari perzinahan seolah halal darahnya sebagaimana Bintullah alami dari masyarakat sekitar. Terutama polisi-polisi agama yang sebagaimana pernyataan para tentara tersebut.
يقولون: ثمرة الخطيئة، ولمن يقتلها جائزة في الدنيا والجنة في الآخرة
“Para militer itu berkata, “buah dari keburukan (anak zina). Maka barangsiapa yang bisa membunuhnya maka ia mendapat insientif baik di dunia maupun akhirat”.
“Jatuhnya Sang Imam” tetap relevan dalam konteks modern. Di mana isu-isu seperti korupsi, penyalahgunaan agama, dan penindasan terhadap perempuan masih sangat nyata di banyak bagian dunia yang tentu lebih halus. Menampakkan diri seolah membela perempuan dan kaum terpinggirkan faktanya menjerumuskannya.
Maka dengan membaca Karya ini mengajak pembaca untuk merenungkan tentang pentingnya keadilan sosial dan kesetaraan gender yang menjadi ladang perjuangan. []
Judul Asli: Suqut al-Imam
Penulis: Nawal El-Sa’dawi
Genre: Fiksi Sosio-agama Politik, Feminisme
Tanggal Terbit: terbit pertama kali 1987
Bahasa: Bahasa Arab (asli), telah diterjemahkan ke berbagai bahasa, termasuk Bahasa Indonesia