“Ikhlas, Thia! Ikhlas, Nak! Abi jamin Mas Satya itu orang baik. Thia akan diperlakukan dengan baik,” lirih Sukron, abinya Fathia.
“Baik tapi suami orang!” sergah Laila, sang umi, sembari menitikkan air mata.
Mubadalah.id – Dua dialog tersebut membuka scene film Perjalanan Pembuktian Cinta (2024) karya M. Amirul Ummami. Dalam keadaan bimbang Fathia Qonita tak berhenti meminta petunjuk pada Allah Swt. antara patuh pada abinya, Syukron, untuk menikah dengan Satya atau menolaknya sebab perlahan telah menaruh hati pada teman kecilnya; Raehan.
Menjadi pengajar—sekaligus penghafal—Al-Qur’an di sebuah pesantren, Fathia disegani oleh santri-santrinya. Selain memiliki sikap halus nun tutur katanya lembut, Fathia tersohor sebagai ustazah yang memiliki wibawa dan ketegasan.
Bersama sahabatnya, Nur Amelia Bahtiar, Fathia memiliki cita-cita melanjutkan studi ke Mesir. Mereka telah merencakan itu jauh hari agar bisa mengikuti jejak Fatimah Al-Fihri, muslimah yang membawa perubahan. Namun, keinginan itu mesti terhalang saat Syukron tergiur iming-iming bantuan seorang donatur pesantren tempat di mana ia dan putrinya mengajar.
Donatur bernama Satya menjanjikan bakal membangunkan pesantren bagi Syukron jika ia menikah dengan putrinya. Syukron makin bernafsu. Tak sabar ingin segera menikahkan Fathia dengan Satya. Padahal, Satya telah memiliki istri serta umurnya tak jauh dari Syukron. Sementara dengan Fathia umur Satya teramat jauh.
Tanpa alasan jelas, Satya tetiba ingin menikahi Fathia sebagai istri keduanya. Di pertemuan awal, Fathia mengajukan syarat padanya. Fathia siap menikah asal mendapat persetujuan istri pertama Satya. Syarat yang Fathia ajukan ialah satu di antara syarat tercantum dalam Pasal 5 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yakni adanya persetujuan dari istri/istri-istri.
Syarat itu bakal Satya penuhi dengan bertahap. Sampai pada hari pernikahan, Satya tak kunjung mengabulkan syarat itu. Bulan demi bulan pernikahan mereka membawa pada kehadiran orang ketiga dalam rahim. Namun, Fathia belum juga dipertemukan dengan istri pertama Satya.
Selama menikah Fathia mendiami sebuah kamar hotel yang telah Satya sediakan. Suaminya itu tak setiap hari membarenginya. Bahkan dalam satu adegan, Fathia menangis di pelukan uminya sembari menuturkan bahwa kedatangan Satya seolah hanya karena ada butuhnya saja.
Menggali Peraturan
Dalam kacamata hukum positif, hubungan Satya dan Fathia belum bisa kita anggap sebagai perkawinan; sebagai suami-istri yang sah. Bila kita runut, bila Satya hendak berpoligami maka mesti mengajukan izin ke pengadilan dengan beberapa syarat sesuai UU Perkawinan Pasal 4 Ayat (2). Sementara untuk dapat mengajukan permohonan tersebut Satya perlu menjalankan sekian ketentuan dalam Pasal 5 Ayat (1). Pendapat ini terafirmasi dalam Kompilasi Hukum Islam di Pasal 56 Ayat (1).
Sementara dalam pengajuannya harus berpedoman pada Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Terjelaskan permohonan tersebut bahwa pengadilan memeriksa salah satunya dalam Pasal 41 huruf b, “ada atau tidaknya persetujuan dari istri, baik persetujuan lisan maupun tertulis, apabila persetujuan itu merupakan persetujuan lisan, persetujuan itu harus diucapkan di depan siding pengadilan.”
Dalam film Pembuktian Perjalanan Cinta ini, Satya sedikitpun tak memenuhi alur permohonan dan syarat yang terjelaskan di atas. Motif apa yang ada di kepala Satya dengan tega menikahi Tya tanpa dasar ketetapan hukum yang jelas. Fenomena memang terambil dari sebuah novel; rekaan, namun tak sedikit realitas di masyarakat ihwal menggampangkan praktik poligami.
Poligami atau Zina
Penundaan itu, membikin Helen, istri Satya, perlahan mengetahui gelagat suaminya. Dengan bantuan koleganya, Helen mendapati informasi soal suaminya telah menikahi seorang gadis pesantren. Secara diam-diam, Helen menemui Fathia di hotel tempatnya tinggal.
Dalam penggalan ucapannya, Helen dengan lantang tak pernah—dan tak akan pernah—memberi izin suaminya untuk menikah lagi. Helen berkesimpulan selama ini hubungan Fathia dengan suaminya adalah zina. Fathia menepis, bahwa zina itu tak mungkin terjadi karena ia dinikahi Satya sesuai syariat Islam. “Betul, tetapi tidak sah secara hukum!” jawab Helen sembari meninggalkan Fathia.
Melihat Fathia tengah mengandung, tak sedikit pun Helen berempati. Ia malah mengancam Fathia agar memutus hubungan dengan Satya. Pun jangan pernah lagi mengganggu kehidupan keluarganya. Ancaman itu terpungkasi dengan pelaporan kepada pihak berwajib. Saat itulah Fathia menangis. Hatinya bagai ditusuk-tusuk jarum, amat menyakitkan.
Menjelang akhir adegan, kala anak Fathia dari Satya lahir, ia mendapat kabar bahwa Satya telah meninggal. Cobaan Fathia terus bertubi-tubi datang. Setelah ia dan keluarganya terusir dari pesantren tempatnya mengajar gegara Sukron melakukan manuver terhadap keluarga pesantren. Kini, suaminya, ayah dari anaknya terkabarkan telah tiada.
Muasal Ketidakadilan
Begitulah ringkasan nasib perempuan tangguh bernama Fathia. Tak pernah sedikit pun ia membangkang perintah orang tuanya; terutama abinya, seorang lelaki. Hingga peristiwa perjodohan dengan Satya, atas kehendak nafsu Sukron yang berharap materi duniawi—ia tak menggugatnya.
Kisah yang terangkat dari novel karya Nusaibah Azzahra berjudul Perjalanan Pembuktian Cinta (2017) ini pantas kita jadikan sebagai pelajaran dan bahan renungan; khususnya bagi perempuan.
Bagaimana pun keinginan-rencana orang tua, yang mulanya berniat baik demi kemaslahatan anaknya, tak sepenuhnya harus tertunaikan. Demi apapun, kelak anaknya sendirilah yang bakal menahkodai bahtera hidupnya. Entah mengarungi samudra atau menerjang badai. Orang tua mestinya berperan sebatas memberi fasilitas dan dukungan semata.
Urusan memilih jodoh–jika meminjam bahasa Nusaibah, perjalanan pembuktian cinta, misalnya, di luar konteks budaya, sudah menjadi hak prerogatif setiap anak. Dalam konteks film ini, Fathia, seorang perempuan, dengan jelas telah terenggut kebebasannya oleh ayahnya sendiri, orang terdekatnya. Nafsu duniawi Sukron mendapatkan dana dengan tak wajar merelakan anak perempuannya termadu oleh lelaki yang telah memiliki istri.
Walhasil, terkadang ketidakadilan terhadap seseorang bisa terciptakan sendiri dari lingkup sosial terkecilnya; keluarga. Menengok kisah Fathia dalam film ini, misalnya. Adakalanya niat baik malah berujung petaka umpama tersisipi hawa nafsu semata. []