• Login
  • Register
Sabtu, 26 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Film

Film Catatan Harian Menantu Sinting: Tuntutan Sosial dan Maskulinitas Toxic

Film ini hanya menjadi medium pelanggengan nilai patriarki dan obsesi tak sehat orang tua terhadap relasi privat anaknya

Fatimatuz Zahra Fatimatuz Zahra
06/08/2024
in Film
0
Film Catatan Harian Menantu Sinting

Film Catatan Harian Menantu Sinting

1.2k
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Film Catatan Harian Menantu Sinting (CHMS) merupakan adaptasi dari sebuah novel dengan judul yang sama. Film ini mengangkat sebuah premis terkait intervensi mertua terhadap berbagai aspek dalam hubungan pernikahan anaknya, termasuk urusan ranjang. Premis awal ini sebenarnya cukup menjanjikan jika dikemas dan berakhir dengan pertumbuhan karakter dan rekonsiliasi yang baik. Sayangnya, yang terjadi tidak demikian.

Spoiler alert!

Saya menonton sekira 3/4 bagian awal film sembari menahan rasa gusar karena melihat bagaimana obsesi tidak sehat sang ibu mertua terhadap aktivitas seksual anak dan menantunya. Hal itu semata demi memenuhi keinginannya untuk segera mendapatkan cucu dari anak lelakinya, Sahat.

Salah satu bentuk obsesinya muncul melalui kecurigaan bahwa anak dan menantunya tidak melakukan hubungan suami istri karena sang ibu tak mendengar bunyi ranjang berderit yang telah ia tunggu dari luar kamar mereka.

Tak berhenti sampai di situ, demi menjamin supaya keinginannya lekas terpenuhi, sang ibu juga kerap kali menginterogasi sahat dan istrinya, Minar, terkait cara mereka berhubungan badan yang ia nilai kurang lihai karena sang menantu perempuan tak kunjung hamil.

Dalam situasi seperti ini, saya merasakan gusar yang tertahankan karena memahami betul bahwa menjadi menantu perempuan di lingkungan serba patriarkis disertai standar sosial tak masuk akal memang tak pernah mudah. Segala jenis tuntutan bereproduksi hampir selalu mereka alamatkan kepada perempuan.

Baca Juga:

Sah Tapi Nggak Terdaftar, Nikah Sirri dan Drama Legalitasnya

Anak Bukan Milik Orang Tua

Perjalanan Penerimaan dari Film Sore: Istri Masa Depan

Para Suami, Jangan Biarkan Kembang Layu di Atas Ranjang

Menunda Memiliki Anak

Hal tersebut kian menjadi-jadi ketika sang ibu mertua sangat berang setelah menemukan alat kontrasepsi di kamar anak dan menantunya. Lebih-lebih ketika mengetahui bahwa anak dan menantunya memiliki niatan untuk menunda memiliki anak.

Sang ibu mertua langsung merasa menjadi korban akibat keputusan yang sangat personal tersebut. Sang ibu merasa anak dan menantunya tak lagi peduli dengan cita-citanya untuk meninggal dalam keadaan sudah punya cucu dari anak lelakinya.

Perihal kontrasepsi ini, sikap Sahat yang tak punya pendirian menjadi concern paling utama saya. Diceritakan bahwa sebelum mengikat janji perkawinan dengan Minar, Sahat telah sepakat untuk menunda rencana untuk memiliki anak. Namun sikap itu serta merta berubah 180° setelah ibunya marah akibat ia dan Minar ketahuan menggunakan alat kontrasepsi.

Sahat bahkan menjanjikan kepada ibunya bahwa ia dan Minar tak akan pindah rumah sebelum Minar hamil. Menyedihkan sekali melihat bagaimana hak ketubuhan Minar terenggut begitu saja oleh orang-orang di sekitarnya.

Akar Budaya

Tak dapat kita pungkiri bahwa akar budaya memegang peranan penting dalam membentuk cara berpikir sang ibu mertua. Namun, keengganan beliau untuk mendengarkan aspirasi Minar juga turut memperparah intervensi tak sehat dalam rumah tangga anak dan menantunya.

Dan akibat hal ini pula, Minar sebagai menantu perempuan tak ubahnya objek semata bagi ibu mertuanya. Yakni sebagai mesin pencetak keturunan yang harga dirinya ditentukan oleh keberhasilan Minar melahirkan bayi.

Sampai pada saat alur cerita mencapai klimaksnya, yaitu saat ternyata hasil lab menunjukkan adanya masalah di sperma Sahat. Saya masih berharap film ini akan dibekali antiklimaks yang mencerahkan dan membawa pesan baik untuk membuka pemahaman baru.

Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Sahat merasa egonya terluka dan kian tak berguna karena tak mampu “berfungsi” optimal secara biologis dalam pembuahan. Dia juga menjelma sosok yang lari dari masalah.

Sementara si ibu malah memperparah hal itu dengan memposting update kondisi kesehatan reproduksi anaknya di media sosial. Hal ini menggambarkan betapa pola pikir patriarki juga turut membentuk citra maskulinitas yang rapuh pada diri laki-laki.

Penerimaan terhadap Pasangan

Minar di sini tampil sebagai satu-satunya tokoh yang membawa pesan baik berupa penerimaan terhadap pasangan, serta pandangan bahwa memiliki anak bukanlah satu-satunya cita-cita kehidupan pernikahan. Saya berharap sang ibu mertua pada akhirnya juga menginternalisasi nilai serupa.

Namun, sampai pada akhir cerita, tokoh ibu mertua nampak tak mengalami pertumbuhan karakter. Justru karakter Minar yang akhirnya mereka paksa berdamai dengan tuntutan patriarkis ibu mertuanya. Bahkan ketika akhirnya Minar melahirkan anak perempuan, ibu mertuanya masih juga menyuruh Minar dan Sahat untuk segera punya anak laki-laki, lagi-lagi semuanya demi impian ibu mertuanya.

Sangat saya sayangkan film berlatar budaya Batak ini enggan menunjukkan bahwa masyarakat Batak juga dapat mengalami pertumbuhan pemikiran, layaknya yang terjadi pada film Ngeri-Ngeri Sedap yang mendulang sukses besar di layar lebar.

Dalam film tersebut, tokoh orang tua mengalami pertumbuhan karakter yang positif ditunjukkan dengan kemauan mendengar aspirasi anak serta mengadaptasi pengetahuan baru ke dalam kehidupan mereka.

Sementara itu, film CHMS yang berusaha mengangkat konflik keluarga ini justru tampak tak memahami dan berusaha mengatasi akar konfliknya. Yaitu mertua yang memaksakan kehendak kepada anak dan menantunya. Film ini kemudian hanya menjadi medium pelanggengan nilai patriarki dan obsesi tak sehat orang tua terhadap relasi privat anaknya. []

 

 

 

 

 

 

 

 

Tags: Film Catatan Harian Menantu SintingHak Kesehatan Reproduksi PerempuankeluargaMenantuMertuapernikahanRelasi
Fatimatuz Zahra

Fatimatuz Zahra

Akun Sosial Media : Fatimatuz Zahra(Facebook), @fzahra99_(instagram)

Terkait Posts

Perjalanan Penerimaan

Perjalanan Penerimaan dari Film Sore: Istri Masa Depan

24 Juli 2025
Nyanyi Sunyi dalam Rantang

“Nyanyi Sunyi dalam Rantang”: Representasi Perjuangan Perempuan Melawan Ketidakadilan

24 Juli 2025
Film Sore

Refleksi Difabel dalam Narasi Film Sore: Istri dari Masa Depan

22 Juli 2025
Film Sultan Agung

Peran Perempuan dan Perjuangannya dalam Film Sultan Agung

11 Juli 2025
Film Rahasia Rasa

Film Rahasia Rasa Kelindan Sejarah, Politik dan Kuliner Nusantara

6 Juli 2025
Squid Game

Kisah Jun-hee dalam Serial Squid Game dan Realitas Perempuan dalam Relasi yang Tidak Setara

3 Juli 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Ikrar Kesetiaan KUPI

    Ketika Wisudawan Ma’had Aly Kebon Jambu Membaca Ikrar Kesetiaan KUPI, Bikin Merinding!

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Pentingnya Menikmati Proses, Karena yang Instan Sering Mengecewakan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • PRT Juga Manusia, Layak Diperlakukan dengan Baik dan Bermartabat

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Disabilitas Netra dan Ironi Aksesibilitas Ruang Publik

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • PRT Bukan Budak: Hentikan Perlakuan yang Merendahkan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Upah: Hak Pekerja, Kewajiban Majikan
  • Mari Membahas Bersama Fomo Trend S-Line
  • Mengapa PRT Selalu Diidentikkan dengan Perempuan?
  • Disabilitas Netra dan Ironi Aksesibilitas Ruang Publik
  • PRT Bukan Budak: Hentikan Perlakuan yang Merendahkan

Komentar Terbaru

  • M. Khoirul Imamil M pada Amalan Muharram: Melampaui “Revenue” Individual
  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID